Tiga Puluh Empat

505 36 0
                                    

Happy Reading and Enjoy!

🍓🍓🍓🍓

****

Caca bersender pada kaca jendela mobil. Air matanya terus mengalir turun. Ia benar-benar tidak menduga Aureta akan berbuat seperti itu kepadanya.

Pertama kalinya ia dicaci dan dimaki oleh orang, sangat menyesakkan dadanya. Caca sangat membenci dimana ia disudutkan, padahal itu bukan salahnya.

"Pengkhianat? Bahkan Caca udah relain masa depan Caca, dan mau ikhlasin bayi ini agar Zean sama Tata masih bisa bareng. Tapi kenapa Tata kaya gitu hanya karena Zean yang bahkan Caca nggak mau nikah sama dia." - batinnya.

"Kita ke babeh dulu, ya?" ucap Zean tanpa melirik sekalipun ke arah Caca.

Caca juga tidak menjawab, ia masih tersenggukan dalam diamnya. Namun meski begitu Zean tahu perempuan itu sedang bertahan meredamkan suara tangisnya. Itu pasti lebih sesak karena tak bisa mengeluarkan emosi yang ada.

Sampai akhirnya sampai juga di rumah darren, anak dari Babeh Surya. Caca membuntuti Zean di belakangnya. Entah laki-laki itu ada keperluan apa hingga mereka berada di sini sekarang. Caca tidak peduli yang penting ia tidak pulang ke rumah. Ia takut ditanyai Bunda nya.

Zean menunjuk ke arah sofa, menyuruh Caca untuk duduk di sana. Sementara dirinya mencari Darren dan Rattam yang ternyata masih tertidur pulas di kamarnya.

Sambil menunggu Zean, Caca mengipas wajahnya dengan tangan. Pipinya baru terasa perih sekarang, padahal tadi ia tidak merasakan apa-apa. Semakin ia menangis, semakin perih luka itu karena air matanya.

Dan tak lama Zean kembali sambil membawa mangkok berisi air dan juga kotak P3K yang entah didapatkan darimana. Dengan masih tak mengatakan apapun, Zean duduk di sebelah Caca. Ia mengambil kain yang berada di dalam mangkok plastik itu.

"Madep sini." titahnya pada Caca.

Caca dengan sisa tangisnya, menghadap ke arah Zean. Perlahan dengan lembut Zean mengelap wajahnya dengan air hangat. Rasanya perih namun berusaha Caca tahan.

Setelahnya Zean mengoleskan salep di pipi Caca. Entah sekuat apa cengkraman itu hingga pipinya tertusuk kuku seperti ini. Dua di kirinya dan satu di kanannya.

"Mana lagi?" tanya Zean yang mendapat gelengan dari Caca.

"Nggak ada lagi 'kan?" tanyanya lagi. Caca menganggukan kepala.

"Udah jangan nangis lagi, gausah lebay." ketusnya sambil merapihkan kembali kotak P3K. Sama sekali tidak melirik ke arah Caca.

Jika saja memungkinkan, rasanya Caca ingin melempar mangkok kecil itu ke wajah Zean. Enak saja dirinya dikatai lebay. Padahal dia baru saja diperlakukan tidak adil dan dirundung oleh sahabatnya sendiri. Siapa yang tidak sakit hati?

Caca tidak membalasnya. Ia memilih untuk menangkan hati dan pikirannya. Sepertinya jika menikah dengan Zean ia akan sering mendapatkan hal seperti tadi. Caca harus bisa lebih bersabar.

Saat ini jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Caca belum makan dari pagi. Ia ingin makan sesuatu yang berkuah. Sepertinya sop buntut enak di makan siang seperti ini?

"Eh, Ca? Zeannya mana?" Seseorang bertanya membuat Caca terkejut dengan keberadaannya.

Darren dengan wajah bangun tidurnya menatap Caca. "Zean kemana?" ulangnya.

"Apaan?" Zean menyahut di belakang Darren.

"Setan. Kaget gue."

Zean tidak mempedulikannya. Ia habis dari dapur menyimpan mangkok. Dapurnya memang tepat di samping kamarnya Darren. Jadi tidak terlalu jauh dan Zean dapat mendengar percakapan mereka.

MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang