Gemerlip bintang menghiasi langit malam tanpa kelabu, pantulan sinar bulan pada jernihnya danau terlihat indah dalam aksa. Tak hanya suara binatang malam yang terdengar, namun canda tawa para anak-anak muda juga turut meramaikan.
Di bawah rumah pohon yang mereka bangun, anak-anak muda yang bernama Revicks itu kini saling melempar canda. Walau tempat untuk sang ketua telah kosong, namun mereka masih memberi ruang khusus untuknya.
Duka perlahan surut, sedih perlahan memudar. Kini tawa kembali nyaring, walau barangkali dalam lubuk hati mereka merindukan kebersamaan yang utuh. Cahaya Revicks tak lagi terlihat, seolah padam namun dipaksa terang oleh keadaan.
Kalimat apa yang paling menyakitkan daripada sebuah kehilangan? Menjalani hari-hari dengan penuh kerelaan. Sadar bahwa sudah saatnya mereka berjalan sendiri, tanpa Delga yang menemaninya melangkah.
Acha duduk di atas rumah pohon sendirian, menghadap pada bukit bintang yang pernah menjadi ia dan Delga nya singgah. Tangannya sibuk menyapu kuas pada kanvas putih, mengabadikan sosok lelaki yang kini sudah hilang tak terkenang.
Sementara Revicks bersantai sembari menikmati barbeque yang sudah mereka siapkan. Membiarkan tawa mengalun indah bersamaan dengan hembusan angin yang berlalu.
"Paris monyet! Lo nggak sisain buat gue?" tanya Kei dengan wajah kesal. Seperti biasa keberadaan Paris dan Kei selalu meramaikan suasana.
Paris yang sedang makan itu pun menoleh perlahan, menatap polos pada Kei yang siap menerkamnya. Jarinya terangkat, memberi tanda peace agar bisa berdamai.
"Hehe, minta lagi lah sama Atlan. Tuh di depannya masih banyak daging," ucap Paris dengan santainya.
Seketika itu Atlan mendelik, menarik piringnya agar menjauh dari jangkauan Kei. "Sumpah lo pelit banget sih, Lan? Pantat lo kelap-kelip tuh nanti!" seru Kei tak habis pikir.
Dihadiahi gelak tawa oleh anggota yang lain, Atlan akhirnya menyerahkan piringnya kepada Kei. "Noh habisin," cetusnya.
Kei menerimanya dengan senang hati, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Atlan. Suasana mendadak sepi, api unggun yang mereka nyalakan rasanya tak mampu mengusir hawa dingin yang menerpa.
"Adik lo mana, Lan? Suruh turun terus makan gih," ucap Gio yang masih sibuk menambahkan kayu pada api unggunnya agar tetap menyala.
Dagu Atlan menunjuk pada rumah pohon, mengisyaratkan bahwa Acha ada di atas sana. "Dia belum mau turun. Lagi ngelukis, pasti nggak mau diganggu," jawabnya yang sudah paham akan kebiasaan sang kembaran.
"Semenjak nggak ada Delga, Acha jadi lebih pendiam," celetuk Agam dengan tiba-tiba. Memainkan sebuah ranting kayu dengan tatapan kosong. Barangkali ia memang orang yang tidak bisa menyembunyikan kepedihannya dari orang lain, maka sebab itu jika tengah berkumpul seperti ini, ia begitu terlihat merindukan sang ketua.
"Cintanya Acha udah habis di orang lama. Gue nggak yakin dia bisa jatuh cinta untuk yang kedua kalinya," balas Paris. Suasana mendadak sunyi, begitu penuh dengan nestapa para anak muda yang kehilangan sahabatnya.
Tak ada gundukan makam untuk mereka kenang sebagai rumah terakhir Delgara. Namun ketika mereka merindukan lelaki itu, maka yang bisa mereka lakukan adalah mendatangi laut, sebuah tempat dimana Delga abadi di dalamnya.
"Sekalipun Acha nggak bisa jatuh cinta untuk yang kedua kalinya. Gue udah lega dia mau melanjutkan hidup, dia udah mau menepati janjinya sama Delga untuk tetap bahagia," ungkap Atlan dengan tulus.
Lalu semilir angin berhembus, membawa kabar rindu pada Delga yang sudah menjadi abu. "Gue takut kalau Revicks generasi berikutnya nggak bakal kenal siapa itu Delga." Agam pun bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELGARA : LITTLE PROMISE [END]
Teen Fiction[SEQUEL GRAVITASI - BACA GRAVITASI TERLEBIH DAHULU] "Keajaiban tuhan mana yang kamu maksud, Prince? Tuhan aku, atau tuhan kamu?" Jatuh cinta antara dua seniman, gadis pelukis dan seorang pemusik yang misterius, itu terlihat indah. Mengabadikan sekel...