BUNGA UNTUK JUWITA CHAPTER 26

39 4 0
                                        

Malik menghela nafasnya berat. Ia tak mengerti mengapa dirinya merasa berat untuk melepaskan sosok Juwita. Meskipun mereka baru bertemu, namun Malik merasa sesuatu mengganjal pikirannya. Juwita selalu mengganggu pikirannya setiap hari.

"Lo yakin sama keputusan lo ini?" tanya Malik kepada Juwita.

Juwita menunduk lesu, "Aku gak yakin, tapi aku gak punya pilihan lain. Aku capek dibentak sama kamu terus, Malik."

"Bagus kalo lo sadar diri." balas Malik singkat.

Malik mengulurkan tangannya, seolah mengajak Juwita untuk berpegangan tangan dengan dirinya. Juwita melirik dan akhirnya menerima genggaman dari Malik.

Hati Juwita merasakan sedih dan senang sekaligus. Sedih karena harus berpisah dan senang karena akhirnya mereka bisa bergenggaman tangan. Malik dengan lembut mengusap jari Juwita menggunakan jempolnya sehingga berhasi membuat jantung Juwita berdetak tidak karuan.

Ia membawa Juwita ke garasi. Laki-laki itu hendak menyalakan motornya namun suatu kenangan di masa lalu menghentikkan aksinya selama beberapa detik. Malik segera sadar dan langsung menaikki serta menyalakan motornya. Tak lupa, ia memakai helm demi menjaga keselamatannya.

Ia melirik ke arah Juwita, memberi kode untuk naik ke atas motornya. Malik lalu tersadar bahwa ia belum memberikan helm kepada Juwita. Dengan sigap, ia mengambil sebuah helm dan memasangkannya kepada Juwita. Jarak antara wajah mereka cukup dekat, mereka bertatapan beberapa detik hingga akhirnya keduanya saling memalingkan wajah.

"Lo mau gue tinggal atau naik?"

Ucapan Malik langsung menyadarkan Juwita, sontak perempuan itu naik dan duduk di belakang Malik. Malik melirik sekilas, "Pegangan."

"Tapi--"

Belum sempat Juwita menyelesaikan perkataannya, Malik sudah lebih dulu mengendarai kendaraan bermotornya hingga Juwita terkejut dan refleks memeluk perut Malik dengan kencang. Takut bila ia terjatuh. Perasaan takut dan gelisah menyebar di seluruh tubuh Juwita, ia tak menyangka Malik akan sebrutal ini mengendarai motornya.

Berjam-jam lamanya mereka saling diam, tanpa berbicara. Malik yang mulai menurunkan kecepatan motornya membuat Juwita sedikit lega. Mereka berhenti di sebuah tempat makan. Malik mengajak Juwita untuk beristirahat sejenak setelah melalui perjalanan yang cukup menguras tenaga.

Malik sengaja mengambil meja di pojok, ia tak suka jika harus mendengar celotehan orang-orang yang saling berbincang disaat ia sedang lelah. Juwita menatap wajah Malik, menatapnya dengan lekat.

"Gak usah ngeliatin gue terus, nanti yang aja lo jadi suka sama gue." ungkap Malik dengan tegas.

Mendengar hal tersebut, Juwita langsung membuang pandangannya dari Malik dan perilaku Juwita berhasil membuat Malik tertawa pelan.

"Lo gila, aneh, gak jelas." ucap Malik kepada perempuan yang ada di depannya saat ini.

"Kamu kenapa tiba-tiba ngomong gitu ke aku?" tanya Juwita keheranan.

"Pengen aja." jawab Malik seadanya.

Juwita keheranan dengan sikap Malik, "Kamu aneh."

"Sama, lo juga aneh." kata lelaki itu, tatapannya masih menatap wajah Juwita yang sedang memerhatikannya.

"Kamu.. lagi ada masalah?" tanya Juwita, ia menatap lekat kedua mata Malik yang seolah memancarkan perasaan cemas.

"Maksud lo?" Malik menaikkan salah satu alisnya, tak mengerti.

"Mata itu gak bisa bohong. Aku tau kamu lagi ada masalah, Malik. Sebenarnya alasan kamu bawa aku pergi itu apa?"

Malik seketika menundukkan kepalanya, pikirannya mendadak menjalar kemana-mana. Juwita berniat untuk menanyakkannya kepada Malik. Lagi. Namun, perempuan itu ragu. Takut bila Malik akan memarahi jika ia bersikap seolah peduli kepada laki-laki itu.

"Jaga diri lo baik-baik ya nanti, Ta. Gue cuman minta satu hal ke lo, jangan pernah berhubungan dan cari tahu tentang manusia-manusia yang lo temuin di Jakarta. Satupun, jangan pernah. Gue mohon sama lo, Juwita." pinta Malik dengan nada bicara lesu.

Juwita tak mengerti dengan sikap Malik. Rasanya seperti naik-turun gunung, terkadang laki-laki itu sangatlah jahat kepadanya, tetapi Malik juga bisa menjadi seperti seorang laki-laki yang sangat lembut kepadanya. Dan justru itulah yang membuat Juwita semakin penasaran dengan sosok Malik.

"Kuliah, tempat tinggal, uang saku, dan kebutuhan lainnya gue jamin aman. Lo gak perlu mikirin itu semua." tambah Malik kepada Juwita, mereka saling beradu pandang. Malik lalu tertawa ringan. "Lo juga bakal terbebas dari gue yang selalu nyakitin hati lo. Pasti lo udah gak sabar kan buat pergi jauh dari gue?"

Kamu salah, Malik. batin Juwita sedih.

"Memangnya kita beneran gak bakal bisa ketemu lagi."

"Enggak, Juwita. Lo jangan pernah ketemu sama orang-orang yang lo kenal di Jakarta, lo gak tau seberapa jahat mereka sebenarnya."

"Berarti kamu juga jahat, Malik?"

Malik terdiam. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana dari Juwita.

"Iya, gue jahat. Gue jahat banget, Juwita." jawab Malik, setelah berdiam sejenak dengan perasaan ragu.

Juwita menatap wajah Malik dengan tatapan dalam, "Terus kenapa kamu rela ngejauhin aku dari orang-orang jahat yang kamu maksud itu?"

"Lo gak bakal ngerti, semuanya terlalu kompleks. Gue gak mau nasib lo sama kayak Maureen. Cukup Maureen yang jadi korban." tegas Malik, menghentikkan pembicaraan di antara keduanya.

Juwita terdiam ketika mendengar sebutan seorang perempuan yang sudah sangat familiar di telinganya. Perempuan yang begitu dicintai oleh Malik. Maureen. Juwita hanya bisa menahan perasaannya, ia sadar diri siapa dirinya jika dibandingkan dengan Maureen.

Kedua orang itu menyantap makanan yang berada di hadapan mereka dan segera kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan panjang yang membuat Juwita resah, ia merasakkan sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mengikuti perintah dari Malik untuk pergi ke suatu tempat yang ia sendiri tidak tahu akan dibawa kemana.

Ketika Malik dan Juwita sibuk berpergian, kedua orangtua Malik sedang dilanda keresahan. Wajah mereka memucat, keringat dingin membasahi tubuhnya.

"Malik gak seharusnya bertingkah seperti ini, semuanya jadi kacau!" teriak Reza, ayah Malik.

Laras selaku ibu Malik berusaha menenangkan suaminya, menyentuh lengan Reza dengan lembut, berharap suaminya dapat mengontrol emosinya.

"Malik memang salah, tapi dia itu masih anak—"

"Anak kecil? Kamu bilang Malik itu anak kecil? Dia sudah kuliah! Dia sudah dewasa!" ketus Reza, memarahi istrinya yang berusaha membela anaknya.

"Aku tahu Malik memang salah. Dia ngebantu Juwita karena perempuan itu adiknya Maureen. Kamu seharusnya ingat kalau Maureen itu mantan kekasihnya Malik." tekan Laras, menatap serius kedua mata Reza.

Reza menggaruk rambutnya frustrasi. Ia mengerang kesal. "Arrgh! Apa yang harus kita lakukan sekarang, Laras? Aku gak mau kita balik kayak dulu."

"Tenang, Sayang. Aku punya rencana untuk anak kesayangan kita itu." ucap Laras menyeringai kecil, ia menyentuh pelan punggung Reza, mengusapnya.

"Rencana apa?" tanya Reza, ia penasaran.

Laras pun mendekatkan dirinya kepada sang suami. Ia membisikkan sesuatu ke telinga Reza, sesekali ia tertawa pelan saat Reza terlihat terkejut. Wanita itu berusaha meyakinkan suaminya agar mengikuti perintahnya. Semua ini dilakukan demi keselamatan mereka, maupun keluarga mereka.

Bersambung

Bunga untuk Juwita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang