62

10K 243 3
                                    


Viona terbangun dari tidurnya, menguap seperti biasanya. Dia dengan tenang merenggangkan tangan, sampai kemudian gadis itu merasakan sesuatu yang salah. Viona membulatkan matanya. Melirik kesekitar dan menemukan sesuatu yang membuatnya berdebar kencang. Melihat ke bawah selimut, nafasnya yang kemudian memberat dan tak beraturan.

"Aaarrrggh! Apa yang kamu lakukan sama aku?!" teriak Viona sambil kemudian menyerang seseorang disebelahnya dengan spontan.

Orang itu terbangun, membuka matanya dan langsung mengelak dari serangan Viona. Akan tetapi walaupun sudah begitu, orang yang rupanya adalah lelaki itu, sama sekali tak menunjukkan keterkejutannya. Dia bersikap biasa saja dan malah dengan tenang bangkit dari tempat tidur.

"Baji*gan!! Kenapa kamu melakukan ini sama aku, hiks-hikss?!!" lirih Viona yang akhirnya menangis.

Dia tak kuasa karena rupanya dia baru saja kehilangan mahkotanya sebagai perempuan. Hatinya hancur, menyesal, tapi di saat yang sama dia tak bisa memperbaiki apapun lagi.

"Ngapain harus menangis seperti itu, tadi malam kamu bahkan menikmatinya!" seru lelaki itu sambil memakaikan pakaiannya dihadapkan Viona.

Namun sebelum itu atau saat dia bangkit, Viona sebetulnya sudah mengalihkan pandangannya supaya melihat ke arah lain.

"Baji*ngan! Kamu emang baji*ngan!!!" umpat Viona marah.

Lelaki itu tak perduli dengan perkataannya dan terus melakukan aktivitasnya. Akan tetapi dia pun tak diam saja. Sesekali dia menimpali omelan dan sumpah serapah dari Viona.

"Lantas kalau aku baji*ngan, kamu apa?" tanya lelaki itu dengan serius.

Viona tak menjawabnya, tapi masih terus berkomat-kamit menyumpahi Lelaki itu. Sampai kemudian lelaki itupun selesai dengan pakaiannya. Dia mendekat dan langsung menarik rahang Viona kasar. Melakukan sesuatu yang menjijikkan bagi Viona, tapi sekaligus tak bisa menolaknya karena lelaki itu sudah dengan lihai mengunci pergerakannya.

"Baji"gan!!!" teriak Viona murka.

Namun mau semurka apapun, dia tak bisa melakukan apapun selain pasrah menerima keadaan dan juga kenyataan.

"Terima kasih untuk malam terindahnya!" seru lelaki itu sambil melemparkan kartu nama dan sebuah cek dengan nominal yang lumayan besar di sana. "Cari aku jika uangnya kurang, tapi bila kamu hamil tenang saja, aku yang akan mencarimu saat itu," jelas lelaki itu seolah nantinya bisa tahu saja benihnya jadi atau tidak.

Viona membuang muka, melempar bantal sebelumnya kemudian menangis semakin kencang. Sementara lelaki itu setelahnya malah pergi entah mau kemana. Satu yang pasti, dia benar-benar meninggalkan Viona di kamar tersebut.

• • •

"Kamu ambil cuti aja, Sayang. Ngapain ke kampus?" tanya Arga sambil memasang dasinya sendiri.

Saat ini dia tengah bersiap ke kantor. Sementara Rania tengah mengeringkan rambutnya. Selesai dengan rambut, Rania yang diberitahu tidak mau diam saja. Dia menghampiri suaminya lalu memeluknya dari belakang.

"Walaupun aku hamil, aku masih sehat Mas. Kamu dengar kata dokter semalam, aku cuma butuh istirahat dan bukannya cuti kuliah. Lagian yang harusnya Mas tanyain itu bukannya aku ngapain kuliah, karena jelas jawabannya aku pengen belajar dan mendapatkan gelar, tapi kenapa aku harus di rumah dan alasannya apa Mas?"

Arga tak langsung menjawab, pria itu menarik istrinya ke depan, lalu kini gilirannya yang memeluk dari belakang. Mengusap perut Rania yang tak sama lagi atau tepatnya yang kian hari makin keliatan buncit.

"Aku tahu itu, Ran. Sebetulnya aku juga senang kamu kuliah, karena hal itu bisa bikin aku bisa ngawasin kamu, tapi Sayang lihat kondisi kamu. Hamil dan paling parah aku tahu stress mu itu adalah karena gunjingan teman-temanmu di kampus," jelas Arga memberi pengertian.

"Aku mana perduli gunjingan mereka. Aku tidak hamil diluar nikah kok, lagian aku punya suami. Ngapain pusing, apalagi sampai stress mikirin itu?" balas Rania meyakinkan.

Namun meski demikian, Arga tentu saja tak percaya, sebab hasilnya saja sudah dipastikan lewat pernyataan dokter. Pemeriksaan terakhir Rania memang sedang tertekan itulah kenapa dia jadi sering merasakan kram di perutnya.

"Baiklah aku percaya, Rania istriku tidak mungkin segampang itu dijatuhkan!" seru Arga berbohong sambil mengecup pipinya Rania. "Tapi tetap ya, untuk sementara kamu harus di rumah. Soalnya kan dedek bayi sedang sakit di sini, jadi harus istirahat," jelas Arga sambil mengusap perut Rania.

Rania pun menganggukkan kepala lalu berbalik dan balas memeluk Arga.

"Jadi nggak sabar anak kita cepat lahir!" ceplos Arga dengan serius.

"Kenapa, Mas?" tanya Rania sambil mengerutkan dahinya. "Mau lihat dan main sama anak kita ya, Mas?"

"Iya, tapi bukan cuma itu," jelas Arga.

"Terus apalagi Mas?" tanya Rania penasaran.

"Pengen memeluk kamu lebih erat dan bebas lagi, seperti saat kamu belum mengandung," jawab Arga dengan adanya.

"Perut aku menghalangi Mas, ya?" tanya Rania.

"Begitulah, tapi ini risikonya aku bikin kamu hamil. Jadi aku harus menerimanya," jawab Arga sambil kemudian mendaratkan kecupan dalam di dahi istrinya.

• • •

"Apa Viona belum pulang. Ga, kamu lihat adik kamu pagi ini?" tanya Nugraha dengan wajah yang cemas, dan Arga langsung menggelengkan kepala menjawabnya.

"Dia sudah dewasa, biarkan saja. Nanti kalau uangnya habis anak nakal itu pasti balik juga!" jawab Andini ketus.

"Kabur-kaburan. Apa-apaan Viona? Dia yang salah, tapi dia yang ngambek!" lanjut Andini geram.

"Andini, Viona itu tetap putri kita, terlepas dari apapun kesalahannya. Aku juga marah, muak dan kesal kepadanya, tapi di sisi lain, aku sebagai Daddy-nya sangat khawatir kepadanya dan aku tidak bisa mengelak dari perasaan itu," jelas Nugraha bingung.

"Mas Arga, nanti cariin Viona ya," ujar Rania angkat bicara.

Walaupun marah dan sekarang jujur saja membencinya, tapi Rania juga tak mau adik iparnya itu kenapa-napa.

"Hm," jawab Arga dengan malas.

Selesai sarapan bersama, Rania patuh untuk tetap di rumah. Setidaknya sampai kondisinya baik dan pulih, tapi sekarang dia sedang mengantar suaminya ke depan.

Dengan malu-malu Rania memberikan jejak manis sebelum mereka berpisah. Dia memang masih terus menerapkan saran dari melati dan bersikap agresif supaya suaminya tak diambil orang.

Arga terdiam sesaat dan membuang nafasnya kasar. Terlihat tersiksa dengan kening yang mengerut.

"Mas kenapa?" tanya Rania.

"Ini salah kamu Sayang!" seru Arga dengan tegas.

"Aku? Kok bisa?" tanya Rania polos.

"Aku senang kamu lebih terbuka kepadaku Rania dan aku suka kamu agresif, tapi kalau saat mengantar aku berangkat kerja begini tidak harus bersikap begitu juga?!" keluh Arga.

"Kenapa memangnya, Mas. Apa aku melakukan kesalahan yang besar?" tanya Rania.

"Sangat besar dan itu sangat menghalangi aku berangkat kerja," jawab Arga serius. Kemudian pria itu mendekat dan berbisik di telinga Rania.

Untuk sesaat istrinya itu terdiam, sampai kemudian memukul bahu suaminya dengan tiba-tiba, karena sudah tersadar dengan maksud ucapannya.

Detik berikutnya Rania bahkan mendorong Arga menjauh. "Mes*m!! Sudah ah, lebih baik Mas kerja saja sana!!" gerutu Rania yang langsung memasang tampang galak.

Tapi bukannya kesal diperlakukan demikian, Arga malah terkekeh dan balas menggodanya. "Ini juga siapa yang duluan mancing-mancing?!"

"Mas ... udah, ah. Kerja sana!!"

• • •

To Be Continued

Terjebak Cinta Pria Dingin (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang