Bagian 32

24 5 0
                                    

Terkadang, obat dari kerinduan adalah pertemuan.
-Fariq Luthfan Aksa-

Hari ini, sudah terhitung empat hari Aksa mengajar di Pondok Pesantren. Semakin hari, Lina semakin terbiasa tanpa kehadiran suaminya dari pagi hingga sore hari. Wanita itu mengisi waktu kosongnya untuk mempelajari beberapa kitab milik Aksa tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai istri.

Lina tengah duduk di dalam ruangan yang penuh dengan susunan kitab-kitab. Aksa sengaja membuat sebuah ruangan khusus untuk dijadikan perpustakaan sekaligus tempat belajar untuk istrinya. Saat ini, Lina tengah mendengarkan fidio kajian Ustadzah Halimah Alaydrus dari layar ponselnya. Sembari mendengarkan materi, wanita itu tak lupa mencatat beberapa point atau materi penting yang dijelaskan.

Fokus wanita itu seketika buyar takkala mendengar suara ketukan pintu dari arah depan. Lina beranjak dari duduknya menuju ruang tamu, lalu membuka pintu di depannya. Saat cahaya matahari mulai masuk oada netra matanya, ia tak melihat keberadaan seorangpun di hadapannya. Mata Lina memutar ke sekelilingnya untuk mencari keberadaan seseorang, namun matanya berhenti berotasi takkala melihat kotak yang terletak di lantai.

Emangnya ada yang pesen paket ya? gumamnya dalam hati.

Lina membawa paketan itu masuk ke dalam rumah, lalu langkahnya terhenti di kamar. Karna rasa penasaran yang terlalu besar, Lina memutuskan untuk membuka kotak tersebut sekarang. Matanya menelisik pada cutter diatas meja kerja Aksa, lalu ia berujar pelan "Mas, Lina pinjem barangnya ya," lalu beberapa detik kemudian, ia mengubah suaranya menjadi berat sebelum mengatakan "Iya sayang, ambil saja." Ia mengikik geli saat mendengar suaranya sendiri yang mengikuti suaminya.

Lina segera membuka kotak dengan tutupan lakban kuning yang penuh mengitari kotak tersebut. Tak membutuhkan waktu lama, kotak itu akhirnya terbuka dan terlihat jelas isi didalamnya. Tangannya melempar kotak tersebut menjauh dengannya serentak dengan matanya yang membulat.

Wanita itu diam membisu, tubuhnya bergetar ketakutan. Matanya terus menyorot pada isi kotak tersebut. Bangkai tikus lengkap dengan ceceran darahnya, belasan kelabang mati yang berhamburan dalam kotak tersebut terlihat menutupi secarik kertas putih yang sudah ternodai dengan darah dari bangkai tikus. Lina ingin segera membuangnya, namun hal itu ia urungkan saat beberapa kali berpikir penasaran isi pesan dari surat tersebut.

Perlu tiga puluh menit hingga wanita itu akhirnya ia memutuskan untuk meraih secarik surat di dalam kotak. Dengan perasaan penuh ketakutan, Lina mulai membaca isi pesan surat tersebut dengan seluruh tubuh yang bergetar hebat. Tulisan miring dengan pesan "SUAMIMU MILIKKU!" itu membuat Lina membelalakkan matanya.

Lina tak tau apa yang ingin ia lakukan, tangannya bergetar, mulutnya kelu, air matanya seketika luruh tanpa aba-aba. Tubuh lina semakin bergetar hebat, jantungnya berdebar tak karuan. Dengan keringat dingin yang membasahi pilipisnya, Lina beranjak seraya membawa kotak tersebut menuju tong sampah dan membuangnya.

🌷🌷🌷🌷

Jam pelajaran yang Aksa ampu saat ini telah usai karna telah memasuki waktu istirahat. Lelaki itu menyusuri kakinya pada lorong madrasah untuk menuju ke ruangannya. Tak berselang lama, langkah itu terhenti, "Guss-!" Suara tersebut terdengar tengah memanggilnya. Aksa memutar tubuhnya ke sumber suara, lalu terlihatlah dua orang siswi yang sudah pasti ia kenal.

"Ada apa?" Tanya Aksa tanpa menatap siswi dihadapannya.

Salah satu siswi tersebut bersuara, "Afwan gus, mau bicara tentang Ning Lina," ujarnya pelan, hampir tak terdengar oleh Aksa.

"Ikut ke ruangan saya, kita bahas di sana," titah Aksa terpotong, "Saya duluan." Kalimat itu terlontar seraya Aksa melanjutkan jalannya menuju ruangan, tentunya di ekori oleh dua siswi yang bersangkutan.

