Aku berjalan memasuki ruanganku. Menguncir rambutku dan menatap kosong orang-orang yang berlalu lalang. Aku menampar Leo. Dan rasanya... sangat menyenangkan! Aku tersenyum puas saat keluar dari ruangannya. Aku tidak tahu kalau menampar seseorang bisa semenyenangkan ini. Pria itu hanya terdiam saat aku menamparnya. Mungkin dia terlalu terkejut karena aku berani menampar sebelah pipinya hingga memerah.
Saat di koridor aku berpapasan dengan Erick. Pria penyuka warna biru tua itu tersenyum kepadaku. "Mau es krim, Nona?" Dia membawa dua es krim rasa cokelat. Aku meraih es krim di salah satu tangannya.
Erick sangat berbeda dari Leo. Dia ramah, murah senyum dan memberikan kenyamanan pada siapa pun. Dia masih menyelesaikan gelar doktornya di bidang bisnis dan ekonomi. Sesekali dia membantu Leo dengan bertugas sebagai wakil menghadiri beberapa acara penting dengan kolega bisnis. Erick lebih tertarik pada dunia akademis dibandingkan menjadi seorang pebisnis. Dia ingin menjadi seorang dosen. Bahkan dia sendiri tidak tahu kalau sebenarnya almarhum Pak William menginginkan dialah yang menikahiku.
"Disertasi membuatku pusing." Dia menggigit es krimnya. "Boleh aku minta waktumu?"
"Ya, tapi, aku harus menyerahkan file ini ke bagian keuangan."
"Oke, aku tunggu." Dia kembali menggigit es krimnya.
Aku menoleh ke arah belakang dan aku tak sengaja melihat Leo berdiri sembari membenamkan kedua tangannya di saku celana. Dia menatap kami.
***
Erick memandangku sembari tersenyum saat kami duduk di taman kota. "Waktu kenapa berjalan begitu cepat ya. Baru saja kemarin aku melihatmu dengan rambut dikuncir dua saat Leo ulang tahun. Sekarang, kamu sudah menjadi istrinya saja."
"Ya, begitulah waktu. Tiba-tiba kita menua saja tanpa kita sadari." Aku terkekeh. Karena kelembutan Erick aku bersikap hangat. Dia seperti teman bagiku. Lebih dari sekadar teman. Melebihi teman. Mungkin semi saudara. Ya, dia humble dan menyenangkan. Sangat berbeda dari Leo.
"Aku lihat Diva keluar dari ruangan Leo dengan wajah marah." Erick dan Clara tahu soal kekasih Leo yang bernama Diva. Dan tidak ada satu pun di antara kami yang memberitahu soal Diva pada Nyonya Sonia dan Tuan Adam William Xander.
"Mereka kan anak kecil. Usia hanya angka, Riss. Kalau sampai Diva tahu kamu istri Leo, bakalan terjadi perang besar-besaran antara Leo dan Diva."
"Terkadang, aku menyesal menikah dengan Leo. Aku bahkan tidak tahu tujuan hidupku setelah menikah dengan Leo."
"Terkadang, aku pun menyesal karena tidak bisa menikahimu lebih dulu. Kalau saja Leo mau mengalah."
Aku menoleh ke Erick. Wajahnya sendu. Aku yakin, hidupku mungkin akan lebih baik kalau aku menikah dengannya. Pria baik hati.
"Riss, aku mau minum sampanye besok malam di apartemen kamu. Boleh kan? Disertasi membuatku merasa sepuluh tahun lebih tua."
"Boleh. Tentu aja, Rick. Apartemenku kan milikmu juga. Kamu yang membelikannya."
"Hahaha. Kadang, aku lupa kalau aku yang membayar apartemen untukmu." Dia terkekeh.
"Ngomong-ngomong, aku kira alangkah lebih baiknya kalau mamah dan papah tahu soal Diva agar Leo tidak semena-mena sama kamu dan bersikap baik."
"Memang tabiatnya sudah seperti itu dari kecil. Dia membenciku, Rick. Percuma. Biarkan saja."
Aku masih ingat tatapan Leo saat pertama kali kami bertemu. Senyum dinginnya padaku dan sikapnya yang buruk. Hingga aku berpikir kalau aku layak dibenci tapi Erick dan Clara mematahkan pikiran buruk tentangku. Mereka menganggapku teman meskipun sikap Sonia tidak sebaik sikap Adam tapi aku ingat setiap kali dia pergi ke luar negeri dia selalu memberikanku oleh-oleh.
"Riss, Bagas sudah putus dengan Clara?" Tanya Erick heran. Dia mengulurkan ponselnya padaku. Di sebelah Bagas ada foto seorang wanita dengan rambut berwarna bubblegum pink. Mereka berpelukan seperti sepasang kekasih. Di artikel gosip itu diberi judul, Kekasih Baru Bagas Aditya Seorang Selebgram Seksi Annabel Daisy. Dahiku mengernyit membaca judul beritanya.
"Kekasih baru?" aku dan Erick saling menatap beberapa saat seolah kami berdua berpikiran hal yang sama.
"Gimmick untuk meningkatkan popularitas si selebgram." Ujar Erick.
Aku tersenyum. "Lagian selama berpacaran dengan Clara, Clara memang tidak pernah dipublish kan."
"Namanya mengingatkan kita dengan film Annabel. Kamu ketakutan waktu nonton film itu."
"Hahaha." Aku terkekeh karena nama si selebgram mengingatkan aku pada film Annabel.
***
Besok malamnya, Erick meneleponku. Dia membawa Clara datang ke apartemenku. Aku membawa dua gelas di atas meja dan kami duduk di bawah sofa mengelilingi meja.
"Hei, kamu cerita apa saja ke Leo?" Aku bertanya tidak sabar saat Clara sedang menuangkan botol wine ke gelas.
"Apa?" Dia berlagak bodoh.
"Kamu cerita apa saja tentang aku ke Leo?"
Erick menatap aku dan Clara secara bergantian. "Loh, memangnya kenapa?" Tanya Erick lebih kepada diriku.
"Tanya saja ke adikmu." Jawabku.
"Aku..." Clara mengelus rambut pendek sebahunya lembut seolah sedang berpikir keras. "Dia menanyai tentangmu. Ya, aku jawab saja yang aku tahu tentang kamu."
"Astaga, Clara!" Mataku memelotot.
"Tenang saja, Riss, Kakakku mungkin ingin lebih mengenalmu. Dia mau jadi suami yang baik buat kamu."
"Leo itu... keparat, Clara. Kakakmu itu...." Aku teringat tatapan Leo dan ucapannya mengenai diriku hingga membuat wajahku menunduk malu.
Saat aku kembali membuka mulutku untuk memaki Leo, pria itu tiba-tiba datang tanpa diundang.
"Hai, Kak Leo." Clara melambaikan tangan pada kakak sulungnya.
Mata kami saling bersitatap sebelum aku bertanya pada Clara dengan nada rendah. "Kamu memberitahunya kalau kamu dan Erick datang ke sini."
Clara mengangguk dengan senyum tanpa dosa.
***
Bantu vote cover ya 1/2 nih?
Thank you ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Marriage (21+)
Romance"Enam bulan menjadi suamimu, dan aku menyesali pernikahan konyol ini." "Kamu menyesal karena kebingungan Diva mendesakmu untuk menikahinya kan?" Kali ini aku tersenyum lebar. "Aku khawatir..." Aku memasang ekspresi cemas yang dibuat-buat. "Jangan...