chapter 25 - 00.00

1.7K 197 5
                                    

Jeno melirik jam di handphone-nya. Sudah pukul 23.40 malam dan Renjun masih belum pulang.

Panggilannya juga tak diangkat oleh Renjun maupun Haechan. Padahal Jeno sangat yakin melihat keduanya masuk ke dalam bus dua jam yang lalu, lantas mengapa sampai sekarang belum datang juga.

Ia merasa sangat lelah setelah mengikuti Renjun dan Haechan. Renjun yang dengan sengaja meninggalkannya tak membuat Jeno urung mengejar. Ia membuntuti bus yang ditumpangi Renjun sampai ke mall dengan mobil ayahnya.

Saat Renjun dan Haechan masuk ke sebuah kafe, Jeno memilih restoran seafood di seberang kafe agar dapat mengawasi mereka dari jauh.

Jeno mengurungkan niatnya untuk menghampiri mereka. Terlalu gengsi rasanya bila ketahuan membuntuti Renjun. Ia menyantap hidangan seafood-nya sendirian sambil mengawasi mereka yang berada di cafe. Tak menghiraukan pelayan restoran yang terus memperhatikannya dengan takjub.

Untungnya ia memilih restoran seafood ini. Dari sini ia bisa dengan leluasa memperhatikan Renjun yang mengitari mall dan keluar masuk toko. Ia menutup wajahnya dengan topi saat Renjun mendekat ke restoran. Haechan yang mengendap-endap di belakang Renjun pun tak menyadari keberadaan Jeno di sana.

"Bukannya mereka jalan bareng?" Tanya Jeno pada dirinya sendiri.

Setelah menghabiskan waktu yang lama di restoran, ia pergi menuju parkiran. Renjun sedang berada di dalam toko kosmetik dan Haechan masuk ke dalam toko boneka. Jelas bahwa Haechan sedang bersembunyi dari Renjun.

Keluar dari parkiran mall, ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tak jauh dari pintu keluar mall menunggu Renjun yang entah berapa lama lagi berada di sana. Tapi tak berapa lama, matanya menangkap sosok Renjun yang keluar bersama Haechan.

"Haechan sialan," gerutu Jeno saat melihat Haechan yang memegang tangan Renjun. Untung saja Renjun menampiknya.

Ia membuntuti bus yang ditumpangi Haechan dan Renjun kemudian menyelipnya tanpa berpikir bahwa mereka malah turun di halte lain.

Sudah dua jam lamanya Jeno lebih dulu tiba di rumah. Perasaan gelisah dan marah menghampirinya. Bahkan ia tak ingin menonton televisi meskipun itu akan membantu mengalihkan pikirannya. Ia duduk dalam kegelapan, tak ingin menyalakan lampu.

Pukul 23.50 suara mobil berhenti di depan rumah. Pintu dibuka dari luar. Renjun berjingkat-jingkat masuk ke dalam rumah tak menyadari Jeno yang duduk di tangga sedang memperhatikannya.

"Renjun!" Panggil Jeno yang membuat Renjun kaget.

Jeno menyalakan lampu dan dapat melihat wajah terkejut serta takut Renjun. Ia menghampiri Renjun yang mematung dekat pintu.

"Hai Jen."

"Darimana?"

"Dari mall." Renjun meringkuk takut akan sorotan tajam mata Jeno.

"Kok baru pulang jam segini?"

"Tadi ke taman bentar."

Jeno menarik napas. "Trus kenapa enggak angkat telpon?"

"Oh, mungkin mode silent." Renjun meraih handphone di kantongnya. Tiga puluh panggilan tak terjawab dari Jeno. "Maaf Jen," ucap Renjun lirih.

"Lo sengaja?"

"Sengaja apa?" Renjun menatap balik.

"Sengaja biar enggak diganggu."

"Astaga Jen. Aku lupa matiin mode silent nya. Enggak sengaja," ujar Renjun membela diri. "Aku ke kamar, ngantuk."

Renjun yang sudah melangkah pergi ditarik dengan kencang oleh Jeno sampai-sampai punggungnya menghantam pintu.

"Lee Jeno, sakit!" Rintih Renjun. Tangan Renjun digenggam dengan sangat erat oleh Jeno. Tentu Renjun kalah kuat dibanding Jeno. "Jeno lepasin." Jeno tak menurut meski Renjun kesakitan.

Terlalu banyak yang Jeno ingin katakan tapi semuanya hanya berkecamuk di kepalanya. Ia tak ingin Renjun pulang malam. Tak ingin Renjun bersama Mark ataupun Haechan ataupun Jaemin.

Tamparan keras mendarat di pipi Jeno menyadarkannya. Wajah Renjun merah padam saking marahnya. "Aku bukan anak kecil."

Genggaman Jeno terlepas dari tangan Renjun. Renjun meninggalkan Jeno yang masih terkejut akan tamparan di pipinya. Renjun membanting pintu membuat Jeno menyadari kesalahannya.

Ia sungguh tak sadar sudah melukai Renjun.

"Renjun." Jeno mengetuk pintu, tak ada sahutan.
"Renjun."
"Gue minta maaf."

Dengan perasaan yang sungguh tak karuan ia kembali ke kamarnya. Namun ia tak bisa tidur, meski waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam.

Entah pukul berapa ia bisa tertidur, yang jelas ia sekarang kesiangan. Air dingin membangunkannya sepenuhnya.

Jeno mengeringkan rambutnya saat mendengar suara gerbang terbuka. Ia menyibak tirai jendela yang menghadap ke depan rumah. Dari sana ia dapat melihat Renjun yang sudah berangkat ke sekolah. Rasa penyesalan kembali berkecamuk di dadanya.

Jeno menikmati sarapamnya seorang diri sampai Jaemin datang.

"Renjun mana?" Jaemin menoleh ke arah kamar Renjun, bermaksud mengecek Renjun apabila ia sakit seperti tempo hari.

"Udah berangkat duluan."

"Kok... Bisa?" Alis Jaemin mengkerut.

Jeno tak menjawab.

"Kalian lagi berantem?" Tanya Jaemin saat keduanya berada di dalam mobil. Ia masih belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.

Jeno bersandar pada kursi, tak memedulikan rasa penasaran Jaemin. Kepalanya penuh akan Renjun.

Sebenarnya untung saja ia ditampar oleh Renjun tadi malam. Jika tidak, ia akan melakukan sesuatu yang berlebihan. Ia terus menatap bibir Renjun dan hampir hilang kendali. Tamparan keras itu menyadarkannya.

Apa aku jatuh cinta?

Jeno segera menghapus pikirannya itu. Mana mungkin ia jatuh cinta pada seseorang seperti Renjun. Hye ataupun gadis lain lebih cantik daripadanya.

Tapi akhir-akhir ini, ia memandang Renjun dengan perasaan yang sudah tak sama seperti dahulu. Ia bahkan tanpa sadar selalu memerhatikan Renjun.

Wajah itu terus menghantuinya setiap malam. Ia merasa seolah ada yang merobek jantungnya saat Renjun bersama orang lain. Mark ataupun Haechan.

Sialan! Aku beneran suka sama dia.

~~~

Guys, tolong maklumin Jeno yang lagi curhat ya hehe 😁

Yuks terus tunggu ceritanya,
Berikan upvote kalian juga ya. 🤗

What It Cost For a Love || Renjun Harem || NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang