chapter 32

47 9 1
                                    

32 | diterpa duka kembali.









Setiap kenangan indah akan selalu terpantri selamanya dalam laci memori menimbulkan sensasi manis dalam dada. Namun dari sekian banyak kenangan manis yang Jungkook ingat, sebagian besar hanya kepingan memori pahit yang seakan berdiri kokoh selayaknya pilar berdampingan dengan kenangan manis. Jungkook masih mengingat jelas bagaimana ia dan Jungwoo tertawa kencang saat keduanya tersungkur jatuh karena ombak mendadak datang. Keduanya basah kuyup disaat ibu hanya menyuruh mereka mengambil rumput laut di pelabuhan.

"Kak, ibu akan marah jika melihat kita pulang dengan keadaan basah kuyup!" Protes Jungkook remaja.

Sang kakak masih tertawa mengabaikan kecemasan dalam raut wajah adiknya. "Lagipula kita berdua yang akan dimarahi. Kalau hanya aku atau kau, namanya tak adil."

"Aku serius, Kak."

Jungwoo mencipratkan air kepada Jungkook dengan sengaja. "Sudah berhenti memikirkan ibu, ayo bermain saja sepuasnya!"

Pada ceruk memori yang sama, untuk pertama kalinya keinginan Jungkook dapat terwujud setelah Jungwoo memaksa ayah pergi ke taman hiburan. Jungkook bisa merasakan adrenalin berpacu dua kali lipat saat menaiki rollercaster di musim panas. Ia yang meminta ingin pergi ke taman hiburan dan Jungwoo menjadi orang yang berkontribusi besar mewujudkannya sebab sebelumnya ayah tak mengizinkan karena alasan kesehatan sang kakak.

"Kakakmu tidak sekuat dirimu, Kookie. Dia tidak bisa pergi ke taman hiburan seperti itu. Apalagi harus berlarian dan menaiki wahana yang memiliki risiko bahaya pada jantungnya. Jadi kita bisa menghabiskan waktu di rumah saja sepanjang liburan sekolah. Kau tidak keberatan, bukan?"

Saat itu Jungkook memang tak masalah—sama sekali, bila harus menghabiskan masa liburan di rumah. Ia sudah menelan kekecewaan dan memilih patuh daripada kakaknya dalam bahaya. Hingga ia sadar masa kecilnya memang kurang menyenangkan dan hanya berpusat pada Jungwoo namun ia tak pernah membencinya atau bahwa menyalahkan siapapun.

Kendati tak ada yang tahu bahwa Jungkook merasakan ketakutan luar biasa bila gagal menjaga Jungwoo setelah ayah pernah berkata lagi, "Saat dewasa nanti, ketika ayah lebih dulu pergi, tetap jaga kakakmu, ya, Jungkookie. Kau memang seorang adik, tapi kakakmu tidak seberuntung dirimu. Dia tak bisa bersekolah sesuka hati, mencari teman atau berlarian seperti anak normal lainnya. Jantungnya lemah—sangat lemah. Jadi kau mengerti apa yang kumaksud, bukan?"

Jungkook nyaris mengigit lidahnya sekuat mungkin, mengangguk patuh untuk sekian kali. Niat hendak melaporkan bahwa ia juara kelas pun bibirnya terkatup rapat. Benaknya menyimpulkan mungkin kabar yang ia bawa tidak begitu penting daripada kesehatan kakaknya. Ayah hanya mengerti bahwa sudah sepatutnya Jungkook diberi tanggungjawab sebesar itu. Seolah dunianya akan lenyap jika sekali saja Jungwoo tak sadarkan diri. Meski hal tersebut sering kali terjadi tapi itu bukan sesuatu yang bisa disalahkan kepada siapapun.

Harus mengerti dan bisa menjaga diri sendiri—adalah pesan yang terus tersemat dalam kepala Jungkook sehingga membuatnya merasa asing dalam rumahnya sendiri, sebab tak ada yang lebih memperhatikan dirinya baik dalam keadaan sehat ataupun sakit. Jadi bila ia merasa sendirian mungkin hal itu yang paling biasa dirasakan setiap waktu. Tak pernah bicara bila ada yang salah dengan tubuhnya karena tahu ibu dan ayah sudah kewalahan mengurus Jungwoo dan ia tak ingin menambah merepotkan.

Namun di sana, saat dirinya menemukan seseorang yang dapat menghilangkan kesendirian dan menjadi tempat satu-satunya untuk mendapatkan apa yang diinginkan, tengah menatapnya dengan ekspresi sulit dijelaskan. Tepat di kala kondisinya telah membaik ketika matahari sebentar lagi menyingsing, kenyamanan yang ia rasakan mendadak meluap saat sebuah kalimat diluncurkan begitu saja.

After Fallin'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang