46 - Always Be Happy

3.8K 549 28
                                    

Happy Reading!

>_<

"Acha?"

Gadis dengan bandana putih itu berdiri tanpa sepatah kata. Menatap sang Tuan yang tengah memeluk saudaranya dengan penuh pilu. Lelaki yang akhir-akhir ini selalu ia rindukan, pemilik dongeng putri tidur yang ingin selalu ia dengarkan.

Perlahan, Delga melepas peluknya dari Raven. Menatap penuh harap pada Acha yang bahkan tak mampu lagi berbicara.

Raven juga di sana, melihat bagaimana tatapan tulus keduanya yang saling tersirat rindu. Dan mungkin saja, sebelum perasaannya tersampaikan pada sang pemilik hati, Raven sudah mengaku kalah terlebih dahulu.

Tentu saja ia tak boleh egois dengan keinginan untuk memiliki Acha juga kan?

Langkah demi langkah Acha kikis untuk sampai di depan Delga. Sebelum Delga mengangkat bicara, gadis itu lebih dulu menubrukyna dengan pelukan yang begitu erat. Seakan Acha tak ingin melepaskan Delga untuk siapapun lagi, seakan lelaki di depannya tak boleh dimiliki orang lain.

"Prince, maaf," bisiknya sembari sesenggukan.

Mungkin di episode ini, Delga sudah lelah mendengar permintaan maaf, entah dari siapapun itu. Namun setidaknya ia merasa tenang, bahwa kehidupannya perlahan mulai baik-baik saja.

"Aku membenci kamu tanpa sebab, Prince. Seharusnya aku dengerin penjelasan kamu dulu di hari itu. Aku bodoh, aku bahkan nggak mau bicara sama kamu selepas tau bahwa Jeya egois ingin memiliki kamu," kata Acha sembari mengeratkan peluknya.

Delga melirik ke arah Raven yang kini mulai menjauh. Memberi ruang bagi keduanya untuk melebur rindu yang tak tersampaikan.

"Hey, udah ya sayang? Jangan minta maaf terus, aku yang salah, aku udah lukain hati kamu. Maaf ya? Maaf udah merusak kepercayaan kamu, makasih udah menerima aku kembali, Crystal," balas Delga dengan tangannya yang masih mengusap lembut punggung Acha.

Bukannya tenang, Acha justru semakin menangis. Dicintai oleh Delga, ternyata rasanya sebahagia ini. Jika boleh egois, maka Acha tak akan pernah membiarkan Delga pergi kemanapun lagi.

"Prince, semuanya akan baik-baik aja kan? Setelah ini, janji untuk selalu bahagia ya? Nanti kalau mereka jahat lagi, aku pukul pakai ini," ucap Acha sembari menunjukkan kepalan tangan mungilnya.

Lantas mendapat respon berupa tawa kecil dari Delga. Gadisnya memang selucu itu, Delga saja sampai heran.

Fokus Acha teralih pada Raven yang juga ikut memperhatikan mereka. Acha mengukir senyum kecil, lantas menghampiri Raven yang masih membisu.

"Ven, jaga baik-baik adik lo ya. Setelah ini, hidup dengan baik, kita tetap teman kaya biasa. Jangan lupa bahagia, kalian pantas mendapatkan itu," ucapnya memberi semangat.

Sudut bibir Raven tertarik, entah menertawakan dirinya sendiri sebagai pecundang, ataupun karena Acha yang masih peduli dengannya sampai detik ini.

"Acha, maaf dan terimakasih. Bantuan dari keluarga lo, nggak akan pernah gue lupain," katanya menyampaikan setitik dari dalam hati Raven.

Di tengah perbincangan mereka, langkah kaki mulai terdengar mendekat. Jeya, gadis itu berdiri tak jauh dari mereka bersama Gerald. Menghampiri ketiga orang yang ada di depannya dengan tatapan tak lepas dari Delga.

"Acha," panggil Jeya kepada sahabatnya. Wajah Acha berubah menjadi lebih dingin, melirik tanpa minat pada Jeya yang kini hanya bisa tertunduk lesu. "Gue ke sini, cuma mau minta maaf. Gue kalah, Cha, gue nggak bisa mendapatkan cinta Delga sama kayak apa yang lo dapatkan dari dia. Gue sadar, gue nggak bisa terus memaksa ini."

Jeya berbicara dengan penuh penyesalan, berharap Acha mau memaafkan dirinya atas segala kesalahan yang telah ia lakukan.

"Terakhir, gue cuma mau bilang kalau gue akan pindah dari kota ini. Gue nggak akan ganggu lo lagi. Acha, gue berharap lo masih mau berteman sama gue," mohonnya penuh harap.

Jeya hanya ingin pergi dengan tenang. Tak ada penyesalan yang belum ia tebus pada Delga dan Acha. Pergi sejauh mungkin, melupakan kota ini, melupakan orang-orang di dalamnya, termasuk lelaki yang begitu ia cintai.

"Je, semuanya udah berlalu. Nggak akan ada yang berubah setelah lo meminta maaf. Gue udah lupain semuanya, tapi maaf, gue nggak bisa melanjutkan pertemanan ini lebih jauh." Acha berkata dengan begitu berat, melepaskan sahabat perempuan pertamanya di kota ini benar-benar sakit untuknya. "Sebab gue nggak akan pernah memaafkan penghianatan, apapun alasannya."

Jeya mengangguk paham, hatinya merasa lebih tenang setelah meminta maaf pada Acha. "Delga... gue sering iri karena Acha yang begitu sempurnanya dicintai oleh lo. Semoga setelah ini, lo selalu bahagia ya? Hidup dengan baik, maaf udah pernah lancang mencintai lo," beralih ke Delga, Jeya juga meminta maaf dengan tulus.

"Udah Je, gue udah maafin lo. Semoga ada laki-laki baik yang bisa mencintai lo, lebih baik dari gue ya?"

🦖🦖

Gemericik hujan membasahi dedaunan kering, harum aspal basah kini mulai tercium. Mobil-mobil yang melintas pun melajukan kendaraannya dengan kecepatan rendah, sebab jalanan yang barangkali mulai licin karena hujan.

Namun di tengah gerimis yang melanda itu, sepasang saudara kini bernaung di makam bertuliskan Darren Arganta Marvelo. Sosok ayah hebat yang berhasil mendidik kedua anak lelakinya dengan baik.

Tangan Raven bergerak untuk membersihkan dedaunan yang ada si atas makam sang Ayah. Sebab sudah lama, tak ada yang mengunjungi makam ini, sekedar untuk membersihkannya. Sementara Delga mulai menabur bunga mawar merah, untuk memperindah makam.

"Ayah, lihat anak Ayah udah kumpul lagi sekarang. Tapi maaf ya, Delga gagal bawa Bunda ke sini juga. Karena Bunda sekarang harus bertanggung jawab sama apa yang udah beliau lakuin sama ayah," gumam Delga bermonolog.

Raven terus memperhatikan Delga dengan seksama kala ia bercengkrama seakan Darren memang ada di tengah-tengah mereka, mendengarkan perihal sang putra yang tengah bercerita bagaimana hari-hari yang ia alami.

"Doa Delga terkabul kan Yah? Delga bisa jenguk Ayah sama Abang di sini," sedikit tawa yang keluar dari bibir Delga. Setidaknya ia bisa merasakan bahagia walaupun sesaat.

"Delga, Ayah bakal maafin gue nggak ya? Selama ini, gue gagal menjadi seorang Abang. Gue biarin lo menghadapi kerasnya dunia sendirian. Bahkan berniat menghancurkan lo lewat Dargez dan Revicks. Gue nggak pernah tahu gimana sakitnya lo, tapi kenapa lo bahkan nggak marah sama gue?" Raven menuntut tanya penuh bingung.

Delga tersenyum sekilas, lalu kembali mengusap papan nama yang ada di makam Darren. "Buat apa gue marah? Kembalinya lo adalah salah satu hal yang paling gue tunggu. Lalu setelah lo kembali, apa gue bodoh dengan membiarkan lo pergi lagi?"

"Lo adalah malaikat yang nggak tahu caranya marah, Ga. Semoga bahagia terus ya?" Raven menyahuti dengan penuh harap. Berdoa benar-benar kepada Tuhannya agar memberi bahagia pada sang adik.

"Abang tau nggak? Ayah pernah bilang, kalau seandainya dia meninggal, Ayah nggak mau dikubur. Dia takut sendirian, dia takut kegelapan. Gue pun sama, lantas jangan buat makam di sebelah Ayah ya? Gue pengen abadi menjadi abu, sebab gue nggak mau ngerasain sendirian lagi," ucapan Delga mampu meremat hati Raven. Entah mengapa jika berbicara tentang kematian, Raven memang tak semampu itu.

"Hidup lebih lama lagi, Ga. Supaya gue bisa tebus semua kesalahan gue. Lo akan sembuh, gue akan mengupayakan apapun untuk itu," balas Raven sungguh-sungguh.

Delga tersenyum dengan lega. Impiannya benar-benar telah tercapai dan Delga memang sebahagia itu.

Tuhan, terimakasih.

-Batas Fiksi-

Tanda typo!

Vote komen jangan lupa!

Tertanda

Mrs. Marvelo

DELGARA : LITTLE PROMISE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang