Tiga Puluh Lima

547 39 1
                                    


****

Zean memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Caca. Mereka berdua belum kunjung juga turun dari mobilnya. Caca menundukkan kepala, ia belum siap untuk bertemu dengan Bundanya dalam kondisi seperti ini.

"Ayo turun."

"Caca takut." cicitnya pelan.

Zean menatap Caca, pipinya memang masih terlihat tusukan bekas jari kuku. Meski lukanya terlihat kecil, tapi warna merah di sekiarnya membuat itu mencolok.

"Pakein bedak yang tadi lo beli." titah Zean.

Caca melihat ke arah tentengan yang ia bawa. Lalu mengeluarkan bedak itu dan memakainya di sekitar pipi. Untung shade nya pas dengan tone kulitnya. Setidaknya itu bisa menyamarkan luka-luka di pipinya.

"Masih merah?"

Zean memperhatikan wajah Caca yang putih mulus itu. Jika dilihat baik-baik seperti ini, Caca lumayan Cantik meskipun masih cantikan Aureta bagi Zean.

"Udah kok. Ayo turun." jawabnya sambil mengangguk.

Caca menghela nafas sebelum keluar dari mobil. Lalu mereka berdua masuk ke dalam rumah bernuansa kuning gading itu. Alisha sudah menunggunya di ruang tamu.

Zean entah kenapa nyalinya sedikit ciut. Ia jadi teringat beberapa hari yang lalu saat mendapat penolakan dari Alisha. Hari ini Zean bahkan tidak tahu harus berbicara apa pada wanita setengah baya itu.

"Caca pulang, Bunda." Caca bersalaman diikuti oleh Zean yang mengekorinya.

"Udah makan?" tanya Alisha yang diangguki oleh putrinya.

"Zean mau bicara sama Bunda." celetuknya hingga membuat laki-laki di sampingnya terkesiap, panas dingin rasanya.

"Duduk." Alisha menunjuk sofa di depannya. Zean menurut, namun Caca malah pergi ke dalam kamarnya.

Alisha menatap Zean lekat. Ia masih tak mengeluarkan suaranya dan menunggu Zean terlebih dahulu seperti yang hari lalu ia lakukan. Sementara Zean saat ini kebingungan mencari kalimat yang pas dan sopan.

"Gimana? Orangtua kamu sudah tahu?" Alisha memilih bertanya duluan akhirnya. Ia melihat ketegangan dari lawan bicaranya.

Zean berdeham. "Sudah, Tante. Tapi mereka tidak mau datang untuk acara pernikahannya." jawabnya.

Zean tidak berbohong untuk mengatakan itu. Ia sudah bilang jauh hari pada Papahnya, namun responnya sangat buruk. Zean berpikir bahwa Papahnya tidak akan mau menjadi wali, walaupun sebenarnya laki-laki tidak perlu wali.

"Kamu gimana sih? Pernikahan itu harus dengan restu orangtua kamu." tutur Alisha masih menatap Zean tidak suka.

"Lagipula kamu punya apa sih? Kamu emangnya udah dapet kerjaan? Apa sih yang diharapkan dari anak yang lulusan SMA? Bahkan orangtua kamu pun nggak mau tanggung jawab atas anaknya sendiri." ucap Alisha sangat menusuk. Zean rasanya ingin marah, namun ia tahan emosinya.

"Saya benar-benar minta maaf, tante. Saya sadar atas kesalahan yang saya lakukan, makanya saya di sini ingin mempertanggung jawabkan perbuatan saya pada putri Tante." ungkapnya, memberi jeda sebelum kembali melanjutkan perkataannya.

"Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Azean Araan Tasanee. Orangtua saya sudah cerai, dan saya tinggal bersama Ayah dan juga Mama tiri. Sejujurnya saya bukan dari golongan orang berada tante, saya hanya diberikan rumah bekas di bogor. Menurut saya itu lebih dari cukup untuk saya dan Keisha tinggali jika nanti kita menikah.

MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang