A - Ketiga

91 20 5
                                    

Hallo, apa kabar, guys?

Maaf banget baru update, seminggu ini sibuk sebenernya, banyak hajatan, yang nikahan, khitanan dan yang punya hajat saudara jadi ikut bantu bantu gitu nggak bisa pegang hp terus, palingan cuma buat lihat jam doang, saking ramenya.

Sebelum baca jangan lupa pencet 🌟
dan berikan beberapa komen sebagai dukungan!

Enjoy with story
and
Happy reading, guys!

13/ 07 / 2023

▪▪▪


"Hanni, boleh minta tolong?" tanya Juno saat melihat hanya cewek itu yang sepertinya free, "Kalau lo nggak ada kerjaan,"

Hanni mengangguk, "Kebetulan gue nganggur, apa yang bisa gue bantu?" tanya balik Hanni yang menyanggupi permintaan tolong Juno.

"Kita cuma ada satu bola buat pelajaran olahraga bentar lagi, bisa tolong ambilin dua lagi di ruang olahraga?"

Hanni mengangguk dan berjalan menuju ruang olahraga sendirian sedangkan yang lainnya sedang melakukan pemanasan di tengah lapangan.

Juno yang mendapatkan tanggung jawab memastikan teman temannya ada semua tanpa terkecuali.

"Raka kemana lagi? Tuh anak bener bener suka bolos di jam olahraga!" Juno kesal sendiri kalau mengingat alasan kenapa Rakana jarang mengikuti pelajaran olahraga.

"Kalau nggak ruang seni, ya ruang musik," balas Hero yang berada  di tengah lapangan dia sedang pemanasan.

"Coba suruh dia kesini sekarang, kalau nggak mau, seret aja!" suruh Juno, "Jangan sampai Pak Agung dateng kita belum kumpul semua!"

Haidar dan Jeremy mengajukan diri untuk mencari Rakana, walau sebenarnya mereka ingin pergi ke kantin, lagipula siapa yang berani pada Rakana si muka tembok.

"Sayang, mau nitip sesuatu nggak? Sekalian aku mau ke kantin," bisik Jeremy pada Rana, cewek itu mengeleng. "Yaudah aku pergi dulu, jangan kangen!" Rana hanya berdehem sebagai balasan terakhir.

Seperti dugaan, Rakana memang ada di ruang seni, memegang kuas juga cat air, melukis seorang gadis bersama kucingnya di kanvas, di bagian bawahnya di beri watermark sebagai sentuhan terakhir.

Drtt...

Ponselnya yang berada di kursi samping bergetar menandakan ada pesan masuk, Rakana melihatnya dari bubble chat "Jangan bolos!" Rakana tersenyum membacanya.

Selesai dengan lukisanya, Rakana membersihkan semua dan menyimpan lukisan tersebut di tempat yang tidak sering anak anak lain buka.

Baru saja membuka pintu dirinya sudah mendapati Jeremy dan Haidar yang ingin membuka pintu juga, menunjukkan cengiran andalan keduanya.

"Disuruh ke lapangan,"

Rakana tidak menjawab, melangkah terlebih dahulu yang langsung disusul keduanya, Haidar dan Jeremy tidak berani bersuara takut dengan orang di depannya yang bisa kapan saja mengamuk.

"NINA, AWAS DI ATAS LO!" Rakana, Haidar dan Jeremy yang baru sampai sudah di kagetkan dengan teriakan Shasha.

Rana yang berada di samping Karanina langsung menariknya hingga keduanya terjatuh.

PRANG!

Vas bunga tersebut hancur tepat di tempat Nina berdiri tadi, Ben melihat keatas ternyata ada salah satu murid yang ketakutan dan melarikan diri dari sana.

"Nggak usah di kejar nggak papa, mungkin dia nggak sengaja jatuhin," ujar Karanina saat cowok cowok kelasnya ingin menghampiri murid tersebut.

"Tapi Nin..."

"Nggak papa," Karanina menyakinkan.

Mereka mengalah dan mempersiapkan untuk pelajaran olahraga karena semua sudah hadir dan Pak Agung juga sudah datang.

"Rana, lo sakit?" tanya Gladys melihat Rana yang terus meringis dan memegang lengan atasnya.

"Hah?! Sayang, kamu nggak papa? Ada yang luka?" kan si bucin Jeremy panik dan segera memegang tangan Rana dan mencari mana yang sakit.

"Jere, aku nggak papa, kegores dikit kayakan pas jatuh tadi terus agak nyeri, tapi nggak papa," jelas Rana membuat Jeremy sedikit tenang

"Kalau sakit kita ke uks aja ya, jangan maksain," Rana mengangguk dan tersenyum sebagai balasan.

"Stop bucin! Hargai jomblo jomblo ini!" kesal Diko yang melihat keuwuan bersama yang lain.

"Salah siapa jomblo?" ledek Jeremy.

"Yoshua, Sean!" obrolan mereka terhenti saat Pak Agung memanggil nama temannya itu, "Tolong kalian kembaliin semua ini ke ruang olahraga,"

"Baik Pak," keduanya mengangguk dan kemudian Pak Agung pergi meninggalkan anak muridnya di lapangan.

"Kita balik kelas juga sekarang?"

"Tungguin lah, gue sama Yoshua balikin ini dulu, bareng ke kelasnya!" protes Sean.

"Yaudah, cepet makanya!"

"Sabar!"

Hero dan Gladys menemui murid yang menjatuhkan vas tadi, keduanya menatap dengan tatapan mengintimidasi.

"Lo bodoh atau bego sih? Bisa bisanya lo jatuhin ke Kara!" emosi Hero memaki murid itu.

"Nggak ada untungnya lo marah marah sama dia, yang kayak gini mau masuk kelas unggulan? mental tahu!" Gladys ikut memakinya.

Murid tersebut menunduk dan merasa ketakutan, makian makian yang di berikan oleh dua orang saja sudah menakutkan apalagi dari yang lain.

"Udahlah, kita pergi sekarang. Lama lama disini bisa bikin bego juga!" ajak Gladys yang berjalan terlebih dahulu meninggalkan ruangan tersebut.

"Gue pastiin lo nggak bakal bisa masuk kelas unggulan tahun depan!" kalimat yang terakhir yang Hero ucapkan sebelum pergi menyusul Gladys.

"Kenapa lo mau mau aja berurusan sama kelas mereka sih? Nggak berkaca dari kasus Monica dan murid lainnya?" kesal teman sekelasnya, "Mau masuk kelas unggulan bukan karena mereka tapi karena nikai kita yang memumpuni!"

Tidak heran hampir semua murid di sana menginginkan berada di kelas unggulan, kelas yang berisikan murid pintar dengan peringkat pararel teratas dan orang orang kalangan atas, siapa yang tidak ingin? Apalagi fasilitasnya  yang bisa di bilang di istimewakan.

Setidaknya saat berada dikelas tersebut mereka bisa bergaul dengan anak anak orang kaya, tapi mereka tidak tau saja, menjadi murid kelas unggulan tidak semenyenangkan itu.

Ada banyak persaingan di dalamnya yang tidak terlihat, ada banyak rasa yang tercipta, benci, iri, dan keinginan menang sendiri.

Semua anak kelas unggulan memakai topeng yang begitu tebal, memiliki banyak wajah yang tidak pernah orang lain sangka, dan topeng yang mereka pakai sekarang adalah topeng teratas yang mengelabui semuanya.

A - ZER0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang