40. Nobar

842 92 4
                                    

"Bi, Ren mau pulang," pinta Renandra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bi, Ren mau pulang," pinta Renandra.

Bi Atun menyodorkan potongan buah apel ke arah mulut Renandra yang langsung diterima baik oleh pemuda itu. Renandra mengunyah dengan pelan sembari terus menatap Bi Atun.

"Kata dokter, Aden masih harus dirawat," ujar Bi Atun.

"Ren sakit apa, sih, Bi? Dari kemarin setiap Renandra tanya Bibi selalu ngelak," ujar Renandra. Pemuda itu memalingkan wajah, ia membungkam rapat mulutnya saat Bi Atun hendak menyuapinya lagi. Renandra yakin, ada sesuatu yang Bi Atun sembunyikan darinya.

"Ren sakit parah, ya? Kanker? Gagal ginjal? Atau apa?"

Perkataan Renandra membuat Bi Atun membelalakkan matanya. "Astagfirullahaladzim! Jangan sembarangan kalo ngomong, Den! Ucapan itu do'a, amit-amit."

Renandra menundukkan kepala. "Maaf, Bi," ujarnya menyesal, terlebih setelah melihat tangan wanita itu bergetar. Sepertinya ucapannya sangat keterlaluan.

"Lain kali jangan begitu. Oh, iya, non Nia mau ke sini pulang sekolah nanti. Kayaknya sebentar lagi datang," ujar Bi Atun memberitahu. Wanita paruh baya itu terkekeh, kemudian melanjutkan, "Susah banget bujuk dia buat sekolah. Bahkan harus Bibi ancem dulu baru dia mau berangkat."

Renandra menghela nafas pelan. Lagi-lagi Bi Atun mengalihkan pembicaraan. Wanita itu selalu menghindar setiap kali percakapan mereka sudah masuk ke kondisi Renandra saat ini.

"Emang Bibi ancem dia kayak gimana?" tanya Renandra. Pasalnya, Nia bukan tipe orang yang mudah diancam. Seringnya gadis itu yang mengancam orang.

"Bibi bilang gak akan izinin non Nia buat ketemu Aden lagi kalau dia gak mau sekolah."

Renandra tertegun sesaat. Secara tidak langsung, ia adalah alasan Nia mau berangkat sekolah. Kenapa Renandra senang mendengarnya.

Tak lama kemudian, seseorang yang sedang dibicarakan akhirnya muncul. Nia dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya masuk ke dalam ruang rawat Renandra. Seperti biasa gadis itu akan langsung duduk di sofa pojok ruangan sambil mengamati Renandra dan Bi Atun.

"Udah pulang, Non?" tanya Bi Atun. Nia hanya mengangguk, ia terlalu malas untuk buka suara saat ini.

Bi Atun bangkit dan membuka jinjingan yang ia bawa dari rumah. Bi Atun mengambil satu kotak makan lalu menghampiri Nia yang duduk di sofa.

"Makan dulu, Non. Nih, Bibi bikinin dua bekal buat Den Renan sama Non Nia. Punya Den Renan udah dimakan," ujar Bi Atun. Ia menaruh kotak bekal tersebut di atas paha Nia.

Nia terdiam, matanya terus tertuju pada kotak bekal di pangkuannya. Apa ini? Kenapa dadanya berdetak kencang. Rasanya, ada sebuah bunga yang mekar di hatinya. Perasaan asing mulai menyergap di seluruh tubuh. Seperti, perasaan sedih dan bahagia disaat yang bersamaan.

Nia masih terpaku saat Bi Atun pamit pulang. Wanita itu mengatakan akan kembali lagi, namun Nia tidak  merespon. Ia masih fokus pada kotak di pangkuannya. Perlahan tangannya membuka tutup bekal itu. Sayur buncis, telur dadar, dan sosis adalah isi dari kotak itu. Sederhana, namun Nia tidak pernah mendapatkan yang semacam ini. Di rumahnya, mungkin para pelayan menyajikan makanan mewah yang berkelas. Namun itu semua tidak dibuat khusus untuknya.

50 HARI BERSAMA ILUSI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang