Bab 39

671 65 10
                                    

"Anna."

"Jake."

Rinai hujan seolah-olah berhenti seiring waktu membeku manakala dua manusia yang dulu direkatkan oleh satu rasa kini dipertemukan kembali. Atmosfer terasa begitu kaku saat mereka terpaku mematut pantulan diri masing-masing di dalam iris mata berselimut rindu bercampur kecewa. Di antara titik-titik air yang turun dari langit tersebut, suara mereka justru menggema keras namun terasa asing di telinga. 

Lapisan-lapisan memori yang ingin diluruhkan Anna bersama hujan enggan lenyap ketika matanya tak bisa berpaling dari penampilan pria di depannya . Dia makin melilit kuat dan terus menyiksa batin bahwa sejauh apa pun dia berusaha lupa pada akhirnya ingatan itu akan tetap ada. Tangan Anna mengetat di ganggang payung, berusaha tidak menghamburkan diri ke dalam dekapan hangat pria di sana yang dulu menjadi naungan ternyaman di antara kejamnya dunia. Dia ingin lari, tapi sialnya tungkai Anna seperti tertahan oleh serangan kenangan apalagi Jake mengulurkan sebelah tangan kepadanya. 

Sisa-sisa kesadaran Anna yang tak ikut terhipnotis tatapan suram Jake memaksa untuk segera pergi berbarengan suara klakson berbunyi tak sabar. Dia berbalik, berjalan cepat meninggalkan jejak di antara kubangan air di belakangnya. Anna enggan menoleh walau hatinya menjerit untuk melihat sekali lagi lelaki itu. Melihat bagaimana buruk penampilannya sekarang.

"Anna!" panggil Jake mengejar langkah kaki Anna begitu mudah. Lantas menarik lengan berbalut jaket puffer abu-abu dan mengisi sela jemari gadisnya yang dingin. "Aku ingin bicara padamu."

Hangat. 

Anna merasakan gelenyar menenangkan saat bersentuhan dengan kulit tangan Jake. Jemari kekarnya yang kuat, kasar, dan dominan itu menggenggam penuh kelembutan jari-jari Anna yang kurus. Rasanya pas dan nyaman. Seolah-olah jari-jari Jake memang diciptakan pas untuk Anna. Bahkan terbersit pikiran apakah Tuhan sengaja membentuk pria berbadan tinggi nan atletis seperti Jake hanya untuk dirinya seorang? 

Sialnya, bayangan malam mencekam di UGD saat Barbara meregang nyawa tiba-tiba datang tanpa permisi. Anna langsung menarik paksa jemarinya dan bergerak mundur menyorot Jake dari atas ke bawah. Refleks tubuhnya menggigil mendapati aura Jake kala itu masih belum hilang walau kejadian tersebut sudah berlalu agak lama. Dia menyentuh lehernya sendiri, jejak-jejak cengkaman tangan Jake masih bisa dirasakan Anna meskipun iris abu-abu gelapnya sekelam mendung di atas mereka menandakan ada sebuah penyesalan dalam. 

"Aku minta maaf," lirih Jake begitu bersalah saat tangannya ingin menyentuh bahu Anna. Dia ingin menunjukkan kalau dirinya tidak akan menyakiti gadis itu. Dia ingin menjadi pelindung bagi kekasihnya, pujaan hatinya, belahan jiwanya. Namun, hati Jake serasa disayat-sayat mengetahui tidak ada tatapan penuh cinta dari dalam bola mata Anna yang dulu digilainya. 

Bibir Anna sedikit terbuka namun tidak ada kata-kata yang meluncur seakan-akan seluruh kata-kata dalam kepalanya menguap tanpa bekas. Dari sudut pandangnya, dia bisa mengamati Jake begitu menyedihkan. Sinar matanya suram, guratan di kening Jake tergambar jelas seperti banyak hal yang mengganggu pikiran, garis bibirnya melengkung ke bawah, sementara rahangnya ditumbuhi bewok dan rambut keritingnya yang agak basah ikut memanjang menyentuh kerah mantelnya. 

"Aku minta maaf telah melukaimu, Anna," tutur Jake lagi mencoba menepis jarak yang tercipta. 

Otomatis kaki Anna mundur seperti menolak halus kedekatan lelaki itu bagai membangun benteng-benteng abstrak yang tidak dapat disentuh Jake. Gelombang kecemasan menyentak kuat seolah-olah Jake layak dijauhi bukan untuk dicintai seperti dulu.

Tuhan, aku ingin pergi!

Jeritan dalam diri Anna tercekat di kerongkongan dan terus berputar-putar dalam dada sebelum mengendap menjadi karang. Dia memalingkan wajah menghindari iris abu-abu Jake yang terus menatap tanpa jeda. Tak banyak orang lalu lalang maupun bertahan dari derasnya hujan dan dinginnya udara menusuk tulang. Mereka juga tak peduli bahwa ada dua manusia tengah berseteru tuk menjalin takdir yang terputus di tengah jalan. Mereka tak peduli kalau sang pria tengah memelas kepada wanitanya agar kembali ke dalam dekapan, meski ucapan cinta pun diyakini tak bakal cukup untuk membuatnya pulang. 

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang