chapter 42 - one chance

642 71 2
                                    

"Astaga apa yang aku lakukan?"

Renjun menampar pipinya. Ia mengingat dengan samar kejadian tadi malam di kamar Jeno. Wajahnya membara karena rasa malu.

"Aaaa!" Renjun berguling untuk membungkam teriakannya dalam bantal sementara menghentak-hentakkan kakinya.

Bodoh!

Maki Renjun dalam hati. Harusnya Jeno mendorongnya saja tadi malam. Jeno bahkan menggendongnya ke kamar bukan membuangnya keluar rumah.

"Bagaimana aku bisa bertemu Jeno sekarang?"

Tak ada jawaban yang ia dapatkan kecuali getaran handphone di atas meja

"Halo Jaem?"

"Good Morning pacarku."

"Kenapa Jaem?" Tanya Renjun tanpa basa basi. Kepalanya berdenyut-denyut.

"Gue tau Haechan dimana."

"Oh. Iya." Renjun sejenak melupakan Haechan gara-gara Jeno.

"Siap-siap ya. Gue otw ke situ."

"Sekarang aku punya empat masalah," ucap Renjun menghela napas saat sambungan itu terputus.

Sekelebat bayangan empat pria yang dekat dengannya itu membuat kepalanya berdenyut semakin keras.

"Ah, terserah."

***

Jaemin membawa Renjun menuju sebuah gedung kos-kosan bertingkat. Gedung itu berada di gang belakang sekolah mereka. Tak terlalu jauh bila berjalan kaki dari situ menuju sekolah.

"Ini tempat siapa?" tanya Renjun pada Jaemin yang sibuk dengan handphonenya.

"Minho. Teman band Haechan."

Tak lama seseorang yang familiar berjalan menuju mereka. Jaemin dan Renjun keluar dari mobil menghampiri pria itu.

"Buruan masuk, ntar dia curiga," ucap pria drummer itu buru-buru membawa mereka ke kamarnya.

Kos-kosan itu sangat buruk. Mereka harus menaiki tangga demi tangga menuju lantai empat tempat di mana kamar Minho berada. Renjun ngos-ngosan ketika sampai, tenaganya terkuras habis. Minho tampak masih segar karena sudah terbiasa sementara Jaemin tampak sama lelah dengannya

Minho membuka pintu dan mempersilakan Jaemin dan Renjun masuk. Haechan yang main handphone di kasur memicingkan mata tak senang dengan kehadiran tamunya.

Ia bangkit dari kasur, tak memedulikan Renjun dan Jaemin. Ia mengumpulkan pakaiannya dan memasukkan ke dalam tas sekolah, bersiap-siap untuk pergi.

"Jaem, do something. Bocah ini ngambek kenapa lagi," ucap Minho tak habis pikir dengan ulah Haechan. Ia tak ada membicarakan sesuatu pun pada Minho, membuat pria itu kebingungan.

"Lo tunggu di luar aja, biar gue sama Renjun ngomong sama Haechan," kata Jaemin dan dibalas anggukan oleh Minho. Ia keluar dan menutup pintu menyisakan ketiganya di dalam kamar.

Haechan yang tak menghiraukan keduanya telah selesai memasukkan barangnya ke dalam tas. Saat ia menuju pintu Jaemin langsung menghadangnya.

"Stop jadi anak kecil, dengan lo ngehindarin kita kaya gini nggak bakalan nyelesain masalah apapun."

"Nggak usah sok-sokan ngurusin gue, anggap aja gue nggak pernah hidup." Haechan mendorong Jaemin yang menghadangnya kesamping.

"Lee Haechan!" Tangan mungil Renjun menahannya. Haechan bisa saja menangkisnya namun tangannya tak bergerak sesuai isi kepalanya.

"Haechan dengerin kita ngomong dulu." Tangan Renjun memegang erat baju Haechan.

Haechan menatap satu-satu Jaemin dan Renjun. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun ia membuka pintu dan mendorong Jaemin keluar hingga jatuh.

"Jaem!" Teriak Renjun demi melihat Jaemin yang terjatuh. Haechan kemudian menutup dan mengunci pintu, menghadang Renjun yang hendak membantu Jaemin.

"Kenapa dorong Jaemin?" Renjun menatap tak percaya dengan tingkah kasar Haechan.

Haechan masih membisu, hanya menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke pintu. "Lo jadian sama Mark?" tanyanya hati-hati.

"Engga."

"Bohong."

"Beneran."

Haechan menatap Renjun lekat.

"Lo nolak dia?"

Renjun mengangguk lesu, menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Di saat yang sama, Haechan melangkah mendekat.

"Terus, apa jawaban Lo?"

"Ya, aku tolak," ucap Renjun.

"Bukan yang itu."

"Yang mana?" Renjun mengedip tak paham.

"Pertanyaan di hari valentine." Hati Haechan yang selama ini gundah gulana mendadak cerah. Ia menyesal merajuk karena mengira Mark dan Renjun jadian. Ternyata ia masih punya harapan.

"Chan, aku..." Suaranya tercekat. Entah bagaimana caranya menjelaskan pada Haechan tentang hubungannya dengan Jaemin. "Aku nggak bisa. Aku udah..."

"Apa Lo masih sesuka itu sama Mark? Apa sih yang Lo liat dari dia? Gue bakalan berusaha Njun, jadi seseorang yang Lo pengen. Gue janji. Gue bakal..."

"Bukan karena itu Echan," bantah Renjun.

"Kalau bukan itu, lantas karena apa? Apa gue nggak sepantas itu buat Lo?"

"Bukan Haechan. Astaga kepala aku mau pecah."

Haechan mundur selangkah dari Renjun. Perasaannya sangat tak karuan. Tak terasa air matanya mengalir lembut.

"Chan," Renjun merasa bersalah demi melihat air mata Haechan.

"Ternyata gue emang nggak sepantas itu ya dicintai oleh siapapun. Lo tau, untuk pertama kalinya gue buka hati gue buat seseorang. Dan itu elo, Njun. Meski gue udah berusaha sekuat mungkin menjaga pintu itu untuk tertutup rapat, pintu itu terbuka lebar buat Lo. Gue sesuka itu sama Lo."

"Haechan, aku..."

"Apa yang kurang dari gue? Gue mau berubah buat Lo, gue..."

"Chan! Maafin aku..."

"Renjun, plis." Haechan menarik Renjun dalam pelukannya. "Kasih gue satu kesempatan. Satu aja."

Renjun merasakan perasaan yang kalut. Otaknya sudah tak bisa berfungsi. Saat itulah bibirnya malah mengucapkan kata "iya".

.
.
.

Huhu... Ternyata masih banyak yang baca cerita ini. Author jarang banget ke wattpad karena kehilangan ide. Untuk saat ini author ga berani janjiin apa-apa. anyway makasih banget buat yang mau baca cerita ala kadarnya ini...

What It Cost For a Love || Renjun Harem || NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang