35 - He is a Leader

3.6K 480 30
                                    

Happy Reading!

><

Menghabiskan berjam-jam waktu di Mall menjadi kegiatan yang dilakukan oleh Acha dan Jeya setelah pulang sekolah. Masih dengan seragam yang melekat dan hanya berbalut sweater untuk menutupinya, keduanya baru saja keluar dari Timezone.

"Huh, laper nggak sih Cha?" tanya Jeya sembari membenarkan kucir rambutnya.

Acha mengangguk dengan semangat, sedari tadi mereka belum menyempatkan makan karena takut tertinggal jadwal film di bioskop.

"Mau Western atau Japanese food?" kata Acha menawari.

Jeya diam sejenak sembari berfikir. "Kayanya gue lagi kepengen Japanese food deh, Cha. Ayo," ajaknya lalu menarik tangan Acha.

Keduanya masuk ke dalam restoran Jepang yang cukup ramai. Walau hari sudah sangat sore, namun keduanya enggan untuk pulang cepat ke rumah.

Setelah memesan menu, keduanya memilih duduk di meja paling ujung. Sembari mengambil potret sekitar menggunakan ponsel mereka.

"Papa lo nggak cariin kan Je?" tanya Acha setelah meletakkan ponselnnya. Mengambil kaca di dalam tas, lalu menata rambutnya yang sedikit berantakan.

Jeya ikut meletakkan ponselnya, lalu tangannya bertumpu di atas meja. "Nggak lah, Papa gue kan sibuk," jawabnya malas.

Sejujurnya selama beberapa minggu terakhir mereka berteman, Acha belum mengenal betul tentang latar belakang Jeya. Yang ia tahu dia hanyalah putri tunggal dan Ibunya sudah meninggal sejak ia masuk SMA.

"Kalau bokap lo sama Atlan nggak marah juga lo pulang telat?" kini giliran Jeya yang melempar pertanyaan. Penasaran dengan kehidupan sang pewaris keluarga Leonidas itu karena ia juga belum mengenalnya dengan baik.

"Nggak, asalkan gue udah laporan," jawabnya.

Lalu perbincangan mereka berhenti kala pelayan menghidangkan makanan yang sudah mereka pesan. Mengisi perut yang sudah keroncongan, Acha selalu berbinar ketika melihat makanan karena dia suka kulineran.

"Enak banget ya kayanya punya Abang kaya lo," celetuk Jeya tiba-tiba. "Sebagai anak tunggal yang suka kesepian. Jujur gue iri, gue juga pengen punya saudara yang bisa gue ajak main," sambungnya bercerita.

Acha menanggapinya dengan tawa kecil, lalu mengambil tisu untuk mengusap bibirnya. "Punya saudara tuh enak nggak enak pokoknya. Gue seneng punya Abang, tapi kalau dia lagi jahil pengen gue balikin ke perut Mama aja," ucapnya menahan kesal.

"Jangan sedih, lo boleh anggap gue sebagai saudara sendiri," cetus Acha sembari menepuk bahu Jeya sebanyak dua kali.

Jeya tersenyum kikuk, merasa canggung melihat Acha yang baik padanya, walaupun Jeya merasa dia sudah menghianati Acha sebagai teman.

"Denger-denger lo pacaran sama Delga ya? Selamat, gue ikut seneng dengernya."

Acha menghentikan sesi makannya, menatap Jeya dengan pipi merah menahan malu. "Udah ah Je. Jangan bahas Delga di sini, gue juga masih nggak nyangka kalau gue udah pacaran sama dia," katanya sembari menahan senyum.

Sesak, ada sesuatu yang menghimpit dada Jeya setiap kali Acha nampak bersemu ketika menceritakan Delga. Tak salah jika Acha begitu mencintai Delga, jujur dari sekian banyak lelaki yang ia temui, Jeya juga sama jatuhnya kepada leader Revicks itu.

Delga itu, definisi sempurna seorang lelaki bagi Jeya. Pertama kali Jeya tahu bahwa ada orang sebaik Delga, adalah kala lelaki itu menolong dia yang mencoba untuk bunuh diri setelah kematian Ibunya. Tak banyak yang tahu, hanya Delga yang tahu bagaimana hancurnya gadis itu.

DELGARA : LITTLE PROMISE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang