Bagian 34

27 4 0
                                    

"karna cinta yang sesungguhnya, tidak akan berubah menjadi dosa"
-Fariq Luthfan Aksa-

Langit senja perlahan berubah gelap, mengiringi gema shalawat yang meresap di udara pondok pesantren. Gus Aksa baru saja mengakhiri bacaan dzikir seusai mengimami sholat Maghrib. Para santri satu per satu meninggalkan saf, sebagian tetap duduk di dalam masjid, melanjutkan lantunan ayat-ayat Al-Quran. Suasana khusyuk memenuhi ruangan, memeluk setiap jiwa yang hadir dalam kesederhanaan.

Gus Aksa berdiri, menyapa santri-santri dengan senyum teduhnya, lalu melangkah perlahan keluar dari masjid menuju ndalem. Kakinya melangkah tenang di jalan setapak berbatu yang diterangi cahaya remang lampu. Hembusan angin malam mulai terasa, membawa hawa dingin yang menenangkan.

Di depan ndalem, Lina sudah menunggu dengan penuh harap, mengenakan kerudung lembut yang menjuntai anggun. Rona bahagia terpancar dari wajahnya begitu melihat sosok berbadan tegap yang semakin mendekat. Senyum kecil terukir di bibirnya, menyambut kepulangan Aksa dengan tatapan penuh cinta.

"Sudah selesai, Mas?" tanya Lina dengan suara pelan, lembut, seolah takut mengusik ketenangan malam.

Aksa mengangguk, tersenyum hangat sambil menjawab, "Sudah, Sayang. Kamu sudah sholat?" Pertanyaan Aksa yang segera diangguki oleh Lina membuat sang empu tersenyum. Ia mendekati istrinya, merasakan kebahagiaan yang sederhana namun mendalam.

Tanpa kata-kata yang banyak diucapkan, pasangan itu berjalan berdampingan memasuki ndalem. Di dalam hati mereka, terbersit rasa syukur atas setiap momen kecil yang dihabiskan bersama di bawah lindungan rumah sederhana itu.

Setelah mereka lelah berbincang, mereka memutuskan untuk beranjak ke kamar yang sudah lama tak mereka lihat. Ya, kamar Aksa yang menjadi tempat awal mereka bersama.

Sepasang suami istri itu melangkahkan kakinya pada ruangan tertutup yang tak jauh dari tempat sebelumnya. Ketika pintu kamar itu perlahan terbuka, aroma khas yang lembut namun samar menyeruak, mengingatkan mereka pada kehangatan yang telah lama ditinggalkan. Di dalam kamar, semuanya tampak tenang dan rapi, seperti terakhir kali mereka meninggalkannya. Selimut yang terlipat rapi di atas ranjang, tumpukan kitab yang tertata di rak, dan sebuah jendela kecil yang membiarkan cahaya bulan masuk, seolah menyambut kehadiran mereka kembali.

Mereka melangkah pelan, tak ingin mengusik ketenangan yang telah lama bersemayam di ruangan. Lina meraba permukaan meja di samping ranjang, mendapati lapisan tipis debu yang menggambarkan betapa lama kamar ini tak terjamah. Sementara itu, Aksa membuka jendela sedikit lebih lebar, membiarkan udara segar malam mengalir masuk, mengusir kesunyian yang telah lama bersarang.

"Kamar kalian sudah lama tidak dibuka, wajar jika berdebu." Suara itu mengejutkan mereka yang masih terselimuti hawa tenang. Ummi Ais, yang saat ini tengah berdiri di depan kamar seraya tersenyum.

"Lina kangen sama kamar ini, Ummi," ujar Lina sembari menduduki tepian ranjang yang masih terlihat rapi.

"Bermalamlah kalian di sini dulu, Ummi juga rindu dengan kalian," ucapan itu terdengar lembut dari lisan Ummi Ais, ia sangat berharap anak-anaknya dapat kembali meramaikan suasana Ndalem yang akhir-akhir ini terasa sepi.

Aksa dan Lina saling bertukar pandang, lalu memutuskan untuk menginap di pesantren. Meskipun tak direncanakan, malam itu menjadi saat yang istimewa bagi mereka berdua. Di tengah kesederhanaan pondok, di antara doa-doa dan suara santri yang masih terdengar, mereka menemukan ketenangan. Bagi mereka, malam itu menjadi saksi kehangatan yang berbeda, tempat di mana ilmu, doa, dan rasa syukur bersatu dalam sunyi.

Cerita AksanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang