Bab 41

538 60 17
                                    

Guyuran air sedingin es membangunkan Anna yang terlelap di kursi ruang sempit nan lembap ini. Napasnya engap-pengap saat sedikit air masuk ke lubang hidung menimbulkan refleks batuk-batuk. Belum sempat kesadarannya terkumpul, siraman air kembali membasahinya lebih kasar. 

Rasa perih akibat luka sayat di tangan juga pipi yang digoreskan para pria asing itu semalam membuat Anna berteriak kesakitan. Seolah-olah ada sesuatu dalam air itu yang membuatnya pedih setengah mati. Sementara lelaki yang menyiraminya tadi masih terbahak-bahak tanpa dosa lalu melempar begitu saja ember ke sembarang arah.

Apa itu alkohol? jerit Anna dalam hati merasakan sensasi seperti disayat-sayat sampai air matanya kembali keluar.

Tak berhenti di sana saja, sebuah tamparan keras di kepala diterima Anna seolah-olah apa yang mereka lakukan ini adalah hal biasa. Rasa pusing sekaligus nyut-nyutan langsung menjalari membuat gadis itu merintih. Bukannya terlalu lemah, tenaganya sudah terkuras habis akibat mendapatkan kekerasan tanpa henti. 

Dia menjerit manakala tangan lelaki di depannya ini menekan luka menganga Anna seperti ingin mengoyak-ngoyak lebih dalam. Suara pria itu makin membahana memenuhi ruang sempit tempat Anna disekap lalu menarik rambutnya hingga mendongak dan berkata lirih, 

"Menyenangkan mendengarmu seperti ini, Nona. Bagaimana jika kita bermain-main sedikit?" 

Anna hendak melawan tapi cengkeraman di pangkal rambutnya makin menguat. Saraf-saraf di kulit kepalanya seperti ditarik paksa hingga sakit bukan main.  

"Aku sudah lama tidak meniduri wanita," tutur si pria mengarahkan tangan kirinya menelusuri leher jenjang Anna, membelai kulit lembap gadis itu, dan meraba pembuluh nadinya yang berdenyut kencang. 

Dia terkikik paham kalau Anna sedang dilanda ketakutan, namun hal inilah yang meningkatkan hormon testosteron untuk segera menggaulinya. Manalagi pakaian basah Anna menonjolkan gundukan dada yang menggoda. Diremas area sensitif itu membuat Anna terkesiap makin memberontak. Si pria asing yang tak diketahui namanya menundukkan diri memberi jejak basah di leher Anna. "Kau manis, Anna."

Mendengar kata-kata cabul seperti itu membuat bulu roma Anna meremang. Jantungnya seakan mencuat tak rela bila tubuhnya disentuh seperti seorang pelacur. Dia menangis tapi dirinya benar-benar tak bisa menyangkal jika kaki dan tangannya terikat kuat. Dalam hati, Anna bersedia dibunuh daripada harus disiksa perlahan-lahan. Toh, baginya tidak ada yang peduli lagi dengannya. 

Termasuk Jake.

"Ck ck ck ... menyedihkan sekali." Suara pria itu terdengar di antara isak tangis Anna lalu terkekeh seraya melepaskan genggaman tangan di rambut basahnya. "Bukankah kau yang mengawali ini semua, Anna? Kudengar ... kau merebut sesuatu yang tidak seharusnya bukan? Jadi, untuk apa kau meminta belas kasihan?"

Hidung Anna kembang kempis, dia menggeleng keras mengelak tuduhan tersebut. Jika yang dibicarakan adalah Jake, tidak semestinya Aria menyekap seperti ini. Terlebih gadis itu berhasil menyingkirkan Anna melalui tuduhan berat ketika Barbara mengalami alergi obat. Apakah semua ini masih belum cukup? Apakah dia masih belum puas sampai Anna berada di ambang kematian? Bukankah Aria tahu kalau Anna sudah pergi menjauh dari Jake?  

Pria itu menarik lakban yang menutup mulut Anna disusul umpatan kasar. Tapi, si pria asing yang tidak diketahui namanya ini tak memedulikan sumpah serapah yang dilayangkan Anna, justru dia melumat bibir gadis itu penuh nafsu. Anna meronta-ronta, menghindari ciuman menjijikkan pria tersebut hingga dia menggigit bibirnya sampai berdarah. 

"Fuck!" geram si pria lalu menampar Anna menyisakan gelenyar panas di pipi. "Masih untung kau kubiarkan hidup, Anna!"

"Bunuh saja aku!" pekik Anna tanpa rasa gentar. "Kau pikir aku takut, huh! Dasar brengsek!"

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang