Kapan aku ada di mata kamu?
~Arabella Thalia PutriTak ada yang bisa menyingkirkannya dari mataku, sekalipun raganya tak ada di depanku
~Mada Ailean Joana
***"Benda keramat lo mana? Tumben gak lo pake hari ini?" tanya Atang di sela kunyahannya.
Yang ia maksud adalah kupluk hitam yang selalu gue pake. Gue anti melepasnya kecuali saat upacara, yang mana hal itu mengharuskan gue memakai topi. Gue melarang keras orang lain nyentuh apalagi minjem. Maka dari itu Atang nyebutnya benda keramat punya gue, gue juga nyebutnya gitu, sih.
Pagi-pagi begini, kantin lumayan ramai. Banyak siswa yang ingin mengisi perut mereka sebelum memulai pelajaran. Sama halnya dengan gue, Nino, dan Atang. Asep belum datang. Biasalah, dia akan nongol lima menit sebelum bel. Riko? Gak usah ditanya lagi. Dia lagi ngecengin pacarnya yang entah ke berapa. Jauh di depan kami, ia lagi duduk bermesraan sama doinya. Gak habis pikir gue sama dia. Hari ini sama si ini, besoknya sama si ono.
"Udah bau. Jadi gue cuci dulu."
"Tapi gue ngerasa kurang liat lo gak pake kupluk."
"Lebay lo." Satu suap batagor lolos masuk mulut gue. "No, rumah lo sepi?"
Ia mendongkak. "Iya. Mau main? Boleh."
"Mereka gak pernah pulang, ya?" tanya gue prihatin. Yang gue maksud adalah orang tuanya. Tatapan Nino kosong. Tak lama, ia tersenyum kecut.
"Hust ...," Atang melotot galak, memberi isyarat untuk diam.
"Sorry ... nanti kita main ke rumah lo. Udah lama gue gak maen PS. Jangan lupa, lo pokoknya harus sediain cemilan yang banyak. Gak mau tau gue," seru gue antusias untuk mengalihkan topik.
Kepalanya ngangguk. "Boleh."
"Kalau bisa harus ada pizza, burger, dan ... oh sturbuck juga. Pokoknya nanti lo harus pesenin sepaket semua. Eh tambahan ckicken juga yang wadahnya ember itu sepuluh. Udah lama gue gak makan itu. Boba juga deh kalau bisa," cerocos gue tanpa henti.
Atang mukul gue dengan tinjunya. "Lo mau rampok dia, nying?"
Gue ngusap pipi bekas pukulannya. Sumpah pukulannya gak main-main. "Sakit, bego." Gue balas nabok keningnya.
Atang berdiri, gak terima. "Berani lo sama gue?"
Gue ikut berdiri. "Berani lah. Lo itu cuma remahan peyek asal lo tau."
"Lo ngatain gua?!"
"Iya, kenapa, gak suka?!"
"Bacot lu." Atang membusungkan dadanya. "Mau berantem?" tawarnya menantang diikuti wajahnya yang sangar. Jarak kami terhalang oleh meja.
"Ayo, siapa takut. Cuma elo doang." Gue tertawa meremehkan.
Nino terdiam memandang kami. Gak ada ekspresi apapun di wajahnya.
"Nantangin gua lu!" Atang bersuara keras. Beberapa pasang mata manusia yang ada di kantin memusatkannya ke kami.
"Elo yang nantangin!" balas gue gak kalah keras.
"Emang lo berani one by one sama gue?" Alisnya terangkat sebelah, meremehkan.
Gue terdiam.
"Nggak," cicit gue sambil geleng. Gue natap Atang dengan yakin. "Tapi gue bakal berusaha."
Gue emang cemen, gak bisa berantem. Dan ... gue benci ngakuin itu. Gimana gue bisa ngelindungin Beruang Kecil gue alias Riri?
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction[FOLLOW AUTHOR DULU, YA.] "Semua pemberian lo itu bikin gue jijik, jadi gak usah ngasih-ngasih lagi! Jijik ya? Kapan sih dia bisa lihat gue sebagai manusia, bukan lagi bakteri? *** "Asal lo tau, lo itu sampah, cocoknya dibuang!" Lagi-lagi dia pergi...