44. Ribuan Maaf

1K 104 13
                                    

Seorang wanita paruh baya tampak sedang berbincang dengan seseorang di seberang telepon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seorang wanita paruh baya tampak sedang berbincang dengan seseorang di seberang telepon. Ia mendudukkan diri di atas sofa sembari netranya terus mengawasi pemuda yang belum sadarkan diri di ranjang ruangan itu. Wanita itu melirik ke arah seorang gadis yang baru saja membuka pintu ruangan. Gadis itu duduk di samping wanita itu dan ikut mendengarkan.

"Maaf, Den. Kemarin ponsel Bibi mati kehabisan daya, ini baru selesai diisi."

Wanita itu terdiam beberapa saat untuk mendengarkan balasan suara dari seseorang di seberang sana. Dirasa orang itu kembali bertanya, ia dengan segera menjawab, "Bukan maksud Bibi nyembunyiin hal sebesar ini dari Den Kenza, tapi Den Renan sendiri yang ngelarang Bibi untuk kasih tau Aden. Den Renan takut Den Kenza nggak fokus sama kerjaan Aden, makanya suruh Bibi tutup mulut."

Terdengar erangan frustasi dari seseorang di seberang telepon. Ia terdiam sesaat, kemudian kembali berbicara.

"Bibi hutang penjelasan sama gue. Kasih tau alamat rumah sakitnya, gue otw ke sana sekarang."

"Baik, Den. Saat ini Den Renan ada di rumah sakit Medika Utama, dekat taman kota."

Setelahnya, sambungan telepon terputus. Wanita paruh baya itu kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas dan ketika ia berbalik, ia langsung disuguhkan wajah bingung gadis di sebelahnya.

"Siapa, Bi yang telepon?" tanya gadis itu.

"Den Kenza, abangnya Den Renan."

Gadis yang tak lain adalah Nia itu terdiam. Di ingatannya hanya ada seorang pemuda yang memukuli Renandra malam itu. Bak singa yang akan menerkam mangsa, Nia sudah memikirkan beberapa strategi untuk memberi 'mangsanya' ini pelajaran. Nia melenturkan otot lehernya ke kanan dan kiri, lalu membunyikan tulang di jari-jari tangannya.

"Oh, abangnya, ya?" tanya Nia sembari menyeringai. Ia tak sabar bertemu pemuda yang katanya abang dari Renandra itu.

Bi Atun mengangguk pelan. Ia hendak berjalan ke arah kamar mandi namun, seperti baru saja menyadari sesuatu Bi Atun segera berbalik ke arah Nia yang membuat  gadis itu mengangkat sebelah alisnya bingung.

"Non, nggak sekolah? Ini, kan hari Senin,"

Nia menggigit bibir bawahnya. "Em, izin, Bi." Ia melirik Bi Atun yang menggelengkan kepala, mungkin lelah dengan sikap Nia yang seenaknya.

"Jangan keseringan izin, Non. Nanti nggak dilulusin gimana?"

Nia mengibaskan tangannya abai. "Nggak akan, Bi. Pasti dilulusin, kok."

Bi Atun menghela nafas, lalu kembali berjalan menuju kamar mandi. Nia kembali terdiam, menikmati hening di ruangan serba putih ini. Setelah beberapa saat, telinganya mendengar suara lenguhan pemuda yang sedang terbaring tidak sadarkan diri di satu-
satunya ranjang yang ada di sini.

"Ugh."

Mendengar lenguhan itu, Nia dengan cepat menghampiri ranjang yang ditempati Renandra di atasnya. Nia melihat jari-jari kurus Renandra bergerak, disusul dengan kelopak matanya yang perlahan terbuka.

50 HARI BERSAMA ILUSI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang