"WELCOME TO JAKARTA, JUWITA!"
Teriakan lantang seorang wanita menggema di area kedatangan bandara Soekarno-Hatta. Suaranya nyaring, penuh semangat, hingga beberapa orang menoleh, termasuk aku.
Aku mencari sumber suara itu dan mendapati seorang wanita elegan dengan rambut sebahu yang tertata rapi melambaikan tangan ke arahku. Di sampingnya, berdiri seorang pria dengan perawakan tinggi dan senyum ramah, turut melambai. Mereka adalah Tante Laras dan Om Reza—sepasang suami istri yang kini menjadi orang tua angkatku.
Rasanya masih sulit dipercaya aku ada di sini, di Jakarta, meninggalkan kampung halamanku di Tambun, Bekasi. Napasku terasa berat, bukan karena perjalanan jauh, tapi karena aku sadar, langkahku menuju mereka adalah awal dari kehidupan baru. Dengan hati-hati, aku mulai melangkah mendekati mereka.
"Juwita, akhirnya kamu sampai juga!" Tante Laras langsung memelukku erat saat aku sudah cukup dekat. Kehangatan pelukannya mengejutkanku. Pelukan itu mengingatkanku pada ibu—sosok yang baru saja pergi beberapa bulan lalu. Aku hanya mampu membalas pelukan itu dengan kaku.
"Perjalananmu lancar, Nak?" tanya Om Reza dengan nada hangat, memecah suasana. Ia tersenyum kecil, seolah ingin meyakinkanku bahwa aku tidak perlu takut.
Aku mengangguk pelan, mencoba tersenyum meskipun rasa gugup masih menguasai. "Alhamdulillah, lancar, Om. Hanya saja, ini pertama kalinya saya naik pesawat, jadi agak gugup."
"Oh, pantas wajah kamu agak pucat!" komentar Tante Laras sambil mengusap lenganku lembut. "Tadi sempat mual, ya? Atau mungkin capek?"
Aku tertawa kecil untuk meredakan kecemasan mereka. "Enggak kok, Tante. Tadi cuma sedikit tegang. Sekarang sudah lebih baik."
Tante Laras tersenyum lega, lalu berkata, "Juwita, mulai sekarang kamu panggil aku Mama, ya. Kita kan sekarang keluarga."
Om Reza ikut menimpali dengan nada yang sama. "Dan panggil aku Papa, ya. Biar lebih akrab."
Aku tertegun mendengar ucapan itu. Kata-kata mereka terasa begitu tulus, seperti sebuah jaminan bahwa aku akan baik-baik saja bersama mereka. Tenggorokanku tercekat oleh rasa haru yang tiba-tiba muncul. Aku mengangguk perlahan, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.
"Iya, Ma, Pa," jawabku pelan. Aku berharap mereka tahu bahwa dua kata itu membawa beban besar dalam hatiku—beban kehilangan yang sedikit demi sedikit mereka coba ringankan.
Di perjalanan menuju rumah, suasana di dalam mobil terasa hangat. Mama dan Papa bercerita tentang aktivitas mereka sehari-hari. Papa mengelola perusahaan besar di Jakarta, sementara Mama aktif dalam organisasi wanita yang memiliki banyak kegiatan sosial.
Aku menyimak cerita mereka dengan kagum. Mereka berbeda jauh dariku—aku hanyalah seorang gadis kampung yang baru saja kehilangan ibu. Tapi entah kenapa, di tengah perasaan rendah diriku, aku merasa nyaman berada di dekat mereka.
Perasaan itu semakin menguat ketika mobil berhenti di depan sebuah gerbang besar. Mataku terbelalak melihat rumah di balik gerbang tersebut. Bangunan megah dengan desain modern berdiri kokoh di tengah taman luas yang tertata rapi.
"Ini rumah kalian?" tanyaku hampir berbisik.
Mama tersenyum kecil, seperti sudah menduga reaksiku. "Iya, Sayang. Mulai sekarang, ini juga rumahmu."
Aku tidak menjawab. Lidahku kelu, terpukau oleh kemewahan yang ada di depan mata. Selama ini, aku hanya melihat rumah seperti ini di televisi. Kini, aku berdiri tepat di depannya.
Saat masuk ke dalam rumah, aku kembali dibuat kagum. Interior rumah itu terlihat mewah sekaligus hangat. Dindingnya dihiasi lukisan besar, lantainya berkilau seperti kaca, dan aroma bunga segar memenuhi ruangan.
"Kita perkenalkan kamu dulu sama orang-orang di rumah ini, ya," kata Mama dengan nada ramah.
Mama menunjuk seorang wanita paruh baya yang berdiri di dekat dapur. "Ini Bi Asih. Beliau sudah lama bekerja di sini. Kalau kamu butuh bantuan apa-apa, jangan sungkan bilang ke Bi Asih, ya."
Aku menundukkan kepala sambil tersenyum sopan. "Terima kasih, Bu."
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu utama. Aku menoleh dan melihat seorang pemuda memasuki ruangan. Usianya mungkin tidak jauh dariku. Wajahnya bersih, dengan rambut yang tertata rapi. Dia membawa aroma parfum maskulin yang cukup kuat.
"Mama, Papa, kok pulangnya cepat?" tanyanya santai sambil melepas tas selempangnya. Namun, tatapannya segera beralih padaku. Ia mengerutkan dahi, tampak heran.
"Ini siapa, Ma? Pembantu baru?"
Jantungku berdegup kencang. Pertanyaannya begitu lugas, tapi terasa menyakitkan. Aku hanya bisa menunduk, merasa malu dengan penampilanku yang sederhana.
"Hush, Malik! Jangan bicara seperti itu!" tegur Papa dengan nada tegas.
Mama meraih tanganku, mencoba menenangkan. "Kenalkan, ini Juwita. Dia anak dari sahabat Mama yang sudah meninggal. Mulai sekarang, dia akan tinggal bersama kita."
Aku memberanikan diri untuk tersenyum padanya, tetapi senyumanku hanya dibalas dengan tatapan dingin.
"Tinggal di sini? Dengan kita?" tanyanya, kali ini nada suaranya meninggi. "Lihat dong penampilannya, Ma. Kampungan sekali."
Perkataannya membuat hatiku perih. Aku tahu penampilanku jauh dari kata layak—kemeja lama bercorak bunga dan rok pudar yang kupakai hanya menegaskan bahwa aku berasal dari kampung. Tapi mendengar ejekan itu langsung dari mulutnya tetap saja menyakitkan.
"Malik, cukup!" Papa menatapnya dengan tajam. "Juwita sekarang bagian dari keluarga kita. Papa harap kamu bisa menunjukkan sikap yang baik."
"Iya, Malik. Jangan seperti itu," tambah Mama dengan nada lembut tapi tegas. "Juwita sudah Mama anggap seperti anak sendiri."
Aku tetap diam, tidak tahu harus berkata apa. Mungkin wajar jika Malik merasa tidak nyaman. Kehadiranku tiba-tiba pasti mengusik rutinitasnya.
Setelah Malik pergi dengan ekspresi kesal, Papa pamit untuk menghadiri rapat di kantornya. "Kamu jangan pikirkan perkataan Malik tadi, ya," kata Papa sebelum melangkah pergi.
Mama berbalik menatapku. "Juwita, besok hari pertama kamu kuliah, kan? Kita harus siapkan semuanya. Bagaimana kalau sore ini kita pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli baju baru?"
Aku buru-buru menggeleng. "Tidak usah, Ma. Pakaian saya masih cukup."
Mama tersenyum lembut sambil menggenggam tanganku. "Juwita, kamu sekarang tinggal di Jakarta. Penampilan itu penting. Lagipula, ini bukan hanya tentang baju. Anggap saja ini bentuk perhatian Mama untuk kamu."
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Di tengah kesulitan menerima semua ini, aku merasa bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk memulai hidup baru.
—Bersambung—
Haii, long time no see!!
Kali ini aku kembali dengan cerita romantis yang berjudul 'Bunga Untuk Juwita'.
Maaf kalau waktu updatenya gak teratur, tapi aku bakal coba update sering-sering yaa.Jangan lupa kasih vote dan komen guys.
Kalo ada yang typo, boleh kalian komen yaa, biar aku gampang editnya.
Terus kalo kalian ada saran tentang ceritanya, bisa banget kalian kasih komentar biar aku tau mana yang bisa aku ubah.Thank youu everyone.
Luv y'all🫶🏻

KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga untuk Juwita
Teen FictionSetelah beberapa bulan menjadi anak yatim piatu, tiba-tiba saja Juwita mendapat informasi bahwa ia akan menjadi anak angkat Keluarga Cakrabuana karena ibunya bersahabat dengan keluarga tersebut. Juwita berpikir hidupnya akan menjadi lebih baik karen...