Sesampainya di ruangan Aksa, kedua siswi itu dipersilahkan duduk.

"Ada keperluan apa dengan istri saya?" tanya Aksa melanjutkan pembicaraan sebelumnya.

"Afwan gus, jika diizinkan apakah Ning Lina boleh diundang ke pondok untuk bertemu dengan kami," ujar siswi tersebut, yang tak lain dan tak bukan adalah teman sekamar Lina dulu sewaktu di pondok, Adinda dan juga Nadia.

"Atas dasar urusan apa?"

"Eeee,-" Ucapan itu enggan keluar dari ranum bibirnya, seperti ada kata yang dirahasiakan. Kedua siswi tersebut saling sikut menyikut satu sama lain, juga terus menatap mengisyaratkan sesuatu.

"Apa yang kalian lakukan? Katakan alasannya," Pertanyaan itu terlontar datar dari Aksa. Bahkan tanpa nada tinggi pun, lelaki itu mampu membuat penuturannya menjadi tegas.

"Jadi gini gus, hehehe," Nadia sempat cengengesan sebelum mengatakan tujuannya, hingga tak lama kemudian Adinda melayangkan cubitan halus pada lengan Nadia membuat sang empu meringis. Adinda memelototi Nadia, berharap temannya itu dapat serius kali ini.

"Oke serius, gini gus."

"Syafira, teman sekamar kami, beberapa hari belakangan kurang enak badan. Badannya panas, katanya kepalanya sakit, perutnya sakit, tangannya pegel semua, kakinya sering kesemutan gitu gus,"

"Lalu hubungannya dengan Lina?" Aksa mengerutkan dahinya mendengar penuturan dari Nadia, sepertinya penjelasan itu belum cukup jelas untuk menjawab pertanyaannya tadi.

"Nah ini gus, katanya Syafira kangen sama Ning Lina," Kali ini Adinda yang menjawab, jawaban itu sontak membuat Aksa menahan tawanya. Walau begitu, Aksa terus mendengar lanjutan penjelasan dari kedua siswinya.

"Dikasi obat dari poskestren gaada yang manjur gus, katanya pengen ketemu Ning Lina. Kalo ga percaya, gus bisa liat di buku daftar pengunjung poskestren, itu isinya nama Syafira semua gus,"

"Kasian gus, tiap malem ngigo sambil manggil manggil nama Ning Lina terus," Aksa sempat terkejut, namun ia kembali menetralkan ekspresi pada wajahnya untuk menjaga kewibawaan dirinya.

"Nih ya gus, malahan biasanya saya dipeluk terus tiba-tiba manggil manggil namanya Ning Lina. Lah saya ini kan Nadia, Bukan Ning Lina, gimana toh," ujarnya dengan santai lalu seketika membekap mulutnya sendiri. Bagaimana ia bisa se santai itu saat berbicara dengan gus nya? Dimana rasa sopan santunnya? Sepertinya gadis itu lupa, karna telah bersemangat menceritakan temannya.

Aksa mengangguk, sekarang ia paham alasan kedua siswinya ini untuk membawa istrinya ke pondok. Alasan yang cukup tidak masuk akal, namun tak dapat dipungkiri, pertemuan kadang kala adalah obat dari sakit seseorang.

"Yasudah, setelah ini saya coba hubungi Lina. Kalian boleh kembali ke madrasah." Persetujuan itu seketika membuat kedua siswi dihadapannya tersenyum lebar.

"Alhamdulillah gus, Syukron Katsiron gus, Syukron,"

Adinda dan Nadia beranjak dari tempat duduknya, lalu berdiri dengan sedikit membungkuk seraya berpamitan pada gusnya. "Kami pamit, Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh."

Aksa Menjawab salam tersebut pelan, lalu segera merogoh saku celananya untuk mencari ponsel genggamnya. Ia buka aplikasi berwarna hijau pada ponselnya, lalu menekan kontak bernama "Zaujati ❤️‍🔥" yang tak lain adalah Lina.

Ia mengetikkan beberapa pesan pada istrinya. Ia tersenyum kala melihat istrinya dengan cepat membalas pesannya. Tak membutuhkan waktu lama, beberapa buble chat mulai terlihat pada layar ponselnya. Aksa kini telah sibuk dengan ponselnya, sembari jarinya yang terus mengetik pada keyboard ponsel, bibirnya juga tak berhenti membentuk lengkungan indah.

🍁🍁🍁🍁

*gambar chat lengkap silakan kunjungi Instagram @wp_singaabetinaa

Cerita AksanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang