BUNGA UNTUK JUWITA CHAPTER 30

43 1 1
                                        

Juwita terbangun dari mimpi buruknya. Tatapannya memburam, pandangannya membuat kepalanya pusing. Tangan dan kakinya tak bisa ia gerakkan, ia terikat kencang. Perempuan itu mengedarkan pandangannya dan mendapati bahwa ia sedang berada di sebuah ruangan asing yang tak pernah ia masukki.

"Lo gak seharusnya masuk ke jebakan ini. Bego." cecar seorang perempuan berambut pirang panjang.

Kedua bola mata Juwita membesar, desah nafasnya memburu, ia terkejut dengan sosok perempuan yang sedang berjalan mendekatinya itu. Perempuan bergaun merah pendek dengan belahan yang sangat besar di bagian dadanya, baju yang sangat terbuka sehingga membuat kedua dada perempuan itu hampir terlihat seluruhnya.

Bukan pakaiannya yang membuat Juwita terkejut, melainkan wajah dari perempuan itu. Wajah yang sangat mirip dengannya, seorang perempuan yang sangat Juwita kenali meskipun mereka tak pernah bertemu.

"Maureen." panggil Juwita dengan deru nafas memburu.

Maureen menatap wajah Juwita yang sedang menatapnya dengan tatapan penuh tanya, rasa takut, bingung, marah, dan juga sedih bercampur aduk. Emosi itu terlihat jelas pada mimik wajah Juwita. Maureen duduk di ujung kasur tempat Juwita diikat.

"Harusnya lo gak ke Jakarta, harusnya lo gak berakhir kayak gue. Lo terlalu polos buat dunia yang kejam ini, Juwita." Tutur kata Maureen terdengar tegas namun juga kecewa.

"Kamu bukannya harusnya udah—"

"Mati?" Maureen tertawa hambar, sengaja memotong perkataan Juwita. Perempuan itu kembali melanjutkan kalimatnya, "Lo pikir gue akan semudah itu hilang dari dunia ini? Dia gak akan ngebiarin gue mati gitu aja."

"Dia? Maksud kamu?" Juwita melayangkan pertanyaan kepada Maureen, berharap perempuan itu akan memberikan jawaban yang ingin sekali ia dengar.

Bukannya menjawab, Maureen justru memberikan Juwita pertanyaan balik. "Jadi lo belum tau sama sekali masalah ini?"

Juwita terdiam. Ia tiba-tiba mengingat penjelasan dari Malik sebelumnya. Hal ini membuat Juwita mengerang menanyakan sosok Malik. Maureen justru merasa tidak nyaman dengan Juwita yang begitu khawatir dengan Malik, mantan kekasihnya.

"Jadi Malik udah tau tentang semua ini?" tanya Maureen dan langsung dijawab dengan anggukkan oleh Juwita. "Dia yang ceritain ke aku tentang semua ini. Tapi aku rasa dia belum tau kalo kamu masih hidup."

Juwita menatap Maureen dengan perasaan sedih dan kecewa. Kalo dia tau kamu masih hidup, pasti dia bakal berusaha semaksimal mungkin buat ngeluarin kamu dari sini walaupun kematian imbalannya.

Maureen menghela nafasnya berat. "Jujur gue gak tau Malik dimana, tapi yang jelas dia gak mungkin disini."

"Kamu masih punya perasaan ke Malik?" tanya Juwita kepada Maureen dengan harapan Maureen akan menjawab 'tidak'.

"Hubungan gue sama Malik udah lama berakhir." balas Maureen, tidak memberikan jawaban yang Juwita inginkan.

Jadi kamu masih cinta sama dia, Maureen? Aku ngerti. batin Juwita kecewa. Ia menurunkan pandangannya dari wajah Maureen dan melirik ke arah tangannya yang diikat kencang.

"Kamu bisa bantu lepasin ikatan aku?" pinta Juwita dengan ekspresi memohon namun Maureen justru menggeleng kecil. "Gue gak punya hak buat ngelepasin lo."

"Kenapa? Kamu mau aku berakhir sama kayak kamu? Aku gak mau jadi pelacur kayak kamu, Maureen!" hardik Juwita dengan nada yang meninggi.

Maureen melayangkan tangannya ke arah pipi Juwita, ia menamparnya. "Lo pikir gue mau jadi begini, hah?!"

"Gue gak pernah mau jadi pelacur, sedikitpun gak! Tapi apa daya gue dilahirin dari rahim seorang pelacur yang ngerusak hubungan orang lain. Gue yang nanggung semua perbuatan ibu gue, ibu lo juga! Gue yang harus ngerelain orang-orang yang gue sayang, yang gue cinta. Semua karna apa? Karna kesalahan orangtua kita!" pekik Maureen membentak Juwita yang memancing emosinya hingga meledak saat itu juga.

Maureen menatap tajam ke arah Juwita, namun Juwita tahu bahwa terdapat kesedihan yang luar biasa dari tatapan Maureen. "Dari kecil gue gak pernah ngerasain yang namanya kasih sayang. Dan ketika ada yang bener-bener sayang sama gue, gue justru harus bohong dan pergi ninggalin dia."

Maureen teringat betapa bencinya ia kepada kedua orangtuanya yang tidak mau membantunya sedikitpun saat ia dibawa pergi oleh keluarga Nalendra. Mereka memaksa Maureen agar perempuan itu mau memainkan drama kecil agar Malik tidak mencurigai siapapun. Tentu awalnya ia menolak, namun mereka mengancam Maureen bahwa hidup Malik akan dihancurkan sama seperti abangnya.

Mau tidak mau Maureen menuruti kemauan mereka semua. Tidak pernah ada yang benar-benar peduli kepadanya kecuali Malik, bahkan Nalendra sekalipun tidak. Nalendra sudah mengetahui semua ini sejak awal namun ia tidak berbuat banyak dan hanya bisa berdiam diri melihat Maureen yang dipaksa untuk bekerja di tempat hiburan milik keluarganya.

Nalendra bahkan mengetahui bahwa sudah berulang kali Maureen melakukan percobaan bunuh diri saat ia bekerja di club milik keluarganya, namun Nalendra masih saja diam dan tidak mau bertindak sedikitpun.

Maureen menceritakan segalanya dengan nada tinggi seolah marah kepada Juwita, namun ia juga menangis karena tidak dapat membendung air matanya lagi. Ia tidak dapat menanggung semua beban ini sendirian. Perempuan itu begitu kecewa ketika mengetahui Juwita justru masuk ke dalam perangkap ini semua, ia tidak menyangka kembarannya juga akan bernasib sama sepertinya.

Suara dentuman kaki terdengar mendekati pintu kamar dan pintu itu terbuka lebar. Terdapat seorang pria paruh baya yang masuk ke dalam kamar, menatap Maureen dan Juwita dengan senyuman tipis. Maureen segera menghapus air matanya secara kasar dan berdiri, ia menunduk. Pandangannya sengaja ia turunkan, Maureen tidak mau menatap pria yang ada di hadapannya saat ini.

Juwita memerhatikan gerak-gerik pria itu, Apa ini Ayahnya Nalendra?

"Hey Maureen, how's your lil' sis?"

Suara bariton pria itu membuat Maureen membuka suaranya, meski masih menundukkan pandangannya. Nada bicara Maureen cukup bergetar, menandakan ia ketakutan dan gugup.

"Juwita baru aja sadar, Pak. Dia—"

"Hey Juwita, you're good?" Pria itu mengabaikan Maureen dan beralih kepada Juwita. Ia memberikan senyuman kepada Juwita saat menyapanya.

"Bisa tolong lepaskan ikatan saya?" sahut Juwita, menghiraukan pertanyaan dari pria tersebut.

"Saya ngerti kamu pasti kaget sekarang. Kenalin, saya Gibrano, Papanya Nalendra. Saya harap ke depannya kamu bisa nurut kayak Maureen sekarang ya." Gibrano tersenyum menatap wajah Juwita, mengusapnya pelan sehingga membuat Juwita mengerang ingin menjauh.

Gibrano berdiri dan melirik ke arah Maureen, tepatnya ke arah pakaiannya. "Hari ini kamu sama siapa, Maureen?"

"Pak Budi." jawab Maureen singkat dan seadanya.

"Setengah jam lagi kan?" tanya Gibrano lagi. Maureen pun mengangguk pelan, "Iya, Pak."

"Sebaiknya kamu pergi bersiap-siap, saya tidak mau klien merasa kekurangan sedikitpun." suruh pria itu kepada Maureen.

Dengan sigap, Maureen menurut dan pergi meninggalkan Juwita bersama Gibrano disana. Sebelum benar-benar pergi, Maureen melirik ke arah Juwita untuk memastikan keadaan kembarannya. Tatapan kecewa terlihat jelas di matanya. Ia segera pergi meninggalkan Juwita yang sedang menatapnyadengan tatapan memelas meminta pertolongan.

Bersambung

Bunga untuk Juwita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang