"Halo, Ibu," sapa Anna ketika jam besuk tiba. Diraih punggung tangan Silawarti yang terasa hangat lalu menciumnya penuh kasih sayang.
Melalui Saras, Anna mendapatkan informasi jika kondisi sang ibu dari sisi kejadian kejang sudah jauh berkurang walau beberapa kali masih terjadi. Namun, masalah lain muncul di mana jumlah leukosit dalam darah Silawarti melonjak drastis disertai demam tinggi sampai empat puluh derajat. Dan ketika ditelusuri lebih jauh, kemungkinan besar karena infeksi paru akibat terlalu lama menjalani rawat inap meskipun di tempat steril seperti ICU sekalipun. Pantas saja ketika Anna datang, ada botol kaca kecil berisi infus paracetamol disambung infus antibiotik.
Saras bercerita kalau sejak semalam suhu tubuh Silawarti naik-turun, sehingga beberapa kali dia harus memberi ekstra penurun demam ditambah kompres air di sekujur tubuh tak berdaya itu. Tentu saja hal tersebut menyayat perasaan Anna sampai ke dalam sanubarinya. Mau menangis pun sudah tak bisa manakala hidup ibunya kini hanya bergantung pada obat dan kabel-kabel dari monitor yang berusaha mempertahankan nyawa.
"Bu ... Anna kangen sama Ibu," lirih gadis itu menatap wajah ibunya yang terpejam seakan-akan betah dibuai mimpi kendati ada intubasi di mulut. Seenaknya itukah dunia lain yang dijelajahi Silawarti sampai enggan terbangun lagi? batin Anna sedih. Bibirnya bergetar menahan manakala bola matanya mulai berkaca-kaca. "Kangen suara Ibu, kangen masakan Ibu, kangen dipeluk Ibu."
Ada rasa yang begitu pekat memenuhi dada Anna kala tak ada jawaban yang keluar dari bibir ibunya. Lantas jemari Anna terulur membelai pipi Silawarti kemudian menyandarkan kepala di pinggiran kasur ketika tanpa sadar bulir kristal bening sukses meluncur dari pelupuk mata. Selain kondisi Silawarti yang makin mengkhawatirkan, Anna juga mendapat telepon dari Made, kakak tertua ibunya. Bukan menanyakan kabar Silawarti atau kabar Anna, justru Me Nik-nya meminta sejumlah uang untuk kebutuhan nenek Anna yang juga terbujur sakit di salah satu rumah sakit umum.
Kalau mereka sejak awal mau menerima dan membantu Silawarti, Anna akan mengirim uang cuma-cuma sebagai tanda jasa. Namun, mereka terlanjur menorehkan sebuah luka yang teramat dalam hingga tidak akan bisa sembuh walau butuh waktu. Terlalu pedih untuk didengar. Terlalu lelah untuk ditanggapi.
"Tiang sing ngelah pis, Anna. Dadong juga butuh uang untuk berobat ndak cuma ibumu," ujar Made terdengar sedikit memaksa. "Pampers, sabun, obat, makan. Uang pensiun Dadong ndak cukup. Kamu kirimlah lima atau sepuluh juta, masa iya sama keluarga sendiri perhitungan?"
(Aku nggak ada uang)
(Dadong = nenek)
"Sepuluh juta buat apa, Me Nik? Itu terlalu banyak, lagi pula kan Dadong juga ada asuransi," elak Anna tanpa bermaksud menyinggung jika uang itu kemungkinan digunakan hal-hal lain.
"Asuransi lama-lama juga habis! Kamu dimintai tolong pelit amat sih! Masih untung tiang telepon kamu karena kita masih keluarga, Anna!" seru Made jengah bukan main karena keponakannya berbelit-belit.
"Loh kok nyalahin Anna?"
"Dasar anak haram ndak tahu diuntung!" hardik Made kesal. "Syukurin tuh Silawarti di rumah sakit, biar uangmu sekalian habis buat ngobatin orang yang udah jadi mayat!" hinanya lalu menutup sambungan telepon.
"Bu, kenapa Anna selalu dihina seperti itu?" gumam Anna pilu. "Emang salah ya kalau Ibu melahirkan Anna?"
Tak berapa notifikasi pesan dari Jake masuk yang mengingatkan Anna untuk mengambil obat Barbara sesuai resep yang diberikan oleh dokter di IHC. Lelaki itu juga memberi satu tanda hati di akhir pesan, menimbulkan tarikan tipis di bibir Anna. Setiap kata yang diukir lelaki itu seolah-olah menjadi pelipur lara.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Billion Desires (END)
Romance(Old Money Series) *** Berawal dari insiden kecil yang menimpa Barbara, Anna Asmita diundang makan malam oleh Jake Batara Luciano sebagai ucapan terima kasih. Sayang, ketika pulang Anna dibuntuti Milo Durran--mantan kekasih--yang menuduhnya telah me...