Bab 2

3.7K 183 17
                                    

"Buonasera, Nonna!" sapa seorang pria seraya merentangkan kedua tangan saat menyambut wanita tua mengenakan setelan mahal dan kacamata hitam klasik berhias kristal Swarosky. "Aku merindukanmu," sambungnya lantas mendekap hangat sang nenek tercinta.

(Selamat sore, Nenek!)

Walau tubuh wanita itu telah dimakan usia, penampilannya masih terlihat bugar dan gesit. Punggung tak terlalu bungkuk seperti nenek-nenek lain yang sudah menginjak angka 80 tahunan pada umumnya. Kecantikan masih kentara di wajah bulatnya, kecuali garis keriput meski sering facial treatment menggunakan emas 24 karat yang dijalani setiap bulan. Rambut keriting yang memutih tergerai sebahu dan bergoyang diterpa angin. 

"Aku juga merindukanmu, Jake. Kau makin tampan seperti ayahmu," puji wanita itu menepuk-nepuk bahu bidang pria yang dipanggil Jake. "Benar-benar turunan Luciano."

Jake tergelak dan salah tingkah setiap kali mendengar pujian berlebihan dari neneknya, Barbara. Namun, tidak dipungkiri bahwa semua orang yang bertemu atau sekadar berpapasan selalu berkata kalau Jake mirip seperti ayahnya saat muda. Postur tubuh tinggi tegap, iris mata abu-abu gelap nan tajam, rambut ikal hitam legam sekelam malam, serta rahang tegas membingkai apik wajahnya juga turut diwariskan. Mungkinkah karena anak pertama, Jake menerka kalau sebagian besar DNA Fabio Luciano mengalir di setiap pembuluh darahnya.

Entahlah. 

Jake berpaling sebentar ke arah badan pesawat Boeing 787-8 BBJ berlogo LC di bagian ekor bercat merah bata sebagai lambang keluarga besar Luciano. Tampak gagah dan menawan disembur senja manakala pesawat itu bergerak perlahan untuk diparkir di sisi utara Bandara Ngurah Rai. Kemudian, menggenggam tangan Barbara selagi bertukar cerita tentang kabar maupun hal-hal yang dilakukan selama terpisah beratus-ratus mil jauhnya. Mereka dibuntuti beberapa lelaki berpakaian formal dan berambut klimis sedang menyeret beberapa koper besar milik Barbara.

"Barangmu sangat banyak. Apa Nonna akan menghabiskan waktu di sini sampai akhir tahun?" goda Jake yang dibalas decak kesal Barbara. "Astaga, kenapa?"

"Kau tak akan percaya kalau musim panas tahun ini menyebalkan," omel Barbara ketika mobil Roll Royce Phantom hitam mengilap berhenti tepat di area penjemputan bandara. "Dan aku setuju usulanmu, mungkin aku perlu tinggal di sini sampai masalah di sana tuntas!" Garis bibirnya yang dipulas lipstik merah merenggang sebentar ke arah pria berkepala botak yang menyambut sopan.

"Biar aku saja, Pak," sela Jake menahan sopir itu membukakan pintu mobil untuk Barbara. Dalam hati dia penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada neneknya sampai-sampai menggerutu seperti itu. Apakah ini ada kaitan dengan kebun anggur yang ada di Tuscany? 

Di belakang kendaraan mewah tersebut ada Alphard putih khusus digunakan para pengawal berkendara dan penyimpanan barang-barang bawaan Barbara. Jake menyilakan sang nenek segera duduk sebelum melanjutkan cerita sampai raut wajahnya bersungut tak suka. Kemudian, Jake melambaikan tangan ke arah mobil kedua, menyuruh pria-pria tersebut segera mengistirahatkan diri selepas perjalanan panjang dari Bologna. Mengisyaratkan kepada sopir agar berangkat dulu dan mengantar mereka ke tempat penginapan keluarga di Sanur.

"Terima kasih, Tuan Luciano," ucap salah seorang pria sebelum pamit pergi. 

"Bersantailah selagi di sini," titah Jake ramah.

Mereka menunduk hormat, mengucapkan terima kasih sekali lagi selanjutnya masuk ke dalam mobil. Barulah Jake berjalan cepat mengitari mobil dan mendudukkan dirinya di samping kiri Barbara lantas bertanya, "Apa yang terjadi?"

"Turis-turis gila dari Jerman seenaknya memetik dan melahap anggur-anggurku, Jake!" sungut Barbara begitu jengkel. Wajahnya langsung memerah bak kepiting rebus tak sanggup menahan kemurkaan yang terlanjur mendidih hingga ke ubun-ubun. "Tanpa busana pula!" Dia memijit kening merasakan tekanan darahnya tiba-tiba naik setiap kali mengingat kejadian menjijikkan dan tak elegan itu. Dia bahkan tak bisa tidur nyenyak akibat ulah tangan-tangan jahil para turis tak bertanggung jawab menjamah kebun anggurnya. 

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang