Bab 24

569 65 13
                                    

"Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?" tanya Anna begitu dokter Putu selesai melakukan visite harian. "Saya melihat kejangnya sudah lumayan berkurang."

"Iya, untungnya, Anna. Setelah menaikkan sedikit dosis anti kejang dengan harapan intensitasnya bisa turun. Tapi, kita perlu evaluasi beberapa hari lagi untuk melihat efek deferiprone terhadap hemosiderin di kepala Bu Silawarti," jelas dokter Putu. "Mudah-mudahan bisa berkurang."

"Mudah-mudahan," kata Anna. "Makasih, Dok."

"Oke, sama-sama. Nanti kalau ada apa-apa kamu bisa telepon saya langsung, Ann," titah dokter Putu sebelum meninggalkan Anna. 

Syukurlah!

Setidaknya Anna bisa sedikit bernapas lega setelah beberapa hari memfokuskan diri mengawasi perkembangan ibunya di rumah sakit. Tak henti-hentinya bermunajat kepada semesta untuk memberi secuil keajaiban kepada Silawarti agar bisa bertahan dari sakit yang menerpa. Anna mendudukkan diri di kursi ruang tunggu pasien saat surel dari agensinya masuk untuk memberikan beberapa penawaran di salah satu rumah sakit di pusat kota Melbourne. Nominal angka yang cukup fantastis dibandingkan di Sydney, sekitar 140 dolar Australia per jam dengan jangka kontrak yang sama.

Dia membalas pesan elektronik tersebut dengan sebuah penolakan halus karena tidak ingin meninggalkan Silawarti sampai kondisinya benar-benar stabil. Di sisi lain, Anna telah menerima permintaan dari neneknya Jake untuk mendampingi wanita tua itu selama tinggal di Bali. Jaminan uang yang diberikan juga lebih tinggi tanpa perlu jauh-jauh terbang ke Australia. Anna hanya perlu melakukan perawatan dasar seperti pengecekan tekanan darah atau berkonsultasi terhadap efek obat yang telah diresepkan dokter IHC. Lagi pula pasien juga tidak mengonsumsi dosis yang sama selamanya kan? Ditambah ilmu-ilmu kedaruratan pun juga tertanam sempurna dalam kepala sehingga bila ada sesuatu yang gawat terjadi, dia bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.

Akhirnya, Anna memutuskan untuk meninggalkan Silawarti selama beberapa jam ke depan sampai pekerjaan di rumah Jake selesai. Dia sudah menelepon Saras yang kebetulan jaga siang sekaligus mengirim uang bulanan sebagai imbal balik temannya mau menjaga dan merawat Silawarti. Anna melirik smartwatch di tangan kiri yang menunjukkan pukul 11.30 dan butuh waktu sekitar tiga jam untuk mencapai kediaman Jake yang ada di Sanur. Perjalanan yang bakal melelahkan menggunakan sepeda motor. 

Semalam Jake menelepon bahwa dia akan mengunjungi pameran makanan di Nusa Dua Convention Center yang digelar selama tiga hari sekalian melihat antusias pengunjung terhadap wine lokal. Tapi dia tidak mempromosikan secara langsung karena ada tim promotor. Selain itu Jake juga tidak mau identitasnya sebagai pemilik Lagom diketahui banyak orang mengingat bagaimana Aria terbakar cemburu.

"Lusa akan ada event internasional di Nusa Dua, Anna. Kamu mendampingi Nonna dan aku ..." Ada jeda sesaat di bibir Jake dan mendadak kalimat itu menggantung di udara. 

"Kamu kenapa?" tanya Anna. 

"Aku bersama Aria," jawab Jake begitu lirih nyaris tak didengar Anna. 

"Tunanganmu?" Anna menegaskan sematan Aria di punggung Jake dengan nada datar walau ada gelenyar lain muncul di hati. Tidak mungkin kan ikut-ikutan terbakar api cemburu sementara Anna hanya sebatas teman yang terjerembap dalam pesona Jake hingga berani tidur bersama lelaki itu. Namun, bayangan-bayangan bagaimana rupa Aria berhasil memikat si pemilik Lagom dengan menggelayut manja di lengannya membuat perut Anna mual. "Dia sudah datang? Kapan?" tanyanya berusaha menutup-nutupi perasaan tak enak dalam dada.

"Saat kamu menyuruhku pulang, Anna," jawab Jake menyiratkan sebuah ketakutan jika gadis itu marah karena meninggalkannya seorang diri di saat ibunya dalam kondisi kritis. "Maaf."

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang