Sebelah sudut bibir Leo tertarik ke atas. "Rissa benar, Rick. Kalau orang tua kita tahu apa yang terjadi antara kamu dan Rissa, akan ada masalah yang lebih besar lagi nanti."
"Itu urusanku, Leo. Bukan urusan pria berengsek sepertimu."
"Kamu bilang aku berengsek?" Leo berkata dengan santai. Dia sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Erick yang sedang cemburu padanya.
"Berengsek dan bodoh." Tukas Erick. Dia menenggak wine dari gelas Clara.
"Rick, tolong bawa Clara ke kamar tamu." Rissa berkata pada Erick. Tanpa protes Erick menggendong Clara yang beratnya sudah lima puluh dua kilogram dengan tinggi badan seratus enam puluh sembilan sentimeter itu.
Leo menatap Rissa. Dan tatapan mata Leo membuat Rissa tidak nyaman. Entah kenapa pria itu makin menjadi-jadi sejak... entah sejak kapan. Makin membuat jantung Rissa berdegup. Tapi, Rissa harus tetap berada dalam kesadarannya. Dia tidak boleh menerima perasaannya yang mungkin mulai menginginkan Leo dan juga Erick di waktu bersamaan. Tidak, dia waras dan normal. Tapi menyukai dua pria secara bersamaan apakah tetap normal.
"Aku tahu kamu ingin kita tampak menjadi pasangan suami-istri sungguhan di depan ayah dan ibumu. Aku akan menuruti semua kemauanmu asal kamu tidak bilang apa-apa soal Erick dan aku pada orang tuamu." Rissa memilih konsekuensi yang membahayakannya daripada harus membuat kecewa Adam dan Sonya.
Leo tersenyum. Tersenyum penuh kemenangan. Dia menarik lembut anakan rambut Rissa ke belakang telinganya. Leo berbisik di telinga Rissa. "Katakan pada Erick kalau kamu tidak mencintainya dan minta dia pergi. Jaga jarak dengan Erick dan buat dia menyesal karena mencintaimu, Rissa. Salah satu jalan agar Erick tidak bilang apa pun pada papah dan mamah adalah dengan membuatnya membencimu."
Mereka saling menatap satu sama lain hingga Erick kembali dan berdeham.
Rissa tidak tahu apakah cara ini memang tepat. Menjaga jarak dan membuat Erick membencinya? Itu hal yang sangat sulit baginya mengingat betapa baik Erick padanya. Erick bukan hanya teman tapi juga kakak dan seseorang yang selalu melindunginya setelah William Xanders. Dia menatap Erick cukup lama.
"Kenapa, Riss?" Tanya Erick heran.
"Tidak." Rissa menggeleng.
"Oh ya? aku akan ke rumah papah dan bilang kalau aku dan Rissa memiliki hubungan spesial. Aku akan minta agar Leo—" Erick menatap Leo beberapa detik. "menceraikanmu. Aku tidak minta aset apa pun, aku hanya minta Leo menceraikanmu. Dan semua aset jatuh kepadamu Leo." Erick kembali menatap Leo. "Kamu dan Clara."
Rissa menegang beberapa saat. Dia tidak bisa berpikir bagaimana nanti hidup Erick kalau orang tuanya menuruti permintaannya. Dia hanya meminta Rissa bukan harta. Dia hanya meminta kakaknya menceraikan Rissa. Itu artinya, Rissa akan mengecewakan Adam dan Sonya. Bukan hanya dua orang itu saja, tapi juga almarhum William Xanders yang membiaya hidupnya. Yang menyayanginya seperti cucunya sendiri. Ya,
Rissa memang berencana berpisah dengan Leo dan pergi dari keluarga Xanders, tapi bukan sekarang. Terlalu dini untuknya berpisah dengan Leo. Setidaknya, dia bisa memberikan apa yang diminta Adam dan Sonya yaitu seorang cucu. Dan skenario yang diinginkannya pada saat waktunya nanti adalah Leo yang bersalah. Leo yang mengkhianatinya bukan dia yang menjalin asmara dengan Erick itu sama saja dengan mencoreng nama keluarga Xanders.
"Kamu yakin, Rick?"
"Ya. Aku sangat yakin."
"Hidup tanpa harta dari orang tua itu rasanya tidak enak. Selama ini diakui atau tidak kamu hidup dengan harta orang tua. Kamu belum bisa mencari uang sendiri. Kamu pikir dengan gelar doktormu itu kamu bisa bekerja di mana saja? Apakah kamu pikir mudah mendapatkan pekerjaan tanpa campur tangan papah?"
Erick terdiam sesaat. Dia teringat beberapa temannya yang lulus S1 dan S2 tapi belum mendapatkan pekerjaan hingga Ericklah yang memberikan mereka pekerjaan di perusahaan induk papahnya.
"Aku tidak mau berpisah dengan Leo." Rissa akhirnya bersuara. Suaranya sedikit bergetar. Erick mungkin tidak menyadarinya tapi Leo tahu karena pria itu duduk tepat di samping Rissa.
Dahi Erick mengerut. "Apa katamu?" Dia bertanya dengan tenang.
"Aku tidak mau berpisah dengan Leo."
Leo tersenyum puas. "Kamu dengar sendiri? Rissa tidak ingin berpisah dariku."
"Dan soal ciuman kita..." Rissa menelan ludah. "Itu tidak ada artinya."
Wajah Erick berubah pucat. Dia masih bisa tersenyum kecil di sela-sela kekecewaannya pada Rissa. "Apa yang Leo katakan sampai kamu bilang kaya begini, Riss?"
"Tidak. Leo tidak bilang apa-apa. Aku hanya merasa kalau kamu mulai keterlaluan. Ini hidupku, Rick. Kamu tidak perlu ikut campur. Aku tahu apartemen ini pemberianmu, aku tahu kamu baik padaku tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusanku." Rissa membuang wajah. "Maaf, tapi aku ingin kamu pergi sekarang."
Hening.
Wajah Erick yang pucat berubah memerah. Untungnya, dia bisa mengendalikan emosinya. Dia masih bisa setenang ini di saat hatinya dihancurkan wanita yang dicintainya itu. Sayapnya patah.
"Oke, aku pergi." Erick pergi dengan membawa sebelah sayapnya yang patah.
Rissa menatap tajam Leo. "Kamu puas melihat adikmu seperti itu, Leo? Kakak macam apa yang senang melihat adiknya dikecewakan?"
Leo tersenyum pada Rissa. Senyum yang sulit Rissa artikan maknanya. Sebelah tangan pria itu membelai sebelah pipi Rissa lembut. "Aku memang diciptakan untuk menjadi antagonis, Riss."
Rissa mengibaskan sebelah tangan Leo dari pipinya. "Pergi dari apartemenku sekarang." Pinta Rissa dengan penekanan pada setiap patah katanya. "Aku sudah menuruti perintahmu, sekarang pergilah. Aku muak melihat wajahmu."
"Kamu mengusirku?"
"Ya!"
Leo menatap mata Rissa intens. "Aku sudah bilang padamu kalau aku akan tidur malam ini di sini." Leo tersenyum nakal.
***
Aku update bab 26-27 di Karyakarsa ya. Cuma 3000-ribuan doang udah bisa baca bab 26-27.
Untuk 2 bab itu aku nggak update di wattpad ya ^^ Akun Karyakarsa : Sabrinawd
Link : https://karyakarsa.com/Sabwd/secret-marriage-bab-2
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Marriage (21+)
Roman d'amour"Enam bulan menjadi suamimu, dan aku menyesali pernikahan konyol ini." "Kamu menyesal karena kebingungan Diva mendesakmu untuk menikahinya kan?" Kali ini aku tersenyum lebar. "Aku khawatir..." Aku memasang ekspresi cemas yang dibuat-buat. "Jangan...