Genggam, Tanganku Sayang.

7.4K 383 9
                                    

"Papi mau Nabila ambilkan minum?" tawar Nabila saat melihat Rony terbatuk-batuk.

Rony menggeleng cepat, "nggak usah Nab."

Deham yang dilakukannya memang bukan karena tenggorokan terasa kering, melainkan sebuah kode untuk membuat dua manusia yang saling berpelukan itu menyudahi aksinya. Sayangnya kepolosan Nabila tidak menangkap maksud dari sang papi.

"Nabila lanjut latihan dulu ya Pi." Sengaja hanya berpamitan dengan sang papi, Nabila tidak ingin mengganggu interaksi Mami Salma dengan orang asing yang tidak dikenalinya itu.

Rony hanya mengangguk, kemudian turut melipir meninggalkan Salma dan Paul, menjadikan sofa sebagai tujuan untuk melanjutkan kegiatan tidur yang tadi sempat terjeda karena harus mengendarai mobil.

"Kangen banget ya sama gua?" tanya Paul yang kini telah merenggangkan pelukan.

"Lama banget kita enggak ketemu, Paul."

"Seingat gua anak kalian masih pada balita, kenapa sekarang udah pada gede aja sih."

"Lu yang kelamaan di sana Paul."

"Rony mana?" tanya Paul yang menyadari sahabat yang sudah seperti saudara laki-lakinya itu tidak menyambutnya dengan baik.

"Lah, tadi di sini sama Nabila. Kok dua orang itu udah hilang aja," balas Salma sambil menoleh kanan kiri. Sebab ia ingat betul anak dan suaminya tadi masih berada di sampingnya.

Seketika Paul tertawa sambil menunjuk ke arah sofa, "kegiatan wajib Rony belum hilang juga ya."

Salma seketika mengela napas, "tadi juga sebelum kesini harus nyari dia dulu yang ternyata sedang tidur di kafetaria kantor. Orang ke kafetaria buat makan, dia malah tidur."

Paul menghentikan tawanya, "Ya namanya juga Rony, Ma. Begitu adanya."

Paul dan Salma segera mendekat ke arah Rony, sedari dulu Paul suka mengganggu Rony yang tertidur, berusaha agar nyawa teman laki-lakinya terkumpul.

"Gini nih, aku nggak disambut, nih?"

"Disambut," ucap Rony datar dengan mata terpejam.

"Enggak gitu dong Ron."

"Tadi sambutannya udah gua titipkan Mamak waktu ke airport," ujar Rony yang kini bangkit dari rebahnya, membiarkan Salma dan Paul untuk duduk di sampingnya.

"Apa kabar bro?" tanya Paul sambil mengajukan tangan ke arah Rony.

"Ngantuk Bro," balas Rony membalas uluran tangan tersebut, bukan menyambutnya dengan tangan terbuka seperti yang dilakukan Paul, Rony justru mengepalkan tangan sebagai balasan.

"Kapan ngantuk pergi?"

"Udah tadi."

"Kapan?"

"Waktu ke sini, gua manggil fokus dulu buat ngendarain mobil terus si ngantuk pergi."

"Ma, kok lu bisa nikah sama orang kek gini sih?" tanya Paul yang kini duduk di antara Salma dan Rony.

"Nah tuh, gak tahu gua. Kenapa dulu mau aja ya nikah sama dia."

"Nah tuh," kebiasaan Rony yang suka menirukan Salma masih dilakukan sampai sekarang.

"Lu sendiri kapan mau nikah Paul?" Salma membalik pertanyaan kepada Paul yang sampai saat ini masih melajang.

"Belum tahu, mungkin hari ini..."

"Hari esok atau nanti," sambung Rony dengan nada sebuah lagu yang memiliki lirik tersebut.

Ketiga manusia di dalam ruangan tertawa, ingatan mereka yang dulu suka melakukan sambung lagu seperti terputar kembali.

"Emang gak ada bule cantik di sana? banyakkan?" tanya Salma setelah tawanya mereda.

"Ya ada. Tapi yang pas di hati belum ada."

"Widih, apa tuh? Rongga perut kanan bagian atas?" celetuk Rony membuat Salma menatap sengit.

"Kok jadi bawa-bawa rongga perut segala?" tanya Salma dengan nada suara meninggi.

"Tempatnya hati yang pas di mana? rongga perut kanan bagian atas kan?"

Salma dan Paul bersamaan menghela napas, selain tertidur, Rony juga suka membuat tertawa meski seringnya membuat marah Salma.

"Barang bawaan udah ditaruh hotel?" tanya Rony yang menyadari tidak ada tas besar atau koper di sekitar Paul atau di dalam ruangan ini.

"Sudah di rumah Mamak," balas Paul sambil menaikkan alisnya.

"Jangan-jangan lu kesini karena jadi bule termiskin di dunia?" tanya Rony yang mendapat pukulan ringan dari Salma.

"Nggak boleh gitu Ron." Salma membela, tetapi kemudian bertanya, "tapi emang lu dah nggak mampu buat check in hotel?"

"Kalian sama saja deh."

Di tengah keributan tiga sahabat yang lama tidak berjumpa, Nabila baru saja menyelesaikan latihannya untuk hari ini dan segera menemui kedua orang tuanya untuk pamit pulang lebih dulu.

"Papi, Mami, Nabila pulang dulu ya. Sudah selesai latihannya," suara halus itu berhasil menghentikan tawa yang menyelimuti ketiga manusia dewasa tersebut.

"Kok pulang dulu? Bareng saja sama kita, siang ini kita makan di rumah Mamak."

Jawaban Salma berhasil membuat mata Nabila berbinar, sudah lama gadis itu tidak bertemu dengan Nenek dan Kakeknya.

Sayangnya binar di mana Nabila, berhasil membuat Paul terdiam, pesona keindahan keturunan hawa ini membuatnya terbius kaku.

"Kenalin Nabila, ini Om Paul. Mungkin kamu udah lupa ya." Kali ini Rony yang bersuara sambil menepuk pundak Paul yang duduk di sampingnya.

"Nabila." Penyebutan namanya bersamaan dengan uluran tangan, beberapa detik tidak langsung mendapat reaksi. Paul masih terdiam dengan tatapan mengarah pada bidadari di hadapannya.

Hingga Salma mencolek bahunya, Paul segera meraih uluran tangan Nabila dan turut menyebutkan namanya, "Paul."

Sejenak luangan melenggang, meski sebenarnya ada debar di dalam jantung salah satu di antara mereka.

"Ya udah yuk, kita ke rumah Mamak sekarang."

Salma beranjak lebih dulu, meski pada akhirnya ia membiarkan Rony dan Nabila yang berjalan di depan. Ketika hampir mencapai pintu ruangan, Paul menahannya.

"Ma, kayaknya, gua mau nikah deh."

Kalimat Paul sejenak membuat Salma menaikkan alis, kemudian menanggapi dengan kata, "bagus."

🍣🍣🍣

Selamat berpuasa di hari kedua bagi teman-teman yang menjalankan.
Semoga cerita ini bisa menemani kalian ya 🙌
Terima kasih sudah membaca dan respon baiknya 🤗
Salam TerSALMON-SALMON 😁
Jangan lupa vote mereka ya.



Mencoba Mencari Celah dalam Hatimu (MMCDH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang