Bab 6

2.3K 162 17
                                    

Keluar dari supermarket sembari menenteng plastik berisi belanjaan, Anna meneguk sebotol mineral dingin sekadar melepas dahaga dari kecanggungan yang tadi membekapnya selama bersama Jake. Bukan wine yang mampu membebaskan ketegangan yang mengalir di pembuluh darahnya, melainkan sebuah jarak. Meski percakapannya bersama pria blasteran Italia itu berjalan seru, tetap saja Anna merasa perbedaan status sosial terlalu kentara. Dia menarik napas sebanyak mungkin, menghapus bayang-bayang lelaki itu dalam kepala sekaligus menetralkan kembali debaran dalam dada. 

Jake adalah pria elegan di mata Anna dan harus diakui apa yang dikatakan Shanon adalah benar. Sialan benar sampai dia tidak bisa mengelak pesona si juragan anggur. Dia seribu persen yakin tidak ada perempuan yang tidak terpikat, meskipun di media sosial Jake hanya memperlihatkan punggung bidang dan pantat padat. Cara Jake memperlakukan perempuan dan nada bicaranya yang begitu antusias terhadap apa pun mulai membuka dinding-dinding pertahanan Anna. Apalagi dia bersedia mengantar Anna dari Buleleng ke rumahnya di daerah Ungasan tanpa kenal lelah menyetir ke sana ke mari.

Dia bergidik ngeri. Membuyarkan imajinasi liar yang menggerayangi kepala akibat tertular perkataan Shanon. 

"Bisa kau bayangkan jemarimu terbenam di rambut ikalnya ketika tubuh kalian bersatu, Annie. Saat dia menyerukan namamu dengan suara seksinya. Kuyakin puluhan klimaks hebat bakal kau dapatkan."

Anna meneguk kembali mineral tersebut sampai ke titik terakhir merasakan gejolak aneh berputar-putar dalam perut. Gelombang yang menyalurkan jutaan volt listrik menimbulkan sensasi melemahkan tulang belakang. Tungkainya nyaris melunglai sampai-sampai harus bersandar pada tiang penyangga supermarket. Sialan! rutuk gadis itu bersumpah dalam hati tidak akan memedulikan ucapan Shanon lagi. 

Di sisi lain, Anna bergumam bahwa kebaikan Jake dinilai berlebihan termasuk barang-barang dalam plastik berlogo biru ini. Entah harus senang atau tidak, Anna terlalu sungkan menerima beberapa lembar uang ratusan ribu seolah-olah aksi heroik hari ini pantas diberi penghargaan lagi dan lagi. Tentu saja mulanya Anna menolak tegas karena menolong nenek Jake hanyalah kebetulan. Namun, anggapan itu ditepis Jake melalui kalimat-kalimat manis bagai rayuan tersembunyi. 

"Kamu benar-benar penyelamat, Anna," puji Jake.

"Aku hanya melakukan hal semestinya, Jake. Nggak usah berlebihan," kata Anna terpaksa menerima pemberian si pemilik Lagom. "Aku sungkan."

"Sungguh-sungguh mengharapkan," canda Jake sambil tertawa. "Ayolah, aku serius ingin memberimu hadiah--"

"Hadiah yang bakal diberikan oleh nenekmu jika baikan," sela Anna mulai hafal template kalimat Jake.

Bukan hanya itu saja, Jake juga meminta pegawainya mengantarkan motor Anna langsung ke alamat rumahnya dengan alasan hari sudah gelap dan jalanan menuju perkebunan agak sepi. Kalau seperti ini, haruskah Anna menarik semua ucapannya pada Shanon kalau tidak tertarik pada pria? Haruskah dia ikut temannya untuk memasukkan nama Jake dalam daftar pria seksi juga green flag?

"Ya udahlah ya, namanya juga rejeki anak baik," kata Anna. "Lumayan bisa beli pampers, sabun, sama bedak buat ibu di rumah sakit."

Anna melangkahkan kaki, berpikir sudah berapa lama ibunya koma setelah menjalani operasi akibat adanya pembuluh darah di otak pecah. Dua bulan? Anna menggeleng tak yakin. Sepertinya sudah lebih dari 60 hari Silawarti berada di atas tempat tidur ditunjang alat-alat penopang kehidupan. Namun, Anna tidak ingin menyerah dan bertekad mencari uang sampai ke ujung dunia demi kesembuhan belahan jiwanya itu. Walau harus menyewa jasa orang sekadar menjaga sang ibu selama dirinya pergi bekerja. Beruntung teman sejawat Anna, Saras, yang bekerja di rumah sakit di mana Silawarti dirawat mau menyempatkan waktu untuk membantu.

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang