Bab 4

1.9K 159 5
                                    

"Nonna!" seru Jake panik lalu meraba karotis Barbara. Seketika pupil matanya melebar merasakan tidak ada denyut di sana. "Nonna! Bangunlah!"

Merasa nuraninya terpanggil, Anna berlari menghampiri si pria eksotis meninggalkan rombongannya sendiri. Dia berlutut sembari berkata, "Hei, I'm nurse Anna. I can help!"

"Tolong, please," kata Jake cemas tidak ingin terjadi apa-apa pada Barbara. "Tolong Nonna-ku. Tadi dia nggak apa-apa loh!"

Anna tercengang beberapa saat mengetahui pria yang dikira sebagai orang asing ternyata fasih berbahasa Indonesia. Sungguh berbeda dengan aksen kebaratan yang tadi dia dengar. Dari sini dia baru bisa melihat jelas bagaimana bentuk rupa wajah yang membingkai pria asing ini. Apakah suara tadi yang menyarankan tes Brix itu suaranya? pikir Anna meragu. Ah! Dia menepis pertanyaan tak penting tersebut dan menyingkirkan kekaguman terhadap pria tampa di depannya. 

Tangan Anna bahu Barbara untuk mengecek respons ketika mendapati seseorang pingsan. Dia memanggil nonna seperti yang diteriakkan pria di depannya tapi tidak ada tanggapan. Anna menunduk tuk memeriksa apakah wanita tua tersebut masih bernapas atau tidak. Tidak ada napas, tidak ada nadi. Bola matanya melotot kemudian mendongak ke arah si pria berkacamata lantas berseru, "Telepon 112!"

Jake melenggut, mengeluarkan ponsel dan menelepon nomor darurat tersebut. Dia melirik Anna yang membuka kancing kemeja polkadot dan melonggarkan kaitan rok yang dikenakan Barbara. Sementara yang lain membelakangi sembari memberi privasi. Anna memosisikan diri untuk memijat jantung sembari mendengarkan suara berat Jake meminta bantuan ambulans dan menjelaskan detail alamat. 

"Bilang ke mereka buat bawa AED," sela Anna. "Kayaknya serangan jantung ini."

Wajah Jake makin pucat atas dugaan yang dilontarkan Anna. Dia meminta kepada si penerima telepon agar membawa alat kejut jantung tersebut kemudian memutuskan sambungan komunikasi. "Mereka akan datang dalam waktu lima menit," ujar Jake. "Apa yang bisa kubantu?"

"Bisa CPR, Pak?" tanya Anna. "Aku bawa alat medisku di tas, nanti kita bisa bergantian. Kalau nggak--"

"Aku bisa," sela Jake memosisikan dirinya berhadapan dengan Anna ketika gadis itu berteriak, 

"Switch!"

Anna membuka tas selempang rotannya dan mengambil pocket ambu bag yang selalu dibawa ke mana-mana sekadar berjaga-jaga bila ada orang pingsan mendadak dan membutuhkan pertolongan. Tangannya begitu tangkas membongkar dan menyambungkan ambu bag itu selanjutnya memasang bagian masker menutupi hidung dan mulut Barbara lantas menekan balon secara pelan.

"Apak nenek ini punya riwayat jantung?" tanya Anna berusaha setenang mungkin.

"Nggak. Seingatku nggak punya." Jake terus memompa dada Barbara. 

"Apa beberapa hari ini nenek ada keluhan di dada yang menyebar sampai ke punggung? Nyeri dada? Berkeringat atau ngos-ngosan saat berjalan?" tanya Anna memastikan bahwa pasiennya pingsan bukan karena serangan akut. Sering kali dia mendapatkan orang mendadak tergeletak dan setelah ditelusuri lebih dalam ternyata gangguan pada jantung sejak lama.

"Aku nggak yakin. Tapi, beberapa hari ini Nonna mengaku sering kelelahan."

Sebelum Anna menanggapi, sirene ambulans terdengar memekakkan telinga dan menggaung keras seperti secercah harapan yang muncul di jurang keputusasaan. Sudut bibir Anna tertarik ke atas penuh kelegaan ketika tiga orang petugas medis berseragam merah dengan logo palang merah datang membawa brankar dan mendatangi pasien mereka. 

"Sudah berapa lama?" tanya salah seorang petugas langsung menggantikan posisi Jake.

"Sekitar lima sampai sepuluh menit," jawab Anna. "Keluarga pasien bilang nggak ada riwayat jantung, tapi sering kelelahan. Aku menebak mungkin ada kaitannya dengan serangan jantung atau bisa jadi hipoglikemia. Kalian bawa AED portable?"

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang