14. Kebahagiaan Sederhana Rania

15.1K 368 1
                                    


Arga kembali ke kamar Rania untuk melihat istrinya itu. Dia mengerutkan dahi ketika menemukan wajah tak bersemangat yang Rania tunjukkan.

"Kamu kesal sama mommy tadi, kamu tidak suka?" tanya Arga menebak dan kemudian dia malah menjawab sendiri. "Tidak usah dipikirkan. Orang tua memang begitu. Banyak aturannya, tapi percayalah mommy sebetulnya tidak jahat dan dia itu orang tua yang penyayang," jelas Arga entah mengapa lebih cerewet dari biasanya.

Rania menggelengkan kepala dan mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian mendesah kasar.

"Bukan itu," jawab Rania sambil mencoba bangkit untuk duduk.

Arga yang melihatnya demikian, sedikit khawatir dan mendekat untuk membantu. "Lalu apa?" tanyanya dengan perhatian.

"Kuliahku. Hm, aku baru lihat chat dari grup kalau tugas dari Bapak luar biasa banyak. Sedalam lautan dan sebesar gunung, tapi jangka waktu menyelesaikannya cuma sampai minggu depan," jelas Rania proses dan kedengaran sangat jelas kalau dia sedang keberatan.

Namun bukannya sadar, Arga malah mengangkat bahunya acuh. Dia bahkan terlihat cuek dan tak memperdulikannya. Bahkan tak segan memasang wajah tak berdosanya.

"Terus bagaimana dong, Pak. Aku kan masih sakit ...," rengek Rania penuh harap Arga akan iba dan meringankan tugasnya.

"Aku tidak pernah memaksa mahasiswa manapun mengerjakan tugasku," jawab Arga ambigu dan membuat Rania mengerutkan dahinya.

"Tapi tugas ada bukannya untuk dikerjakan, Pak?" timpal Rania.

"Ya, itulah kenapa aku tidak perlu memaksa, karena aku tahu dasarnya tugas memang harus dikerjakan. Kalau tidak dikerjakan, yasudah tidak apa-apa juga sih," jelas Arga setenang mungkin membuat Rania hampir saja mendesah lega, kalau saja tidak mendengar lanjutan dari ucapannya. "Palingan tidak ada nilai untuk mahasiswa itu," lanjutnya membuat Rania kesal.

"Loh kok gitu sih, Pak?" tanya Rania kesal.

"Jadi kamu mau mahasiswa yang tidak mengerjakan tugas mendapatkan nilai?!" sarkas Arga sengit dan menyebabkan Rania terdiam untuk sesaat memikirkan ucapannya.

"Tapi nggak gitu juga ....," cicit Rania pelan, tapi masih terdengar oleh Arga.

"Terus bagaimana?" tanya Arga yang tak sama sekali bisa dijawab Rania lagi. "Sudahlah. Lupakan saja itu, dan beristirahatlah. Untuk saat ini itu yang kamu butuhkan dan jangan memikirkan hal lain!" lanjut Arga memperingatkan.

"Gimana bisa istirahat dengan tenang, tugas aja banyak membayang dan bagaikan kaset rusak di kepalaku," jelas Rania menyindir, tapi kemudian diapun tarik selimut dan kembali berbaring.

Arga terdiam memikirkan ucapan Rania dan mengingat ucapan dokter tempo waktu diapun mendesah kasar. Kemudian mengambil keputusan paling berat yang pernah dia lakukan sebagai dosen menurutnya. Pria itu sungguh menurunkan egonya demi istri yang belum dicintainya.

"Istirahat saja Rania. Jangan pikirkan hal lain!" tegas Arga memutuskan setelah pertimbangan yang sulit menurutnya.

"Tapi tuga--"

"Sekali ini dan hanya kali ini. Lupakan tugasnya, nilai mu tetap aman, tapi tidak lain kali!" potong Arga langsung membuat Rania ingin berjingkrak sangking senangnya, atau bahkan melompat-lompat di atas kasurnya.

Namun, tentu saja dia tak bisa melakukannya karena kondisinya yang tidak mendukung. Meskipun begitu raut wajahnya tetap saja kontraks memperlihatkan wajah lega tanpa beban sama sekali.

"Beneran, Pak?" tanya Rania memastikan.

Arga tak langsung menjawab, dia seperti menyesal dan mengusap tengkuknya sendiri dengan penuh keraguan. "Ii-iya ...," jawabnya ragu-ragu.

Terjebak Cinta Pria Dingin (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang