Bab 42

584 61 17
                                    

Sudah berapa hari?

Dia tak ingat apakah matahari telah menerangi bumi atau justru rembulan yang mengganti. Dia juga tak ingat apakah di luar masih hujan seperti terakhir kali dirinya berada di tengah-tengah ingar bingar manusia. Waktu rasa-rasanya berjalan begitu lamat  sementara dirinya masih berkubang di tempat yang mengurungnya dari dunia luar. Udara di sekeliling begitu pengap dan terasa pekat saat masuk ke dalam paru-paru. Dia tersenyum getir, meringis menahan nyeri di dada. Mungkin efek tendangan pria bajingan itulah yang menyebabkan trauma, pikirnya. 

Asam lambung merangkak naik ke kerongkongan menciptakan sensasi panas, pahit, dan asam di mulut. Ah, dia juga tak ingat kapan terakhir kali makan enak, manakala mereka--si penculik--memberi makan hanya ketika mereka teringat bahwa Anna di sini. Bahkan memberinya seteguk minum pun tidak sampai bibirnya sekering padang pasir. 

Di sisi lain, penyiksaan yang diterima Anna pun tak berhenti malah menjadi-jadi. Entah sudah berapa banyak luka sayat yang mereka ukir di lengan maupun kakinya. Entah sudah berapa kali mereka menumpahkan cairan alkohol yang terasa begitu pedih sampai ke tulang dengan alasan bahwa tak ingin Anna mengalami infeksi. 

Persetan! rutuknya dalam hati.

Dia tahu bukan itu maksud mereka menuangkan alkohol begitu saja, melainkan menganiaya dengan cara lain seraya menikmati jeritan memilukan. Anna yakin mereka adalah psikopat yang tak berempati, terbahak-bahak di atas penderitaan orang lain dan malah bersemangat saat Anna memohon menghentikan aksinya. 

"Aku suka mendengarmu seperti itu, Anna," ujar si pria yang dia tahu sebagai Chloe. Pria bersuara bass yang sedari awal ingin memperkosanya. "Bagaimana jika kita setubuhi dia sampai tewas?"

"Kau gila," sahut temannya yang Anna tahu sebagai Jarred. 

"Bunuh aku!" pekik Anna frustrasi. "Bunuh aku bangsat! Daripada kau menindasku seperti ini."

"Ups!" Jarred terkekeh lalu mendekati Anna sembari menyemburkan kepulan asap rokok hingga gadis itu terbatuk-batuk. "Belum saatnya, Anna. Atau ... kuberi pilihan. Kau ingin menenggak racun tikus yang kami sediakan atau kau masuk ke mesin penggiling?"

"Salahku apa? Aku tidak--" 

"Sst ... kami tidak menerima pengakuan dosamu, Manis," sela Jarred menempelkan telunjuk kirinya ke bibir Anna. "Aku sudah bosan mendengar mereka memelas seolah-olah hidup di sini enak. Bukankah begitu?"

"Lepaskan aku," pinta Anna.

"Untuk apa?" Jarred mendekatkan bibirnya ke bibir Anna mengembuskan napas bau tembakau yang membuat perut gadis itu diaduk-aduk. "Aku belum selesai melukai tubuhmu."

Jikalau mereka bermaksud menjadikannya cacat permanen, mengapa tidak mendorongnya ke jurang? Kenapa harus seperti ini? Apakah Aria belum juga puas melihatnya menjerit kesakitan?

Anna menjelma bak orang buta akibat berhari-hari mereka tak melepas kain yang menutupi matanya. Mau berteriak pun tak ada guna karena mereka bilang lokasinya jauh dari kehidupan manusia. Mereka hanya menunggu waktu yang tepat sebelum benar-benar menghabisi Anna sembari bermain-main melecehkannya. 

Memang benar seluruh indranya jadi sensitif, terutama jemari Anna yang berusaha melepas ikatan kuat tali yang membebat pergelangan tangan. Meskipun kemungkinan tali tersebut berhasil diurai sangat kecil, Anna tak henti-hentinya mencoba sembari bermunajat kepada Tuhan agar bisa kabur dari sini. Setidaknya dia punya sisa-sisa tenaga untuk mencari bala bantuan atau menggunakan kendaraan yang mereka pakai untuk membawanya ke tempat ini. 

Ayo, Anna ... 

###

Hingga hari kelima Anna menghilang tanpa jejak, Jake hidup bagai manusia tanpa jiwa. Seluruh dunia yang berotasi di sekitarnya tak lebih penting daripada kehadiran Anna dan senyum yang dirindukan sekian lama. Kini, hanya duduk berteman sepi di balkon mengabaikan hujan maupun gerimis yang menerjang, Jake memutar ulang seluruh memori bersama sang pujaan.

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang