Rania menghela nafas lelahnya, masuk ke rumah dan langsung ke kamar. Meletakkan tas kuliahnya, dan tiba-tiba terdiam dalam keadaan berdirinya. Memikirkan saran Melati dan mempertimbangkannya.'Apa nggak apa aku harus menjadi istri yang agres-if untuk mendapatkan perhatian Mas Arga? Tapi gimana kalau dia malah ilfil terus bosan dan aku malah ditinggalkan?!' bingung Rania yang ternyata masih kepikiran dan tak bisa lega begitu saja.
Perempuan itu nampak pucat karena lelah dan juga berkeringat. Memijat pelipisnya sampai kemudian tiba-tiba sesuatu yang hangat mendekapnya dan membuat Rania cukup terkejut.
"Lagi mikirin apa sih, kok kayaknya serius bangat?" tanya Arga yang ternyata adalah pelakunya.
Pria itu juga barusan pulang, bahkan melihat bagaimana Rania turun dari mobil sahabatnya Melati. Andai tak harus memarkirkan mobilnya dengan baik, mungkin Arga akan langsung menghampiri Rania tadinya, tapi tak apa karena sekarang dia bisa melakukannya.
"Bukan masalah berat," jelas Rania berbalik dan mendorong Arga halus, juga memberi jarak diantara mereka. Kemudian meletakkan kedua tangannya di atas bahu suaminya.
"Kamu berbohong," ujar Arga menebak dan menunjuk kening Rania yang berkeringat juga mengerut. "Dilihat dari sini, sepertinya kamu punya masalah yang membuatmu pusing?"
Rania mengangguk, tapi dia tak memberitahu hal yang sebenarnya dan malah menjawab dengan hal lainnya. "Mas Arga selalu memberikan tugas, hampir tiap pertemuan dan itu selalu susah. Sebenarnya itu bukan masalah besar kalau aku masih gadis, tapi sekarang aku hamil. Apa Mas tidak kasihan kepadaku, tega membuat perempuan yang mengandung anak Mas ini mesti begadang?"
Arga tersenyum gemas mendengarnya, dan mencubit pipi istrinya lalu mengusap puncak kepalanya.
"Jadi ceritanya kamu mau kompensasi karena anakku di dalam sini sudah membuatmu repot?" tanya Arga seraya beralih memegang pinggang istrinya dan merapatkan jarak diantara mereka.
Rania memberontak dan mendorongnya secara spontan, tapi alih-alih tersinggung Arga justru terkekeh.
"Aku tidak merasa repot dan Mas ini yah ngomongnya selalu anakku seolah-olah dia anak Mas sendiri, padahal kan kita bu--" Rania tak melanjutkan kalimatnya. Keburu sadar dan langsung merona malu.
"Berdua membuatnya?!" goda Arga semakin membuat pipi Rania memerah.
"Apaan sih, Mas?!" cemberut Rania. "Udah, ah. Nggak jadi, mending aku mandi, lagian aku udah gerah dan capek!" gerutu Rania mendumel sambil berbalik.
Akan tetapi tiba-tiba saja Arga menariknya dan mendekapnya dari belakangan. Kemudian berbisik di telinga Rania. "Aku bisa kasih kompensasi untuk tugas kuliahmu di matakuliahku, akan tetapi tidak ada yang gratis!" seru Arga memberi penawaran.
"Mas kan udah kaya, lagian untuk apa lagi uang? Udah, ah. Kalau nggak mau kasih, nggak usah!" protes Rania.
"Bukan tidak memberi sayang dan aku pun tidak meminta bayaran uang," jelas Arga.
"Lalu apa?!" tanya Rania serius.
"Apa ya?!" jawab Arga malah bercanda.
"Mas Arga?!" Rengek Rania kesal dan menuntut.
Arga membalik tubuh Rania menghadapnya, memberi jarak agar dia bisa menatap wajah meneduhkan istrinya itu dan gilirannya yang memegang bahu istrinya. Kali ini Arga terlihat serius.
"Aku tidak akan meminta yang aneh-aneh, Rania. Aku hanya ingin kamu lebih terbuka kepadaku dan berhenti menjaga jarak!" tegas Arga membuat Rania protes.
"Siapa yang menjaga jarak? Aku biarin Mas mendekati aku kok dan buktinya aku selalu biarin Mas memeluk aku," kata Rania.
Arga geleng kepala. "Bukan itu sayang, tapi kamu terasa seperti canggung kepadaku dan terlalu kaku. Kadang-kadang aku ingin kamu yang memeluk aku duluan atau melakukan hal lain inisiatif dan bukannya aku terus yang memulai," jelas Arga.
Rania berpikir sejenak dan mempertimbangkan sesuatu. 'Apa ini artinya Mas Arga sendiri juga ingin aku agres-if padanya? Duh, bagaimana ini?!'
Rania akhirnya kebingungan dan juga sekaligus merasa dilema. Tak mengerti akan melakukan apa, tapi kemudian dia menyadari Arga menatapnya terus juga sangat intens. Hal itu membuat Rania malu dan tanpa dia sadari rasa itu mendorongnya memeluk Arga.
Untuk mengelak dari pandangan Arga sekaligus menjaga perasaan suaminya supaya dia tak sakit hati, karena Rania memutuskan tatapan mereka.
"Ya, begini. Aku suka kamu yang begini," ujar Arga memuji Rania. "Bukan hanya kamu yang milikku, Ran, tapi aku ini juga milikmu. Jadi kamu bebas melakukan apapun padaku dan aku harap kamu lebih aktif!" seru Arga sambil membalas pelukan istrinya.
Padahal keduanya bau bersama, karena dari luar dan habis melakukan aktivitas masing-masing, tapi dimabuk cinta rupanya membuat keduanya tak keberatan dengan bau itu.
"Mmm ... ma-mau mandi ba-bareng?" tanya Rania gugup, ragu dan sekaligus malu yang bersamaan.
Dia sebenarnya tak mau mengeluarkan kalimat itu, akan tetapi mengingat ucapan Melati yang sepertinya sudah menghasutnya dan juga permintaan suaminya, rasanya mungkin hal itu tak salah.
"Tentu saja! Siapa yang mau melewatkan tawaran menarik begitu, hm ...."
Arga tak hanya menjawab, tapi juga malah langsung mengangkat Rania dan menggendongnya.
Tanpa mereka sadari dari balik pintu kamar mereka, ada Viona yang sudah mendengar percakapan mereka dan menjadi geram. Gadis itu mengintip karena penasaran dengan reaksi Arga saat menemukan Rania pulang terlambat.
Dia pikir hal itu akan membuatnya menonton pertengkaran yang menyenangkan, tapi malah tak dia duga justru menonton adegan romantis keduanya. Dia kesal karena lagi-lagi Rania berhasil menaklukkan saudaranya.
Setelahnya dia juga pergi dari sana dan ke kamarnya, saat melihat kakak dan kakak iparnya menghilang dibalik pintu kamar mandi.
Blam!
Viona segera membanting pintu kamarnya, setelah dia di kamar. "Kenapa sih, mereka semakin dekat saja? Kalau begini bagaimana Kak Salsa akan kembali ke posisinya dan menjadi kakak iparku, sebagaimana yang seharusnya?" geram Viona.
"Tidak. Aku tak sudi memiliki kakak ipar si Jala--ng itu seumur hidup. Perempuan kotor, mura-han tak pantas menjadi pasangan Mas Arga!" tegasnya dengan serius, sebelum kemudian menghubungi Salsa dan meminta mantan kakak iparnya untuk ke rumahnya.
"Ayolah, Kak Salsa. Kamu harus kemari, aku sangat merindukanmu dan juga kita sudah lama tak bertemu!" ujar Viona memohon.
Sebetulnya dia sengaja mengundang Salsa agar Rania tertekan dengan kehadirannya. Viona sadar walaupun dua orang itu bersaudara, tapi mereka adalah musuh, walaupun dia pikir Salsa si malaikatnya tak pernah membenci Rania, tapi sebaliknya Rania membenci Salsa. Dia pikir begitulah adanya.
kebencian Rania pasti akan membuat Rania sendiri muak dengan kehadiran Salsa dan nantinya Viona bermaksud untuk mendekatkan kembali kak Salsanya dengan Mas Arganya.
"Baiklah. Aku akan ke sana jika itu memang kemauan adik kesayanganku ini," jawab Salsa seberang telepon sana.
"Asik.Begini dong, Kakak seharusnya sering-sering ke rumah biar aku ada teman dan oh ya, khusus malam ini karena kakak akan segera ke sini, aku akan membuatkan makan malam terenak!" seru Viona bersungguh-sungguh.
"Oh, tidak. Kamu ini ya, bisa sekali membuat aku jadi tak sabaran untuk ke sana?!" jawab Salsa lembut dan dengan nada suara bercanda.
• • •
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Cinta Pria Dingin (Tamat)
RomanceRania Anindya tak pernah menyangka kalau saat bangun tiba-tiba saja dia dipergoki tidur dengan laki-laki di ranjangnya. Rania terkejut, sebab seingatnya dia masih belum mempunyai pasangan sama sekali. Namun, belum juga pulih dari keterkejutannya, Ra...