Bab 1

7.4K 243 32
                                    

"Code blue!" teriak Anna mendapati pasiennya tidak sadarkan diri, menurunkan posisi kepala tempat tidur agar sejajar kemudian melakukan pijat jantung.

"Code blue 12B room 10, Code blue 12B room 10!"

Tak berapa lama suara pengumuman menggaung untuk memberitahukan tim code blue bahwa ada pasien mendadak kritis. Disusul seorang wanita berambut keriting menghampiri Anna sambil memakai sarung tangan dan mengambil ambu bag.

"Apa yang terjadi?" tanya perempuan itu berusaha tidak panik. Dia memosisikan diri di atas kepala pasien usai melepas headboard supaya lebih leluasa. Lalu menarik bantal yang menyangga kepala, dilanjut memberikan bantuan napas. Beberapa saat kemudian, lima orang datang berbarengan termasuk dokter berkacamata sebagai ketua code blue. Salah satu dari mereka menyeret troli berisi obat-obat dan alat-alat emergensi.

"Ini Jhon, 28 tahun yang beberapa hari lalu dirawat karena overdosis obat," lapor Anna kepada dokter selagi terus memijat jantung pasien. "Tadinya dia baik-baik saja karena hari ini akan direncanakan pulang."

"Jadi, tadinya dia baik-baik saja?" tanya dokter yang mengenakan tanda pengenal Erick Smith. 

Anna melenggut cepat. "Ya, Dok! Dia baik-baik saja. Tapi, saat aku datang untuk memberikan obat anti-nyeri, dia sudah tidak sadarkan diri. Dia riwayat pemakai obat narkoba melalui suntikan."

"Selang infusnya apa masih terpasang?" tanya dokter Smith.

"Sorry, tadi aku melepas infusnya karena dia akan keluar hari ini, Dokter Smith," jawab Anna merasa bersalah.

"Oke, sekarang pasang infus lagi dan berikan narcan!" perintah dokter itu kepada perawat lain berambut pendek yang bertugas sebagai tim pemberian obat.

Yang diberi mandat langsung bertindak, memasang jalur infus baru di lengan kiri. Tak lama, darah dari vena mengalir ke flash chamber lalu disambungkan ke cairan saline. "Infus terpasang," lapornya dilanjut memakaikan tensi monitor dan AED pad oleh perawat defibrilator-monitor. "Narcan masuk," tambahnya lagi.

"Oke. Berapa nadinya?" Dokter Smith tampak serius walau nada bicaranya terdengar begitu tenang.

"164 kali per menit," jawab si perawat monitor.

"Teruskan CPR. Bagaimana jalan napasnya, Anna?" tanya dokter Smith.

"Aman, Dok!" jawab perawat berambut ala Demi Moore yang menekan balon ambu bag secara beraturan.

"Pasang intubasi. Dan infusnya, tolong suntikkan epinefrin 1 miligram sekarang juga," pinta dokter Smith terus memberikan instruksi.

Di kamar sepuluh, suasana makin tegang ketika pasien belum menunjukkan perbaikan. Seolah-olah tim medis sedang tarik-menarik nyawa pasien dengan malaikat yang sedari tadi mengawasi dan menunggu tak sabar. Semua alat-alat emergensi telah terpasang, sementara Anna tanpa kenal lelah terus mengeluarkan tenaga untuk melakukan pompa jantung. Dokter Smith melihat jam di tangan kiri, menghitung sudah berapa lama obat perangsang denyut itu masuk, lantas dia berkata, 

"Oke, sudah dua menit. Persiapan DC shock 120 joule, please!"

Si perawat defibrilator-monitor mengatur alat itu sampai ke angka yang diminta sang dokter. Alat tersebut berdenging nyaring bersamaan dokter Smith mengaba-aba agar perawat di sekeliling pasien tidak menyentuh selama pemberian kejut listrik. 

"Clear!" seru dokter Smith.

"Clear!" seru para perawat menjauh beberapa langkah dari bed pasien. 

"Shocking!" seru dokter Smith berbarengan dada pasien membusung beberapa detik. "Switch!" perintahnya membuat posisi Anna dan perawat senior yang tadi memasang intubasi berpindah. 

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang