Bab 38

635 68 17
                                    

"Hei, selamat pagi," sapa Anna kepada pasien perempuan paruh baya. "Aku datang untuk mengambil sample darah Anda."

Dia mendudukkan diri di kursi agar lebih leluasa dan nyaman saat pengambilan darah untuk evaluasi hasil pemberian obat-obatan. Anna mencuci tangan dengan hand sanitizer sebelum mengenakan sarung tangan lalu mengambil torniquet agar vena tampak jelas di bagian lengan kanan. Selanjutnya Anna mengambil kapas alkohol sambil berkata, 

"Bagaimana perasaan Anda hari ini?"

"Ya ... lebih baik daripada kemarin, Anna," jawab pasien itu ketika jarum menusuk pembuluh darah vena tanpa merasakan sakit. Seolah-olah dia sudah mati rasa karena terlalu lama berada di rawat inap selepas operasi pengangkatan tumor di kepala. 

"Syukurlah, kuharap hasil hari ini bagus dan Anda bisa dipindahkan ke bangsal," ujar Anna merekatkan plester putih ke bekas suntikan. 

"Thanks, Darling," kata pasien itu mengulum senyum lalu menoleh ke arah jendela di mana hujan mengguyur deras. Gerombolan awan kelabu melayang-layang di langit yang pucat seperti tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti mengguyurkan air ke kota. "Cuaca agak buruk beberapa hari ini. Aku merindukan sinar matahari membakar kulitku."

"Aku juga, tapi setidaknya sekarang orang-orang tidak perlu merasakan dehidrasi berlebihan," tandas Anna. "Aku pamit pergi dulu, Helen."

"Anna." 

Gadis itu menoleh saat berada di ambang pintu sembari membawa tabung berisi sample darah. "Ya?"

Pasien yang bernama Helen mengambil sebuah buku dari laci kemudian mengulurkannya kepada Anna. "Kemarin aku ingin memberikannya padamu, tapi kudengar kau sedang libur. Jadi, bawalah buku ini."

Anna tersenyum lebar lalu menghampiri pasiennya dan melihat sebuah buku karya Christine Arylo bersampul kuning mencolok dihias ilustrasi wanita mengenakan gaun polkadot. Di sana tertulis judul yang menarik perhatian Anna selama beberapa detik sebelum menerima. 

Choosing Me Before We.

"Sepertinya bagus," ujar Anna membuka-buka lembar buku secara acak.

"Anakku mengirimkannya kemarin dan aku menyelesaikannya selama beberapa jam. Kurasa kau perlu membacanya, Anna," tukas Helen sambil terkekeh. "Sekarang aku merasa lebih bisa memaknai hidup termasuk mencintai diri sendiri." Dia mengetuk pelipisnya yang dibalut perban. "Belajar menerima kekurangan sebelum membuka hati untuk orang lain. Menderita penyakit seperti ini kadang membuat seseorang ingin menarik diri dari dunia. Kau harus membacanya."

"Thanks! Aku akan membacanya malam ini," kata Anna antusias. 

"Anna, aku tidak tahu mengapa tapi ... apa pun yang terjadi padamu di masa sekarang, masa lalu, dan masa depan. Aku yakin kau akan kuat, Darling." Mata biru pucat Helen menatap lurus ke dalam bola mata Anna. Guratan halus di wajahnya bergerak seiring ukiran tipis di bibir tebal Helen. "Insting seorang ibu, sorry. Hanya saja, aku memerhatikanmu selama di sini, rasanya kau bekerja terlalu keras, Nak. Kuharap bekerja sepanjang waktu bukan pelampiasanmu menghindari seseorang yang berputar-putar di kepalamu."

Astaga!

Rahang Anna nyaris menyentuh lantai bagaimana Helen seakan-akan mampu membaca keresahan di balik senyum dan wajah tegar yang ditunjukkannya kepada semua orang? Apakah begitu kentara hingga orang lain menangkap gelagatnya? Apalagi memang beberapa hari ini ada orang yang berhasil menyusup ke dalam pikiran Anna melalui postingan Instagram yang dikirim Shanon. 

Anna memang sengaja tidak aktif di media sosial untuk mencari ketenteraman daripada terngiang-ngiang wajah Jake. Namun, sialnya, Shanon menunjukkan sebuah foto di mana Jake mengunggah potret Anna duduk di pantai Keramas dengan kaki ditekuk dan berdiam diri menyambut cumbuan ombak yang berbuih.

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang