56. Duka Di Kala Hujan

930 87 27
                                    

Penglihatannya mungkin sudah tak seawas dulu tapi ia tahu jelas siapa sosok yang berdiri di sudut ruangannya saat ini. Terkejut tentu reaksi pertamanya juga perasaan rindu yang menggebu. Sosok anak laki-laki berbaju putih itu terus menatap ke arah Renandra sambil tersenyum. Namun, Renandra abaikan sosok yang hanya mampu dilihat olehnya saja.

Netranya beralih menatap langit-langit ruangan. Buram, itulah yang selalu ia lihat ketika membuka mata. Tubuhnya tak lagi bisa digerakkan, bahkan kini Renandra kesulitan saat berbicara. Akhir-akhir ini juga telinganya seringkali berdengung. Setiap malam almarhum kembarannya kerap kali hadir dalam mimpinya. Ren, ada satu pintu. Sekarang sudah terbuka. Kalimat itu yang selalu Reyhan katakan dalam mimpinya.

"Nak, lagi mikirin apa, hm?"

Suara lembut itu mengalun di telinga Renandra. Ia perhatikan sosok cantik yang tengah mengusap pucuk kepalanya dengan lembut. Sejak dua hari yang lalu wanita cantik di depannya ini selalu menyebut-nyebut dirinya sebagai mama. Renandra ragu, di depannya ini benar sosok mamanya atau bukan karena kini ia sudah tak bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi. Renandra terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ia menjawab dengan suara yang begitu lirih.

"Bohong, kamu hanya ilusi. Mama nggak ada di sini."

Nafas Lina seakan tercekat. Dadanya begitu sesak melihat kondisi Renandra saat ini. Lina amat menyesal, Kenza sudah menceritakan semuanya. Betapa hancur hatinya mendengar semua yang terjadi pada keluarga mereka selama ia tak ada.

Lina sebenarnya sudah sembuh sejak lama, ia juga sudah menerima kepergian Reyhan. Hanya saja, ia takut untuk pulang. Ia takut Renandra membencinya. Lina sadar, selama ini ia begitu mengasingkan sosok Renandra. Ia tak sanggup bila harus bertemu Renandra, ia belum siap. Ia merasa menjadi sosok ibu yang sangat buruk.

Hingga keputusannya itu menjadi duri untuknya. Ia terlalu lama sembunyi, ia terlalu pengecut. Karena pada saat ia menemui Renandra, anaknya itu sudah terbujur lemah di ranjang rumah sakit. Berbulan-bulan ia habiskan untuk bersembunyi dengan alasan menyembuhkan traumanya dan tak siap bertemu Renandra. Tetapi ketika ia siap, putranya tak lagi sama seperti dulu. Putranya tak bisa mengenalinya dengan jelas, putranya tak lagi memanggilnya terus menerus yang mana dahulu hal itu membuatnya kesal. Tak ada lagi Renandra yang menuntut keadilan, hanya ada sosok anak yang sudah memasrahkan hidup dan matinya. Tak ada ambisi, rasa iri, dan benci.

"Ini Mama, Nak. Ren liat ini? Mama genggam tangan Ren."

Lina menggenggam salah satu lengan Renandra yang tidak terpasang jarum infus. Mengelusnya lalu mengecupnya lama. Ia menatap telapak tangan Renandra yang terdapat bekas luka bakar yang perlahan memudar, netranya berkaca-kaca.

"Adek liat, kan? Walau tubuh Adek nggak bisa merasakan sentuhan Mama tapi Mama yakin kalau hati Adek bisa merasakan kehangatannya. Mama sayang banget sama Adek, Adek percaya sama Mama, ya?"

"Mama Rania?" tanya Renandra dengan susah payah. Lidahnya terasa kelu. Suaranya begitu parau mengiris kalbu.

Lina menggelengkan kepalanya sambil terisak. "Bukan, ini Mama Lina. Mama kandung kamu dan ini Abang Kenza," jawab Lina mencoba menahan lara. Suaranya terdengar serak.

Kenza yang berada tidak jauh dari Lina segera mendekat. Dadanya terasa seperti dihimpit batu besar ketika melihat bagaimana Renandra mencoba memfokuskan pandangannya untuk bisa melihat seseorang yang tengah berbicara padanya.

"Hey, Ren. Adek? Ini Abang Kenza. Abang Kenza di sini, jangan takut oke? Masih ada Mama sama Abang. Sekarang kita kumpul sama-sama." Kenza berucap dengan semangat sembari menggerakan kedua tangannya berharap Renandra merespon. Namun adiknya itu hanya diam menatap bingung bercampur sendu.

50 HARI BERSAMA ILUSI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang