Bab 20 🔞

2.5K 92 18
                                    

Anna menuang wine berwarna merah gelap ke dalam gelas tulip ketika mendengar Jake memetik gitar sambil bergumam seolah-olah nyanyiannya hanya untuk didengar sendiri. Dia mengepalkan tangan beberapa saat seraya menarik napas sekuat tenaga merasakan desakan akibat sentuhan juga rayuan-rayuan Jake makin tajam. Apalagi lelaki itu nyaris menciumnya, nyaris menghentikan detak jantung Anna, dan nyaris melelehkan seluruh tulang Anna dalam hitungan detik.

Kalau seperti ini, bukankah Jake sudah mengendalikan diri Anna sepenuhnya? Sekelebat pemikiran liar mendadak memenuhi kepala Anna, memunculkan gelombang kuat kemudian menghantam dada dan merambat ke pipi. Desiran dalam darahnya makin deras sementara perutnya ikut menegang tentang apa yang akan terjadi nanti. Gelenyar panas berkumpul di sana tapi efeknya sampai ke tulang belakang Anna dan makin mengaduk-aduk perut seolah-olah memikirkan Jake seperti ini bisa melumpuhkan saraf.

Bisakah dia mengelak godaan Jake lebih lama? Bisakah dia tetap memendam perasaannya jikalau pria itu terus-menerus menyodorkan pertanyaan yang sama? Bisakah?

Tangannya meremas kaki gelas saat hatinya makin gelisah. Menurutnya melawan pesona Jake sungguhlah sulit meski lidah begitu mudah meluncurkan jutaan penolakan. Di sisi lain, semesta sepertinya sedang memberi dukungan penuh. Lihat saja sekarang, dua manusia dewasa berduaan di atas kapal dalam gelap pekat langit berhias gemintang dan binar rembulan menyorot terang. Hanya suara riak-riak laut mengisi keheningan selain petikan gitar Jake.

Dan degup jantungku sendiri, batin Anna.

Fokus iris cokelat Anna mendadak tertuju ke arah jemari Jake, membayangkan bagaimana jika jemari-jemari itu menelusuri lekuk tubuhnya penuh damba? Bagaimana jika dirinya berada di bawah kungkungan tubuh besar Jake yang diselingi kecupan-kecupan berujung pagutan liar dan penuh tuntutan? Bagaimana sorot abu-abu memesona tersebut menguasai dirinya hingga hanya bisikan-bisikan Jake yang mampu menggerakkan diri Anna.

"Bersamaku sampai pagi, Anna."

"Karena di Bali ada kamu."

Shanon apa aku bakal tahan sementara kami berada di tempat di mana orang-orang disibukkan dunia mereka, batin Anna.

"Anna?" panggil Jake membuyarkan lamunan erotis Anna. Dia melambaikan tangan menyiratkan agar gadis itu segera membawa minumannya.

Shit! rutuk Anna dengan mata membola.

Yang dipanggil berdeham sebentar untuk menormalkan kembali degup dalam dadanya yang bertalu-talu seolah-olah menabuh genderang. Sekali lagi, Anna menarik napas, meraih puing-puing kesadaran juga menegakkan kembali pendiriannya bahwa Jake telah memiliki pasangan dan tidak mungkin baginya hadir di tengah-tengah. Dia melenggut, membawa dua gelas tersebut dan berjalan menghampiri Jake yang duduk di sofa di bagian luar kabin kapal.

Semilir angin laut yang terasa dingin menyapa kulit Anna walau sudah ada mesin pengatur suhu ruangan. Rambut pendeknya berkibar tertiup angin saat mendudukkan diri di samping Jake setelah meletakkan gelas tulip itu. Dalam hati, Anna tidak yakin apakah wine bisa menjadi teman terbaik bilamana terlalu banyak meneguknya mampu memunculkan sesuatu di luar kendali.

"Sudah berapa lama bisa main gitar?" tanya Anna basa-basi karena mendadak otaknya mengalami kebuntuan mencari bahan obrolan.

"Mungkin ... sekitar dua puluh tahunan yang lalu saat menggilai musik-musik Nickelback, The Fray, Saybia, Lifehouse," ucap Jake menyebutkan musisi-musisi terkenal di awal-awal tahun 2000-an. "Elliott Yamin, The Creed atau Matchbox Twenty."

"Aku juga suka mereka. The Fray yang paling aku suka sih. Apalagi sewaktu The Fray mengisi soundtrack series Vampire Diaries. Rasanya aku dibuat kehilangan ketika adegan Stefan Salvatore tewas demi menyelamatkan kakak dan mantan kekasihnya," terang Anna menggebu-gebu ternyata ada orang yang memiliki satu kesamaan selera musik. "Kamu bisa memainkan The Fray yang ... Never Say Never?"

A Billion Desires (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang