"Kamu tahu kan, Riss, Tante sudah semakin tua begitu pun dengan Om Adam. Erick tidak bisa diharapkan karena dia akan memilih karirnya terlebih dahulu dibandingkan dengan mencari seorang istri. Clara..." Sonya menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. "Kekasihnya terlalu sibuk berkarir. Jadi, kami berharap sama kamu dan Leo agar segera mendapatkan keturunan." Dibalik penampilannya yang dewasa dan bijak, Sonya tidak lebih dari ibu-ibu kampung yang menginginkan menantunya segera mengandung seolah menantunya adalah pabrik pembuat bayi.
Rissa menatap Sonya dingin. Ini kali pertama dia menatap ibu mertuanya dengan tatapan dingin dan menantang. Bukan karena dia tidak menghargai Sonya tapi karena pemaksaan Sonya soal anak. Bukankah itu haknya untuk memiliki anak atau tidak. Sonya membuat Rissa tidak nyaman.
"Mah, mamah tidak bisa memaksa Rissa. Pernikahan dengan Leo saja sudah membuatnya tertekan ditambah lagi tuntutan untuk memiliki anak." Erick berkata seperti seorang dosen yang memarahi mahasiswanya yang tidak becus mengerjakan tugas sepele.
Tatapan Sonya menukik tajam pada Erick. "Kalau begitu kamu cari calon istri mulai dari sekarang bukan malah sibuk dengan disertasimu itu."
Erick mulai melunak. Dia menatap ke arah Rissa. Wanita yang ingin dijadikannya istri adalah wanita yang dicintainya dan tatapan matanya pada Rissa dibaca jelas oleh Sonya, Adam dan Leo sebagai tatapan yang tak biasa. Ada perasaan yang lain di sana. Perasaan yang bukan hanya sekadar teman atau saudara tapi lebih dari itu
"Aku setuju soal Erick untuk segera mencari calon istri. Usiamu itu sudah matang dan kamu itu anak dari Adam William Xanders, wanita mana yang bisa menolakmu." Leo berkata ringan seringan kapas.
"Bukan urusanmu."
Rissa dan Clara bisa melihat pandangan sengit Leo dan Erick meskipun mereka berusaha menyembunyikan pandangan sengit itu. Rissa mulai memahami perasaan Leo yang membenci Erick. Ya, kalau Erick adik kandung Leo tidak mungkin sikap Leo seburuk itu pada Erick.
"Segeralah berumah tangga, Rick."
"Jangan kolot, Mah." Rutuk Erick.
"Setidaknya kalau kamu sudah menikah mamah tidak akan berharap lebih pada Rissa yang masih ingin bekerja."
"Jangan terlalu berharap padaku nanti kecewa." Balas Erick tanpa menatap wajah Sonya.
"Mah, stop minta kami buat menikah." Clara akhirnya bersuara. "Kami punya pilihan masing-masing entah mau menikah ataupun tidak. Ada apa sih dengan keluarga ini, kenapa seperti disuruh buru-buru menikah. Biarkan Rissa tetap bekerja, biarkan Kak Erick mengejar gelar doktornya dan biarkan aku mulai berbisnis sendiri." Clara berkata dengan nada lembut meskipun kekesalan memenuhi dadanya. Dia bisa mengontrol emosinya dengan elegan.
Hening.
Suasana menjadi canggung untuk beberapa saat.
"Anak-anakku, papah tahu kalian masih muda tapi saat nanti kalian berumur empat puluh tahun ke atas, kalian akan merasakan kesepian kalau masih belum memiliki anak." Adam dan Sonya tak jauh berbeda. Mereka sama-sama kolot, pikir Erick.
Rissa merasa bersalah pada Erick dan Clara karena keinginannya untuk tetap bekerja, Adam dan Sonya malah menuntut Erick dan Clara untuk segera menikah, apalagi Erick.
"Beri aku waktu enam bulan lagi, Tante. Setelah itu, aku akan menjadi istri Leo sepenuhnya." Ucapnya. Entah dia akan menepati janjinya atau tidak, tapi Rissa berharap ucapannya dapat meredakan suasana yang canggung ini.
Semua mata tertuju pada Rissa.
"Bagus. Tante tunggu enam bulan lagi."
"Riss," Erick menatap Rissa. "Kamu tidak perlu bilang hal kaya gini sama mamah. Kalau kamu masih mau bekerja, bekerja saja. Aku tahu kamu tidak punya keinginan untuk menjadi istri siapa pun apalagi istri Leo. Aku tahu kamu ingin menikah di atas usia tiga puluhan. Aku..." Erick tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dua tahun lalu, Rissa bercerita soal mimpi-mimpi dan keinginannya tentang karir dan percintaan pada Erick.
"Erick, kamu sudah di luar batas mengatur-ngatur Rissa." Adam menatap tajam putra keduanya itu.
"Yang mengatur Rissa adalah mamah dan papah. Kalian yang di luar batas mengatur Rissa seenaknya. Menikahkannya dengan Leo dan menyuruhnya segera mengandung cucu yang kalian inginkan." Emosi kekesalan bercampur kesedihan terlihat jelas di sorot mata Erick.
"Kami hanya menjalankan sesuai dengan wasiat kakekmu." Ujar Sonya.
"Wasiat Kakek adalah agar Rissa dinikahkan denganku, Mah. Bukan Leo. Tapi, mamah keukeuh agar Rissa menikah dengan Leo." Erick menghela napas perlahan. "Kenapa? Karena aku bukan anak kandung mamah?" Dia masih bisa bernada lembut saat emosi bergejolak di dadanya.
Refleks, Sonya berdiri, "Erick!"
***
Saat Leo dan Rissa sampai di parkiran mobil apartemen Rissa, Leo menatap Rissa beberapa saat. Rissa masih syok dengan apa yang terjadi di meja makan tadi. Dia melihat mata Sonya yang berkilat sedih saat Erick mengatakan kalau dia bukan anak kandung Sonya. Meskipun Erick bukan anaknya tapi Sonya jelas menyayangi anak itu. Bahkan dari kecil Rissa melihat Sonya tak pernah pilih kasih. Dia menyayangi semua anak-anaknya.
"Aku sudah bilang padamu kalau Erick bukan anak kandung ibuku."
"Kenapa Erick harus mengatakan hal itu di depanku? Kenapa dia tidak pernah menceritakan yang sebenarnya?"
"Sudahlah. Kamu tidak usah memikirkannya. Ibuku menyanyangi Erick seperti dia menyayangiku. Erick beruntung punya ibu tiri seperti ibuku."
"Lalu, di mana ibu kandung Erick?" Rissa bertanya penasaran.
Leo mengangkat bahu. "Well, terima kasih sudah tidak bersikap buruk."
Ini kali pertama Leo mengucapkan 'terima kasih' pada Rissa.
Rissa menatap Leo dengan tatapan aneh seolah Leo baru saja minum obat penenang. Wajah pria itu semakin dekat dengan wajahnya. Tatapan matany sejak di meja makan tadi memang berubah dari biasanya. Lebih lembut dan terkesan peduli padanya.
Mata Leo tertuju pada bibir Rissa, dan wajah itu semakin mendekat. Rissa cepat-cepat mengalihkan fokus Leo dengan berkata, "Aku harus istirahat karena besok kita ada meeting pagi." Ucapnya sembari melepas sabuk pengaman.
***
Update lagi gak nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Marriage (21+)
Romance"Enam bulan menjadi suamimu, dan aku menyesali pernikahan konyol ini." "Kamu menyesal karena kebingungan Diva mendesakmu untuk menikahinya kan?" Kali ini aku tersenyum lebar. "Aku khawatir..." Aku memasang ekspresi cemas yang dibuat-buat. "Jangan...