BUNGA UNTUK JUWITA CHAPTER 31

23 1 0
                                        

"Lepaskan aku!"

Teriakan Juwita terdengar begitu kencang, tubuhnya bergetar hebat saat lima orang perempuan sedang memaksa perempuan itu untuk melepaskan semua pakaiannya. Juwita berusaha sekuat tenaga mendorong mereka semua, menendang, hingga menggigit. Namun sayangnya usahanya tidak membuahkan hasil, semua itu sia-sia.

Wajah Juwita seketika ditampar oleh seorang wanita paruh baya, namanya Resinta, tepat ketika Juwita melontarkan kata-kata hinaan dan teriakkan yang cukup membuat wanita paruh baya itu kesal.

Juwita bisa merasakan bahwa Resinta ia merupakan tangan kanan Gibrano yang selalu menuruti semua keinginan laki-laki itu, hal itu Juwita amati sejak awal ia tersadar di tempat mengerikan ini. Juwita bergetar, merasakan sakit yang luar biasa saat tangan Resinta bersentuhan dengan pipi mulusnya, namun rasa sakit itu tidak sebanding dengan harga diri Juwita yang terinjak-injak saat ini.

Pakaian Juwita berhasil dilepaskan, semuanya. Mereka membawa perempuan itu ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, memandikannya yang sudah kehabisan tenaga untuk melawan. Tubuh Juwita disentuh dan diraba, ia merasa jijik dengan semua ini.

Kenapa aku harus merasakan semua penderitaan ini? Apa Tuhan sebenci itu sama aku?

Juwita berulang kali berontak untuk kesekian kalinya setiap seluruh pegawai klub itu memandikannya, menyentuh dan meraba setiap inci dari kulitnya hingga bagian-bagian sensitifnya yang tidak pernah seorangpun sentuh kecuali dirinya.

Untuk kedua kalinya, Juwita ditampar. Kali ini suara persatuan pipi Juwita dengan telapak tangan Resinta terdengar lebih nyaring. Bahkan Resinta tidak segan untuk menamparnya lagi dan lagi hingga empat kali tamparan dalam satu waktu.

Hal itu sontak membuat Juwita semakin marah. Semakin ia memberontak, semakin ia ditampar tanpa rasa ampun oleh Resinta. Tenaganya kian menipis, sentuhan demi sentuhan terus terasa di kulitnya.

Pandangannya yang mulai memburam, membuatnya pusing, efek dari tamparan Resinta yang berulang kali. Juwita tidak pingsan, hanya saja penglihatannya mulai mereda dan kepalanya yang terasa berat membuatnya dirinya tidak lagi melawan.

Tidak berselang lama, perempuan itu pun selesai dimandikan dan kini dipakaikan pakaian yang menurutnya tidak bisa disebut sebagai pakaian. Juwita kini memakai dress lingerie berwarna merah menyala.

Lingerie tersebut terbuat dari bahan yang lembut dan berkilau, seperti satin, dengan sentuhan renda dan pita sebagai detail tambahan yang memperindah. Potongan dress lingerie itu dirancang untuk memperlihatkan kurva tubuh dengan lekuk tubuhnya yang indah.

Lingerie yang dipakai Juwita memiliki potongan renda yang menghiasi bagian dada, memberikan sentuhan sensual yang memikat. Potongan belahan dada yang menambah elemen keberanian dan tentunya akan mengundang perhatian banyak pasang mata. Bagian punggungnya memiliki ziper putih berlapis dengan potongan yang rendah, menambahkan unsur keanggunan yang memikat.

"Berhenti bicara dan fokus melayani tamu. Itu tugasmu disini." bentak Resinta kepada Juwita yang terus-menerus memberontak dengan pakaian yang ia kenakan.

Juwita meninggikan suaranya, ia tidak terima. "Kamu pikir aku apaan? Pelacur?"

"Iya. Kau sekarang adalah pelacur disini dan kerjalah sesuai tugasmu atau kau akan mendapat hukuman." jawab Resinta dengan sangat tegas. Menatap wajah Juwita dengan tajam.

Resinta melanjutkan kalimatnya, "Kali ini tamu untukmu adalah Tuan Mashiro. Jika kau membuat masalah, akan kupastikan kau tidak akan bisa melihat kembaranmu lagi. Dia akan mati karenamu, karena ulahmu."

"Jangan bawa-bawa Maureen, dia tidak ada kaitannya denganku!" Juwita hendak menyerang Resinta, tetapi tubuhnya ditahan oleh para pelayan disana.

"Semua keputusan ada di tanganmu. Kau ingin dia mati atau hidup. Bertingkah baiklah jika kau masih ingin melihatnya hidup." tekan Resinta dengan tegas.

Sebelum Resinta keluar, ia berbalik dan menatap Juwita. "Oh ya satu lagi, namamu sekarang adalah Jully, bukan Juwita. Kuharap kau mengerti."

Resinta pergi meninggalkan Juwita, bersamaan dengan Juwita yang dibawa menuju ke sebuah ruangan. Juwita menurut, meski hati dan otaknya saling berperang batin.

Ia ingin pergi menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi ia juga tidak ingin Maureen mati. Hingga sampailah Juwita di sebuah ruangan mewah dengan seorang pria sudah berada disana.

Pria itu mengenakan setelan jas yang terlihat sangat elegan. Jasnya mungkin berwarna gelap seperti hitam namun juga terlihat seperti biru tua jika dilihat lagi, dengan potongan yang pas dan detail garis putih horizontal yang menonjol.

Kemeja yang dia berwarna putih bersih, memberikan kontras yang elegan dengan jasnya. Dasinya  terbuat dari sutra dengan motif garis hitam dan warna biru tua yang cocok dengan keseluruhan tampilan.

Celana panjangnya serasi dengan jasnya, terbuat dari bahan yang berkualitas tinggi dan dipotong dengan presisi untuk memberikan siluet yang rapi. Sepatu yang dia kenakan berjenis loafer, dengan desain yang klasik namun tetap terlihat mewah. Aksesori seperti jam tangan turut menambah sentuhan akhir yang elegan pada penampilannya.

Postur tubuhnya mungkin sedikit membungkuk karena usia, tetapi dia masih bisa memancarkan aura kepercayaan diri. Meskipun pakaian itu mewah dan berkualitas, tetapi tatapan mesumnya merusak kesan yang seharusnya bisa membuatnya terlihat menawan. Pandangan yang terlalu intens pada lekuk tubuh Juwita membuat perempuan itu dengan sigap menutupi bagian tubuhnya dengan kedua tangannya.

Pria tua itu atau yang kerap disapa Tuan Mashiro tersenyum dan berjalan mendekati Juwita saat pintu kamar di tutup. Ia mengendus bau tubuh Juwita yang wangi parfum yang baru dioleskan. Pria itu mulai meraba kulit lengan Juwita sehingga membuat perempuan itu mengeluarkan air matanya.

"Jangan sentuh aku, kumohon. Lepaskan aku." pinta Juwita. Tubuhnya seketika lemas, ia seolah tidak bisa melawan saat Tuan Mashiro terus merabanya.

"Tenanglah, Sayang." ucap pria tua itu, berbisik pada telinga Juwita dengan nada sensual.

Suaranya gemetar saat ziper berlapis berkelebat melewati kulit halusnya. Juwita merasakan sentuhan kasar tangan yang asing membuka pakaiannya yang tersisa. Dia merasa tercekik oleh ketakutan saat pakaian itu hampir dilepaskan seutuhnya. Beruntungnya Tuan Mashiro mendapat panggilan telepon dari saku celananya.

"Sialan, bisa-bisanya dia menelponku disaat genting seperti ini." kesal Tuan Mashiro pergi keluar kamar dengan kunci yang ia miliki, meninggalkan Juwita di kamar itu untuk sementara waktu.

Tubuh Juwita melemah, seketika ia hanyut dalam kasur. Menutup kembali ziper pada pakaiannya dan mencari cara agar bisa keluar dari ruangan itu. Satu-satunya cara adalah dengan pintu kamar yang sepertinya tidak dikunci oleh Tuan Mashiro karena pria itu pergi dengan terburu-buru. Namun Juwita mengingat ancaman Resinta yang membuat pikirannya campur aduk.

Ketakutan dan keputusasaan menjadi satu-satunya teman setianya. Dia merasa seperti domba yang siap untuk disembelih, terjebak dalam aliran waktu yang tak berujung.

Tapi kemudian, dalam ruangan hitam di hatinya, muncul satu cahaya kecil yang memberinya harapan. Diam-diam, seperti bayangan yang tidak terlihat, Nalendra muncul, membuka pintu kamar ruangan itu dengan hati-hati.

"Nalendra?!"

Suara Juwita terdengar syok dan cukup kencang sehingga Nalendra mengisyaratkan agar perempuan itu untuk mengecilkan suaranya.

"Sini, cepat!" bisik Nalendra, suaranya bergetar oleh rasa kecemasan. Laki-laki itu menambahkan, "Kamu harus keluar dari tempat ini, apapun caranya."


Bersambung

Haii, long time no see!!
Maaf kalau waktu updatenya gak teratur, tapi aku bakal coba update sering-sering yaa.

Jangan lupa kasih vote dan komen guys.
Kalo ada yang typo, boleh kalian komen yaa, biar aku gampang editnya.
Terus kalo kalian ada saran tentang ceritanya, bisa banget kalian kasih komentar biar aku tau mana yang bisa aku ubah.

Thank youu everyone.
Luv y'all🫶🏻

Bunga untuk Juwita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang