Tiga Puluh Satu

554 58 2
                                    

Happy Reading and Enjoy Guys...!

❤️❤️❤️❤️

****

Hujan dengan derasnya mengguyur kota hujan saat ini. Setelah dari dukun beranak itu mereka memutuskan untuk berkemas dan kembali ke ibukota.

Di dalam mobil benar-benar hening. Darren dan Cheara yang biasanya cekcok pun bergeming. Mereka mengacuhkan Zean dan Caca. Terutama Aureta, ia marah dan kesal sekali. Mereka sudah jauh-jauh ke sini menemani tetapi hasilnya tidak ada.

Aureta yang memilih duduk di kursi paling belakang, bersender di pundak Azella. Rattam yang di sebelahnya pura-pura tidak tahu dan memejamkan matanya tidur.

Sementara itu, Azella menenangkan Aureta yang menangis dalam diamnya. Langit dan dirinya sama-sama biru. Mereka berdua sama-sama sedang menghujan.

Aureta tidak berbohong jika dirinya sekarang membenci Caca. Mengapa ia tidak menggugurkan bayinya? Aureta takut Caca akan merebut Zean darinya. Memang terdengar jahat tapi siapa yang ikhlas jika pacarnya menikah dengan sahabatnya sendiri.

Suasana di dalam mobil masih sama dan tidak berubah hingga akhirnya sampai di pekarangan rumah Caca. Zean mengatakan sesuatu sebelum Caca turun dari mobilnya.

"Nanti malem gue mau kesini."

Caca tidak menjawab dan hanya menganggukan kepalanya saja. Setelah itu barulah ia masuk ke dalam rumahnya dan Zean melajukan mobilnya kembali ke jalanan.

Caca membuka knop pintu, melangkahkan kakinya lemah. Tenaganya hampir terkuras habis. Dilihatnya rak sepatu yang tidak terdapat sepatu pantofel kulit, yang berarti ayahnya belum kunjung pulang. Itu sedikit melegakan.

"Keisha?" Alisha, bundanya memanggil dengan wajah yang khawatir melihat putrinya acak-acakan seperti itu.

"Kok udah pulang? Nggak jadi nginep? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?" imbuhnya dengan rentetan pertanyaan.

Keisha terdiam sebentar, "Bunda, ...." lirihnya pelan.

Alisha segera menghampiri Caca dan menuntunnya untuk duduk di sofa ruang tamu. "Kamu ada apa?" tanyanya, namun putrinya masih diam.

"Janinnya gimana?" Alisha tak gencar, ia sangat khawatir sekali.

"Bunda, ...." lirihnya dengan air mata yang siap tumpah.

Alisha mengusap lembut wajah Caca, "Kenapa, Nak?"

Caca terisak. "Waktu itu Caca mimpi janinnya hancur tinggal kepala, tangan sama kakinya aja. Perut Caca diobrak-abrik dan rasanya sakit banget." ucapnya tertahan. Alisha masih mendengarkan, mengusap pelan puncuk kepalanya Caca.

"Tadi, Caca keinget mimpi itu. Caca takut dan nggak tenang. Caca merasa bayinya berontak minta tolong, Caca nggak bisa Bunda, ...." cicitnya, menahan agar air matanya tidak tumpah. Namun itu luruh ketika Alisha memeluknya.

"Keputusan kamu udah benar, Keisha. Mimpi kamu hari itu mungkin jadi sebuah pertanda, Nak. Terlepas dari hal buruk yang udah terjadi, bayi itu punya hak hidup." ujar Alisha tersenyum tipis karena putrinya tidak jadi melakukan aborsi. Meski tidak diucapkan tapi Alisha bangga kepada anaknya.

"Biarin Zean mau tanggung jawab atau nggak, itu terserahnya. Tapi kalo dia menginginkan bayinya namun tidak menikahimu, jangan pernah kamu kembalikan anak itu kepadanya. Kamu yang mengandungnya selama 9 bulan, kamu yang melahirkan dia, maka kamu yang berhak bertanggung jawab merawat bayi itu, bukan Zean." sambungnya. Caca semakin menunduk, entah hanya saja ia tidak menginginkan pernikahan.

MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang