Aku Lelakimu

4.4K 319 46
                                    

"Senang habis dikunjungi sama Flora?" Salma yang tadi lemah lembut seketika berubah 180 derajat seperginya Flora.

"Sal," panggil Rony dengan lembut.

Paul yang sedari tadi mematung di bingkai pintu, memutuskan turut bergabung dan mengambil kursi pengunjung untuk duduk di samping Salma.

"Kalian kenapa deh? Baru juga romantis-romantis, sekarang dah balik lagi jadi mode berantem," komentar Paul sambil meraih nasi goreng yang sedari tadi menggodanya, tetapi kondisi tidak membuatnya bisa mencicipinya.

"Diam Paul," sentak Rony dan Salma bersamaan, membuat Paul yang berkesempatan menyicipi nasi goreng itu tersedak.

Mendadak Salma menghadap Paul, "Mumpung ada Paul di sini, gua mau minta tolong. Tolong tanyain sama bestie-mu itu, gimana dia bisa rusakin mobilnya kayak gitu," Kalimat Salma memang sedikit menyebalkan, terkesan lebih peduli pada mobilnya dibandingkan dengan suaminya.

"Tanyain langsung aja deh Ma, kenapa mesti lewat gua dah," protes Paul yang lebih memilih melahap nasi goreng tak tersentuh itu.

"Bilang sama bestie-mu itu, Paul. Gua kayak gini karena mikirin dia," tukas Rony tidak mau kalah, menyela Salma yang hendak menolak aksi protes Paul.

"Mikirin gua atau mikirin Flora, tanyain lagi Paul!"

"Jawab mikirin Salma Salsabil, Paul."

Salma berdecak mendengar jawaban Rony. Kembali dia mengatakan sesuatu kepada Paul.

"Tanyain lagi Paul, apa dia baru aja diskusi sama Flora buat nutupin siapa Papa Anggis?"

"Demi Tuhan, Sal, gua gak tahu siapa Papa Anggis," kali ini Rony berkata dengan nada tinggi.

Paul mengerutkan dahi, seakan mengetahui ada yang janggal dengan obrolan mereka, "kenapa tiba-tiba ngomongin Papa Anggis?"

Pertanyaan Paul membuat Salma menemukan cara lain untuk mendapatkan jawaban atas siapa Papa Anggis.

"Paul, lu kan deket banget sama orang itu," ujar Salma sambil melirik Rony, "Menurut lu, mungkin enggak kalau Rony papanya Anggis?"

Seperti yang dilakukan Rony, Paul tertawa menanggapi pertanyaan Salma, "Ma, gini ya. Gua tahu temen gua emang ngeselin, suka bikin lu naik pitam, tapi gua tahu Rony, Ma. Sejahat-jahatnya dia, ini orang gak mungkin ngehamilin anak orang dan lepas tanggung jawab gitu aja."

Salma terdiam, kalimat Paul tidak bisa disangkal.

"Kalau lu emang penasaran. Seperti yang tadi Flora bilang, lu bisa tanya apa aja ke dia," saran Paul. Kali ini Rony menatap Paul dengan bangga, senang rasanya bisa ada seseorang dipihaknya.

"Ya mungkin, emang gak mudah ngobrol sama dia sekarang, beda sama waktu kalian masih sahabatan dulu. Tapi Ma, jangan simpan rasa penasaran sendirian, apalagi sampai berubah jadi praduga yang berujung tuduhan..." Paul mengambil jeda untuk melanjutkan kalimatnya.

"Gua gak mau lu sama Rony berantem, apalagi sampai ngambil keputusan yang salah."

Kalimat Paul menjadi embun sejuk yang menyiram isi kepala Salma juga Rony yang sedari tadi ribut dan kalut.

"Sal, kalau lu masih belum mau ngomong sama gua, habis dari sini, gua pulang ke rumah Mamak sama Paul aja." Kalimat Rony justru mematik api yang baru padam.

"Lu mau nggak gua izinin pulang selamanya, pakai acara pulang ke rumah Mamak segala. Enggak! Siapa yang mau gantiin perban? Nyiapin makan dan obat? Lu berharap dirawat Paul?" Murka Salma mendengar kalimat Rony.

"Sorry Ron, gua sibuk ngerawat ayam-ayam gua," seloroh Paul memihak Salma.

"Kalau mau dirawat Paul, jadi ayam saja kau."

Salma segera bangkit, alarm jam kerjanya telah berbunyi. Dengan terpaksa, Salma harus membiarkan Paul untuk menjaga Rony sampai diizinkan pulang.

"Paul, lu nemenin dia di sini dulu ya. Gua mau ke kantor, terus jemput anak-anak. Kalau sama dokter sudah boleh pulang, langsung anter ke rumah aja, jangan bawa ke rumah Mamak."

Salma berjalan cepat menuju koridor, ia ingin segera memasuki mobil dan menyalakan pemutar musik untuk sedikit menghilangkan stres.

Begitu semua terjadi, yang ada Salma justru terdiam, pasalnya lagu yang dia putar pada mobil Paul adalah lagu yang pernah dibawakan oleh Rony di sebuah konser.

"Datanglah bila engkau menangis..."

"Ceritakan semua yang engkau mau..."

"Percaya padaku, aku lelakimu..."

Salma menenggelamkan wajah di lipatan tangan pada kemudi, ia merutuki dirinya sendiri tentang tuduhannya kepada Rony.

Mungkin terlihat Salma begitu jahat jika menuduh suaminya seperti itu, tetapi di dalam lubuk hatinya yang terdalam, itu hanyalah luapan ketakutan.

Ketakutan jika suaminya diakui sebagai ayah oleh orang lain yang bukan anaknya.

Salma tidak terbiasa menangis di depan Rony, meski usia pernikahan sudah lama, bahkan gengsi seharusnya sudah tahu usia untuk segera pamit dari hubungan mereka, tetapi tidak bisa.

"Mungkin pelukku tak sehangat senja.."

"ucapku tak menghapus air mata..."

"Tapi ku disini s'bagai lelakimu..."

Salma mengakui itu pelukan Rony yang terbilang jarang memang tidak sehangat senja, tetapi begitu ampuh dalam hal menenangkannya.

Air mata yang tertahan di pelupuk mata, mulai terurai dengan leluasa. Tetes demi tetes memahami kemeja yang dikenakannya.

"Akulah yang tetap memelukmu erat..."

"Saat kau berpikir mungkinkah berpaling..."

Ingatan Salma menjejaki masa lalu awal pernikahan mereka, bagaimana Rony harus melepas hubungan dengan seseorang yang sangat disayanginya, hanya untuk membuat Salma berhenti bertemu dengan Diman.

"Akulah yang nanti menenangkan badai..."

"Agar tetap tegar kau berjalan nanti..."

Kembali bayangan Rony terlintas, bagaimana kekalutan Salma saat menjalani tugas sebagai ibu baru hingga kelelahan dan masuk rumah sakit. 

Malam itu saat hujan deras, Rony akhirnya pulang dengan tubuh basah kuyup.

Salma yang melihat kedatangan Rony sangat bahagia, melupakan segala luka atas kepergian suaminya itu saat sedang berjuang melahirkan si sulung Syarla.

Pelukan Rony berhasil membuat Salma terisak, hingga tumbang, setelah lama menahan segala kelelahannya.

"Sudah benarkah yang engkau putuskan?"

"Garis hidup sudah engkau tentukan..."

"Engkau memilih aku s'bagai lelakimu..."

Isakan Salma semakin terdengar, bahkan bahunya terguncang hingga bergetar. Tidak tahu mengapa, tetapi hujan dari matanya seakan tidak kunjung reda, terus mengalir, membasahi pipi, membuat wajahnya sembab.

"Aku tidak pernah menyesal memilihmu, Ron," bisik Salma pada dirinya sendiri.

Meski lika liku kehidupan keluarga kecilnya sudah  terguncang dari awal, tetapi Salma yakin, Rony adalah nahkoda yang tepat untuk bahtera rumah tangganya.

Kapal mereka akan terus berlayar, meski lautan memiliki rahasia yang luar biasa, entah batu karang yang tinggi menjulang atau badai yang terus mengguncang.

Pagi menjelang siang itu, Salma menghabiskan semua kekalutan dalam hatinya melalui air mata.

Air mata yang jarang tampak sebab selalu disembunyikan oleh seorang Salma.

Bunyi pesan masuk menghentikan isakan Salma, sebuah nama muncul di layar ponselnya, membuat Salma seketika mengusap air mata dan membuka pesan itu segera.

🍣🍣🍣

Tuntas ya double up nya🤣
Selamat menikmati perjalanan kisah mereka😍😍😍

Happy Reading 🥳






Mencoba Mencari Celah dalam Hatimu (MMCDH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang