22. Terungkap

1.2K 137 7
                                    

Alan memarkirkan motornya setelah sampai di halaman rumah sakit yang akan ia mintai bantuannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Alan memarkirkan motornya setelah sampai di halaman rumah sakit yang akan ia mintai bantuannya. Renandra yang duduk di jok belakang segera turun dari motor. Keduanya sepakat akan mencaritahu kebenaran tentang kematian bunda Alan empat tahun lalu. Alan menjemput Renandra ke rumahnya siang tadi. Alan meminta Renandra untuk menemani dirinya.

"Lo yakin, ini rumah sakitnya?"

Renandra sedikit menatap cemas pada bangunan besar di depannya. Ia mengikuti langkah lebar Alan dari belakang dengan langkah ragu.

"Iya, ini rumah sakit yang dulu sering gue datengin buat ngejenguk bunda." ujar Alan tanpa menoleh ke belakang.

Langkah mereka membawa mereka ke ruangan khusus pengawasan cctv. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya petugas pengawas itu memberikan izin pada Alan untuk melihat rekaman ulang di kamar Anggrek no. 212, tempat bundanya dulu dirawat.

Awalnya pihak rumah sakit tidak mau memberi izin, namun ketika sudah dijelaskan oleh Alan tujuan mereka, dan Alan juga mengatakan bahwa dia dari keluarga Permana, yang juga memiliki 40% kuasa atas rumah sakit ini, pengawas itu pun mengizinkan, tapi hanya boleh satu orang yang masuk. Alan tentu saja masuk, dan Renandra menunggu di luar. Karena merasa bosan, akhirnya Renandra memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah sakit.

Langkahnya membawa Renandra ke taman rumah sakit tersebut. Netranya menangkap dua orang yang tak asing baginya, terlihat seorang perempuan yang duduk di kursi roda dan di hadapannya seorang pria berpakaian formal tengah memetik senar gitar sambil menyanyi. Nyanyian itu terdengar sangat merdu, membuat siapapun terlena dengan suara berat namun lembut itu. Terbukti dengan perempuan berkursi roda itu yang tengah tersenyum manis mendengar nyanyian pria di hadapannya.

Renandra hanya diam mematung, sampai nyanyian itu berakhir dan kini pria tadi menggenggam kedua tangan perempuan itu. Ia mengecup lengan lentik itu dengan lembut. Si perempuan tersenyum lebar, namun pandangannya selalu lurus ke depan. Ia bahkan harus meraba-raba wajah si pria untuk mengelus rahang tegas itu.

"Jingga, aku akan selalu berdiri di sini untuk kamu. Aku akan terus menemani sampai kamu pulih. Jingga, kamu harus yakin kalau kamu bisa sembuh. Suatu saat nanti, kamu pasti bisa melihat lagi." ujar pria itu tanpa melepaskan genggamannya.

"Iya, Galen. Aku selalu yakin kalau suatu saat nanti aku pasti bisa melihat lagi. Aku rindu melihat wajah kamu, aku ingin melakukan banyak hal bersamamu, Galen." ujar perempuan bernama Jingga.

Renandra memutar arah, pemuda itu memutuskan untuk kembali ke tempat awal. Saat di perjalanan Renandra hanya diam termenung. Ia baru pertama kalinya melihat Galen, alias abangnya itu tersenyum bahkan berbicara begitu panjang pada orang lain. Tatapan mata itu ... Renandra baru melihat tatapan mata Galen yang menyiratkan ketulusan dan kasih sayang yang begitu besar. Bolehkah Renandra iri pada perempuan itu?

Tapi jika dipikir ulang, Renandra tidak berhak menaruh rasa iri pada Jingga. Seharusnya ia sadar diri, kalau bukan karena menyelamatkan dirinya dari insiden penculikan dulu, mungkin Jingga tidak akan buta seperti sekarang. Mungkin saja Galen tidak akan sebenci ini pada dirinya, kan?

50 HARI BERSAMA ILUSI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang