"Aku enggak suka sama Malik, Kak. Aku serius." ungkap Juwita dengan penuh penekanan.
"Buktiin aku kalo kamu beneran enggak suka sama Malik, Ta. Bikin aku percaya kalo kamu gak ada perasaan khusus ke dia." suruh Nalendra kepada Juwita.
Juwita pun terdiam, tak tahu harus melakukan apa untuk meyakinkan Nalendra bahwa dirinya memang tidak ada perasaan khusus untuk Malik. Nalendra menyentuh rambut Juwita yang sudah dicat sesuai dengan warna rambut Maureen dulu, ia tersenyum kecil.
"Ini semua pasti perbuatan Malik kan? Malik yang bikin kamu supaya mirip sama Maureen kan, Juwita?"
Pertanyaan Nalendra dijawab dengan anggukkan kecil dari Juwita. Perempuan itu mengatakan, "Tapi aku juga suka sama warna rambutnya."
"Pakaian ini? Aku tau, kamu gak mungkin nyaman pakai pakaian yang kurang bahan begini. Ini bukan kamu, Juwita. Ini Maureen." cecar Nalendra, yang membuat Juwita menunduk.
Nalendra menghela nafasnya berat. Laki-laki itu melepaskan jaket yang ia kenakan dan memakaikannya kepada Juwita. Juwita menatap wajah Nalendra yang sedang terlihat serius memakaikannya jaket milik lelaki tersebut.
"Kalo kamu emang mau ngerubah penampilan kamu karena Malik, aku gak bakal ngelarang. Tapi aku cuman mau kamu tau kalo masih banyak yang sayang sama kamu diluar sana, Ta. Kamu bisa jadi diri kamu sendiri di depan Aku, Kamila, dan juga Abun. Kamu gak perlu jadi Maureen, cukup jadi Juwita yang kamu kenal." ungkap Nalendra dengan sangat serius.
Juwita pun menunduk lesu. Perasaannya campur aduk. Perlu Juwita akui bahwa dirinya memang sangat tidak nyaman memakai pakaian mini yang dibelikkan oleh Malik, dan perempuan itu tidak ingin hanya menjadi bayang-bayang Maureen dikepala Malik. Juwita hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Namun Juwita teringat bahwa Malik sangat membenci dirinya yang terlihat lugu dan kampungan. Kata-kata menyakitkan dari Malik selalu membuat nyali Juwita menciut untuk kembali menjadi dirinya sendiri. Juwita merasa dirinya sangat terkekang dibawah tekanan Malik, namun ia tak punya pilihan lain selain melakukan apa yang Malik inginkan.
Karena baru semalam-lah Malik bersikap baik kepadanya. Hal yang sudah Juwita tunggu-tunggu sejak awal kedatangannya di rumah lelaki itu. Ia sangat ingin Malik menerima kehadirannya di rumah itu, ia hanya ingin Malik baik kepadanya dan berhenti merendahkannya.
Juwita pun tak kuasa menahan tangisannya saat Nalendra tiba-tiba memeluknya dengan sangat lembut. Pelukkan hangat yang sudah lama tidak Juwita rasakkan.
Terakhir kali Juwita merasakkan pelukkan yang sangat menenangkan seperti itu adalah ketika Ibunya masih hidup dan tinggal bersamanya. Ketika Juwita masih dipenuhi oleh kebahagiaan, tidak seperti sekarang yang dipenuhi oleh duka.
"Nangis aja, Ta. Gak apa-apa. Aku enggak bakalan marah kalo kamu nangis." ucap Nalendra sedikit berbisik.
Hal itu otomatis membuat Juwita menangis semakin histeris. Perkataan Nalendra sangatlah mirip dengan perkataan Ibunya yang selalu memeluknya dengan erat saat Juwita menangis. Kenangan akan masa lalu datang menghampiri pikiran Juwita yang dipenuhi oleh keluhan-keluhan akan sosok Malik.
"Nangis aja, Neng. Ibu enggak akan marah kok kalo Juwita nangis, gapapa."
"Aku kangen sama Ibu, Kak. Aku kangen sama Ibu. Ibu biasanya yang selalu meluk aku kalo aku lagi ada masalah. Ibu yang selalu tenangin aku, selalu bikin aku ceria lagi. Aku mau ketemu sama Ibu." ungkap Juwita, tangisannya terdengar nyaring di telinga.
Nalendra mengelus punggung Juwita, berusaha menenangkan perempuan itu. "Yaudah nanti kita ke kuburan Ibu kamu yaa, Ta."
"Kuburan Ibu aku jauh, Kak. Di Tambun, Bekasi." Juwita menyanggah. Namun Nalendra kembali melanjutkan, "Gapapa, kapan-kapan aku anterin kamu kesana."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga untuk Juwita
Fiksi RemajaSetelah beberapa bulan menjadi anak yatim piatu, tiba-tiba saja Juwita mendapat informasi bahwa ia akan menjadi anak angkat Keluarga Cakrabuana karena ibunya bersahabat dengan keluarga tersebut. Juwita berpikir hidupnya akan menjadi lebih baik karen...