Setelah mengobrol dengan Papanya untuk membicarakan soal perusahaan. Sastra menyempatkan diri untuk makan malam bersama kedua orang tuanya sebelum mengantar Kavy pulang.
Dan sekarang Kavy berserta keluarga Sastra tengah makan malam bersama dimeja makan yang luas dan sudah tersaji berbagai makanan.
Tidak ada yang bersuara, mereka semua fokus menghabiskan makanannya masing-masing. Hanya ada suara dentingan sendok maupun garpu yang saling beradu mengisi keheningan diruang makan rumah Sastra.
Wijaya, sang kepala keluarga terlebih dahulu menyelesaikan makannya dan disusul oleh semua orang. Lalu suasana pun hening sejenak sebelum Papa membuka suaranya.
"Saya sepertinya tidak asing dengan wajah kamu Kavy" ujar Papa memulai obrolan.
"Maksud Om?" Tanya Kavy bingung.
"Sekilas kamu mirip dengan teman masa kecil saya." Papa berujar seraya menatap Kavy lebih lekat.
Kavy sampai dibuat gugup oleh tatapan Wijaya padanya. "O-oh iya, siapa Om?" Tanya Kavy gugup.
"Rafi".
"Rafi Radjati Dhara?" Ucap Kavy tidak yakin.
"iya! Kamu mengenalnya?" Jawab Papa semangat.
"Kebetulan dia Papa saya Om." Balas Kavy seraya tersenyum manis.
Wijaya tampak terkejut lalu menatap Kavy penuh atensi. "Astaga, jadi kamu putri tunggal keluarga Dhara?" Ujar Wijaya yang mendapat anggukan dari Kavy.
"Wah kebetulan sekali. Saya dan Papa kamu dulu sahabat kecil, bahkan kami merintis karir bersama tanpa bantuan orang tua kita. Tapi semenjak kalian pindah rumah, kita jadi jarang bertukar kabar lagi. Bagaimana kabar Papa mu sekarang?" Wijaya berujar panjang sembari matanya menerawang kembali kenangan ia dan sahabat masa kecilnya dulu.
"Pantesan gue kayak gak asing mukanya Papanya Sastra, ternyata dia itu Om Jay." Batin Kavy.
"Papa baik kok Om, waktu itu memang perusahaan yang ada dibandung lagi ada masalah serius. Jadi harus Papa sendiri yang handle, dan terpaksa kita juga harus pindah sementara waktu." Jelas Kavy panjang lebar.
Wijaya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Kavy. Ia tersenyum kecil melihat Kavy, gadis kecil yang dulu akrab sekali dengannya kini sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan menggemaskan. Tidak heran jika Sastra jatuh hati dengan Kavy.
"Kapan-kapan ajak orang tua kamu makan malam bersama dirumah ini, oke!" Ujar Wijaya.
Kavy menganggukkan kepalanya dengan semangat. "Siap Om Jay".
Wijaya terkekeh kecil mendengar panggilan itu terdengar kembali dari mulut Kavy. Sedangkan Sastra yang sedari tadi menyimak obrolan Papanya dan juga Kavy hanya bisa mendengus kesal. Ia heran kenapa Kavy begitu cepat akrab dengan kedua orang tuanya. Dan biasanya Papanya itu jarang sekali mengobrol dengan orang asing, sedangkan dengan Kavy ia santai sekali seperti dua orang yang memang sudah saling mengenal. Sastra jadi merasa terlupakan.
"Papa sama Om Rafi nggak ada gitu ngejodohin kita berdua?" Tanya Sastra membuka suara.
Papa memutar bola matanya jengah menatap sang putra lalu berkata, "kamu pikir ini di novel Sa? Kita berdua tidak pernah mau memaksakan kehendak pada seseorang apalagi itu soal cinta, karena cinta itu bukan suatu hal yang bisa dikendalikan oleh manusia. Manusia tidak akan pernah tau akan jatuh cinta dengan siapa, itu semua sudah takdir yang menentukan.
"Toh kalau kalian berdua memang jodoh, kalian juga pasti akan bertemu tanpa harus adanya perjodohan. Seperti sekarang contohnya," lanjut Papa.
Sastra mengangguk mengerti lalu ia menoleh menatap Kavy yang duduk disebelahnya, "berati kita jodoh dong Vy?".