Bagian 19

808 105 40
                                    

"Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya."
-Lina Adiratna-

Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Namun, Lina belum memiliki niatan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Sejak sepulangnya dari Ndalem, ia berkutat dengan tugas tugasnya.

Lina menghembuskan nafasnya berat. Melihat hamparan buku dan kitab didepannya membuat pikirannya sangat berantakan.

"Ibu, Lina capek..." Lirih Lina sembari memegangi kepalanya.

"Ayah pasti gatau, kalau sebenernya Lina pengen kuliah," Monolognya lirih.

Ya, sejak Lina duduk di bangku SMA ia sudah memikirkan bagaimana rasanya untuk berkuliah. Bahkan Lina sudah belajar mati matian untuk dapat tes di Universitas yang ia minati.

Entahlah, takdir berkata lain. Lina terpaksa mengikuti kemauan ayahnya untuk menjadi salah satu santri di Pondok Pesantren Darul Mushtofa ini.

Bahkan, yang benar benar tak pernah Lina bayangkan adalah menikah. Menjadi istri dari seseorang yang paham agama bukan hal mudah untuk Lina. Ia harus belajar dengan sungguh sungguh agar pantas bersanding dengan suaminya.

Kuliah? mungkin itu hanya sekedar mimpi yang tak pernah bisa tergapai untuk saat ini.

Lina menutup semua buku dan hamparan kitab kitabnya. ia mengemasi seluruh buku tersebut lalu merebahkan diri di ranjangnya.

Lina lelah, sangat lelah. Ia memejamkan matanya sejenak, lalu gadis itu tertidur dengan lelap.

🌷🌷🌷🌷

Alunan adzhan dzuhur bergema di seluruh sudut Pondok Pesantren Darul Mushtofa. Ratusan bahkan ribuan santri bergegas menuju masjid untuk segera melaksanakan sholat.

Pada hari ini, tepat satu bulan Lina menimba ilmu di Pondok Pesantren. Rasa lelah pasti melekat pada seorang santri yang baru saja masuk dalam lingkungan pesantren. Namun hal itu tak pernah membuat Lina patah semangat untuk terus meningkatkan kemampuannya.

Saat ini, Lina masih berada di dalam kelasnya. Hanya sendiri, tentunya dengan rasa sepi yang mengelilingi seluruh sudut ruangan.

Ia terus melamun memikirkan bagaimana kehidupannya saat ini jika ia tak masuk dalam lingkungan pondok. Mungkin ia akan bersenang-senang bersama teman temannya, tanpa memikirkan beban seorang istri.

Bukan Lina tak mau dengan kehidupannya saat ini, namun menurutnya semua ini terlalu cepat untuk dirinya hadapi.

Inilah Lina, Gadis yang tak pernah jauh dari perasaan cemas karna Overthinking yang tinggi. Perasaan cemas itu selalu menghantuinya saat ia sedang sendiri, seperti saat ini.

"Tuhan, sadarkan aku dari mimpi ini," Lirih Lina gusar.

Lina beranjak untuk mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam saku tasnya. Ia meletakkan buku itu diatas mejanya, lalu membuka buku itu perlahan hingga menunjukkan kertas yang masih kosong.

Lina membuka tutup pulpennya lalu menggoreskan seluruh keluh kesahnya dalam buku tersebut.

Tak jarang Lina menangis saat sedang menulis notes diary tersebut. Baginya, itu salah satu cara untuk meluapkan perasaannya yang telah lama terpendam.

Lima belas menit berlalu begitu cepat bagi Lina, kini bel sekolah sudah berbunyi menandakan seluruh santri akan kembali mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Gadis cantik itu kembali memasukkan notes diary  tadi kedalam tasnya lalu membuka buku serta kitab yang akan dipelajarinya saat ini.

Lina kembali menghembuskan nafasnya berat saat lagi lagi yang ia buka adalah kitab. Pikirannya benar benar lelah, semua beban hidupnya benar benar terpikir dalam waktu yang bersamaan.

Cerita AksanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang