Happy Reading!
><
Pintu bercat putih itu terbuka lebar saat pemilik rumah melangkah masuk ke dalam ruang yang nampak sepi. Dipandangnya tiap sudut ruangan itu dengan hampa. Seakan rasa sesak kembali menggerogoti hati saat rumah ini tak pernah lagi memancarkan kebahagiaan.
Keluarga? Terakhir kali ia bisa merasakan hangatnya kata itu saat dua belas tahun yang lalu.
Delgara tumbuh dengan dirinya sendiri. Berteman dengan sepi dan terbiasa hidup tanpa orang lain.
Lelaki itu tertawa miris, menyadari betapa kerasnya hidup yang sudah ia jalani. Kemudian langkahnya membawanya kembali ke kamar di lantai dua. Dimana ia bisa menemukan rumah hangat di sebrang balkonnya, keluarga Achasa. Mereka sangat membantu Delga selama hampir dua belas tahun semenjak kepindahannya.
Setelah meletakkan tas sekolah, lelaki itu segera bergegas ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya yang terasa lengket akibat kegiatan yang cukup menguras tenaga hari ini.
Lima belas menit berlalu, Delga mengambil pakaiannya di lemari, berkaca di depan cermin besar, melihat bekas luka di punggungnya yang juga belum hilang sampai detik ini. Tubuh shirtless penuh luka itupun kemudian dibalut oleh kaos berwarna hitam agar orang lain tidak tahu bagaimana kondisinya.
Delga menyambar gitar dan kunci motor di atas meja, tanpa beristirahat ataupun sekedar makan, lelaki itu kembali keluar rumah lagi. Namun ketika kakinya berpijak di ujung tangga, maniknya mendapati seorang wanita yang tengah duduk di ruang tengah dengan laptop yang masih menyala di atas meja.
Sesaat Delga termangu, menatap punggung wanita yang masih berbalut blazer itu dengan nanar.
Mendengar langkah kaki dari tangga, sontak wanita itu berbalik, mendapati anak lelaki yang akhir-akhir ini jarang ia temui kembali dapat ia lihat lagi.
"Bunda?" panggil Delga pada wanita yang masih terdiam itu.
"Kapan pulang?" sambungnya sembari mengulas senyum.
Bukannya mendapat pelukan hangat ataupun senyum yang memancar. Delga hanya mendapat tatapan sinis yang mampu membuat hatinya kembali remuk. Fakta bahwa dia dan wanita yang pernah bertaruh nyawa untuk melahirkannya itu sudah berjarak.
Dua asing yang dipaksa bersama hanya karena ikatan darah? Miris, namun itulah kebenarannya.
"Bukan urusan kamu," balas wanita itu dingin. Kembali memusatkan manik berkacamata itu di layar laptopnya.
Melihat keterdiaman wanita yang ia panggil Bunda itu, Delga perlahan mendekat. Berdiri tepat di samping tubuh sang Bunda dan mengulurkan tangannya.
Wanita itu masih acuh, seakan tak mempedulikan sang putra yang masih mematung dengan tangan yang mengudara. Padahal lelaki itu hanya ingin berpamitan kepada sang Bunda seperti normalnya sepasang ibu dan anak yang lain.
"Mau kemana lagi kamu? Balapan nggak jelas, atau latihan musik lagi?"
Delga tersenyum lega saat wanita itu mau berbicara dengannya, walaupun terkesan seperti tidak menyukai segala hal yang ia lakukan.
"Delga mau latihan sama anak Starze. Kebetulan Delga mau konser minggu depan, kalau boleh Delga minta, apa Bunda mau datang? Sekali aja, tolong..." pintanya memohon.
Keinginan sederhana yang Delga sendiri tahu bahwa hal itu akan sulit diwujudkan. Mimpi tentang bagaimana senyuman bangga sang Bunda melihatnya berdiri di atas panggung. Delga hanya ingin itu, sungguh. Jika kebanyakan orang tua lain mendukung semua mimpi anaknya, lain hal dengan Delga. Nyatanya semua hal yang ia lakukan justru bertentangan dengan keinginan sang Bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELGARA : LITTLE PROMISE [END]
Novela Juvenil[SEQUEL GRAVITASI - BACA GRAVITASI TERLEBIH DAHULU] "Keajaiban tuhan mana yang kamu maksud, Prince? Tuhan aku, atau tuhan kamu?" Jatuh cinta antara dua seniman, gadis pelukis dan seorang pemusik yang misterius, itu terlihat indah. Mengabadikan sekel...