Bab 8

1.9K 125 10
                                    

"Nonna!" seru Jake keluar dari kamar mandi ruang perawatan VVIP neneknya dan mendapati wanita renta itu berusaha menyandarkan diri di kepala kasur. "Kau seharusnya memanggilku, Nonna." Dia membantu Barbara bersandar dengan menumpuk beberapa bantal agar terasa nyaman.

"Aku bukan wanita renta yang harus diperlakukan seperti orang sakit, Jake," protes Barbara. "Lagi pula sudah dua hari aku di sini dan rasanya tubuhku makin sakit semua." Dia mengalihkan pandangan ke arah selang infus yang masih setia terpasang di tangan kiri. 

"Apalagi aku tidak bisa pergi ke mana-mana. Di sini membosankan," sambung Barbara melengkungkan bibirnya masam. "Bisakah kau membawaku kabur?" bisiknya seraya memicingkan mata penuh arti.

Jake tergelak mendengar keluhan dari mulut neneknya yang benar-benar tidak pernah bisa betah pada satu tempat. Dia melenggut dan mendudukkan diri di kursi empuk. "Aku tahu kau wanita penuh energik sampai tidak sadar bahwa usiamu tak lagi muda, Nonna. Bersabarlah sampai dokter menyilakanmu pulang, setelah itu kita bisa jalan-jalan meneruskan rencana kita."

Barbara mengangkat kedua bahunya tak yakin apakah dokter akan mengatakan yang dikatakan Jake. Dia menghela napas panjang menyadari kalau umur manusia selalu punya batas waktu di dunia. Hanya saja Tuhan memberi banyak bonus padanya agar bisa menikmati keindahan dunia sebelum berganti alam baka. Dia menoleh lalu memegang tangan hangat Jake kemudian menepuk-nepuknya dan berkata, "Kalau aku tidak ditolong waktu itu, mungkin saat ini aku sudah berbaring di samping kakekmu dan reuni di makam sambil minum teh."

"Nonna ..." Jake menepis kalimat Barbara yang sengaja dibuat lelucon. Manalagi neneknya terlihat begitu santai melontarkan kata-kata horor tersebut. "Jangan bicara seperti itu, Nonna. Kau harus berumur panjang sesuai janjimu padaku dulu. Tuhan telah melindungimu."

"Aku tahu. Dan ... siapa yang menolongku waktu itu?" tanya Barbara mengernyitkan alis berusaha mengingat-ingat siapa yang berhasil mempertahankan nyawanya di saat-saat genting.

"Dia perawat yang kebetulan sedang cuti kerja," jawab Jake.

"Namanya, Jake. Aku butuh namanya untuk membalas kebaikan malaikat itu," ketus Barbara sedikit kesal. "Saat aku setengah sadar, aku tidak bisa melihat begitu jelas apa yang terjadi. Hanya bayangan dan suara orang-orang yang menanyai namaku."

"Yang menolongmu pertama kali adalah Anna Asmita, selanjutnya beberapa petugas palang merah datang membantu Anna dan melakukan tindakan yang diarahkan gadis itu," terang Jake tak ingin melihat kejadian mengerikan kemarin menimpa neneknya lagi. "Dia sangat pintar dan cekatan."

"Menarik," tandas Barbara penasaran dengan si pemilik nama Anna Asmita. "Bisakah kau memanggilnya untuk datang ke mari? Aku ingin berkenalan langsung dengannya atau undang dia untuk makan malam."

"Aku tahu, tapi tidak sekarang. Kau harus banyak beristirahat, Nonna ..."

"Istirahatku sudah terlalu banyak, orang tua sepertiku tidak butuh berbaring lama-lama seperti mayat, Jake." Barbara tersenyum penuh semangat bagai orang yang tidak pernah merasakan sakit. "Apa kau sudah mengabarimu orang tuamu?"

Jake mengangguk cepat. "Mereka bilang, kau harus segera pulang. Perjalanan jauh benar-benar tidak bagus untuk kesehatanmu. Seharusnya kau tetap membawa dokter Russo selama di sini."

"Kurasa itu bukan ide menarik. Di sana tekanan darahku bisa melonjak karena omelannya yang menyuruhku untuk tidak marah-marah kepada turis sialan itu," cibir Barbara mengibaskan tangan agar cucunya tidak menyangkut nama dokter pribadi mereka. Dia tahu, dokter Dante El Russo begitu cerewet sebagai bentuk perhatian. Tapi, jikalau lama-lama mendapat larangan demi larangan, tentu saja hal tersebut membosankan bagi Barbara.

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang