Bab 40

684 59 16
                                    

"Anna!" teriak Jake begitu mendapati pintu apartemen kekasihnya terbuka menyisakan lubang bekas tendangan. Dia masuk begitu saja dan tanpa sadar menjatuhkan bungkus makanan ke lantai akibat diserang kepanikan. Setiap sudut kediaman Anna tidak menunjukkan di mana gadis itu berada. Justru dia menemukan ponsel Anna tergeletak begitu saja di atas meja ruang tamu di mana semua pesannya belum dibaca. 

Dia keluar dari apartemen 367 tersebut seraya menghubungi petugas keamanan melalui nomor darurat. Kakinya bergerak cepat masuk ke dalam lift lantas menekan tombol G untuk mengecek siapa terakhir kali yang mengunjungi Anna. Pasti sistem di sini merekam semua orang-orang yang keluar-masuk gedung. 

"Ya, ini Jake Luciano," ujar Jake memulai laporannya saat suara seorang pria terdengar. "Sorry, aku mau melaporkan kekasihku atas nama Anna Asmita di apartemen Paradise kamar 367 sekitar dua puluh menit lalu."

"Apakah Anda telah mengecek ponsel atau ke mana dia terakhir kali berpamitan?"

"Ponselnya tertinggal tapi ada kerusakan di pintu apartemennya. Dan itu tak wajar, Sir. Kondisinya juga tak terkunci," ujar Jake cemas. "Tolong, bisakah Anda ke sini? Lokasinya tidak jauh dari Mater Hospital."

"Baik, kami akan segera ke sana sementara Anda bisa menanyakan orang-orang di sekitar siapa tahu dia hanya pergi."

"Tidak!" sembur Jake frustrasi. "Astaga, Tuhan, jika dia pergi kenapa pintunya terbuka? Kenapa ada bekas tendangan di pintu seolah-olah dia tidak ada pekerjaan lain untuk menghancurkan barang? Jadi, tolonglah ke sini!"

Jake mematikan sambungan telepon tersebut dengan pikiran bercabang lantas bergegas menemui seorang pria paruh baya yang berdiri seperti penjaga di pintu masuk. Bagai dikejar waktu, Jake berharap bisa secepatnya menemukan kejelasan ke mana Anna pergi. Jantungnya seperti diremas-remas tak mampu membayangkan hal-hal buruk terjadi dengan kekasihnya itu. Bahkan di saat dia belum menerima pengampunan dari Anna. 

Pria berpakaian rapi tersebut menoleh kemudian menyambut Jake dengan senyum samar dan bertanya, "Selamat sore, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

"Bisakah aku melihat kamera pengawas di lantai delapan gedung ini? Kekasihku tinggal di kamar 367 tapi pintunya terbuka dan ada bekas tendangan di sana. Aku sudah mencarinya ke mana-mana tapi tidak ada," lapor Jake gelisah. 

Pria itu mengerutkan alis. "Apakah Anda sudah memeriksa ruangan lain? Ponsel? Atau mungkin dia keluar untuk mencari sesuatu?"

Jake menggeleng putus asa. "Dia masih di sana, setidaknya begitu menurut instingku. Dia hanya meninggalkan ponsel di atas meja." Dia mengeluarkan gawai milik Anna dari dalam saku mantelnya. 

"Mari ikut saya, Tuan," ajak pria tersebut meminta Jake mengikutinya ke lorong yang ada di sudut lobi di mana ruang pengawas berada. 

Sementara itu, Jake menelepon Shanon untuk mencari petunjuk lain barangkali Anna sempat berbicara bersama temannya itu. Dia melirik jam di tangan kiri yang menunjukkan pukul 6.30 sore, sesekali mendecak akibat dilanda ketidakpastian di mana posisi gadis itu sekarang. Apalagi di luar masih hujan walau tidak seberapa lebat dibanding tadi. 

Sungguh Jake tidak bisa tenang manakala pikiran buruk makin memenuhi benaknya. Bagaimana jika dia diculik seseorang? Bagaimana jika orang lain menyusup ke apartemennya dan memberi racun? Mengingat di jaman sekarang, manusia yang kehilangan akal akibat terbakar emosi bisa melakukan sesuatu yang lebih gila dibanding predator dilanda kelaparan. 

"Hei, Shanon," kata Jake begitu tersambung telepon teman Anna. "Apa kau menelepon Anna sekitar setengah jam atau satu jam lalu?"

"Ya, kenapa?" jawab Shanon.

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang