49. Sakit

12.8K 321 7
                                    

"Huekk!"

Rania kembali pusing dan mual yang tidak tertahankan, tapi anehnya tak ada apapun yang keluar dari mulutnya. Arga yang melihat itu cemas, mendekat padanya lalu dengan sigap membantu menopang tubuhnya sebelum jatuh.

"Kamu beneran tidak menyukai makanan ini, Ran?" tanya Arga dengan tatapan penuh kecemasan.

Rania tak menjawab, tapi dengan keras kepalanya dia malah memaksakan diri untuk memakan sarapannya.

"Jangan dipaksakan, kamu tidak usah makan lagi!" seru Arga sambil merebut sendoknya.

Namun Rania pun tak diam saja dan wanita itu segera berusaha untuk merebutnya. Arga geram lalu melempar sendok beserta makanan lainnya.

"Apa kau tidak mengerti ucapanku, hah?!" tanya Arga sambil langsung mencengkram rahang Rania karena marah. "Kamu mual kan, dan aku sudah katakan kalau kita makan yang lainnya saja, kamu mengerti Rania. Sesekali patuhlah!!"

Brakk!!

Arga yang masih dalam amarahnya tak bisa langsung tenang dan memukul meja dengan keras. Melampiaskan amarahnya ke sana. Beralih ke Rania, Arga juga tak membiarkan istrinya itu begitu saja. Menariknya, memaksanya berdiri kemudian mendorongnya dengan cukup keras ke tembok, lalu mengungkung tubuh mungilnya di sana.

"Apa kamu tidak bisa berhenti bersikap kekanakan, hahh? Bertengkar dengan Viona, kabur dan bahkan nekat turun dari balkon cuma menggunakan beberapa kain yang kamu ikat. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana kalau kamu jatuh?!" Arga menaikkan nada suaranya dan meninju dinding ketika emosinya kembali naik. Tangannya memar, tentu saja, tapi Arga tak perduli itu dan dia tak terlihat kesakitan sama sekali.

"Bagaimana jika kamu keguguran, Rania, atau jangan-jangan kamu sengaja ingin membunuh anak kita, hahh?!" tuntut Arga dengan emosi yang memuncak.

Namun Rania sudah tak bisa memahami semua itu lagi, kepalanya terlalu pusing dan berdenyut nyeri, disaat yang bersamaan mual malah ikut-ikutan menyerangnya. Nafasnya melemah dengan tatapan yang mulai buram.

"Jawab aku, Rania!!" bentak Arga menuntut.

Namun sebelum Arga kembali membuka suaranya, Rania tak melihat apapun lagi dan semuanya jadi gelap.

Brak!

Rania tak mampu menopang beban tubuhnya dan jatuh tak sadarkan diri, tapi dia tak jatuh ke lantai melainkan ke tubuh Arga.

"Rania!!" teriak Arga kaget dan langsung syok.

Tidak bisa digambarkan bagaimana perasaannya setelah mendapati kondisi istrinya yang tiba-tiba sudah tak sadarkan diri dihadapannya. Arga kalut, cemas, tapi di saat yang bersamaan dia bingung.

*****

Keadaan yang stress dan tertekan mengakibatkan kondisi Rania menurun. Dokter yang sudah selesai memeriksanya bahkan menyampaikan kalimat yang mengancam bagi Arga. Pasalnya jika terus dibiarkan, Rania bisa keguguran dan kehilangan bayinya.

Saat ini mereka sudah di rumah sakit dan Rania sudah selesai diperiksa. Perempuan itu masih tak sadarkan diri dan beristirahat di atas ranjang pasiennya. Arga ada di sisinya, duduk sambil menjatuhkan kepalanya disebelah perut istrinya.

"Jangan seperti ini sayang, Papa bahkan belum melihatmu, tapi kamu di dalam sini sudah tak baik-baik saja. Papa tidak mau kehilangan kamu Nak!" seru Arga dengan sedih sambil mengusap perut Rania dan menggenggam tangannya.

"Kamu harus sehat, lahir dan bertumbuh dengan baik ...."

Samar-samar Rania mulai terbangun dan melihat Arga yang demikian. Kepalanya masih pusing meski tidak sesakit saat dia akan pingsan. Mendengar dan merasakan perlakuan Arga pada perutnya atau tepatnya calon anak mereka yang masih berbentuk janin itu.

"Papa sangat menantikanmu, Nak. Pasti sangat mengasikkan bisa menimang dan bermain denganmu suatu hari nanti!" seru Arga kembali.

Rania tanpa sadar mengulas senyumnya sedikit. Walaupun tak tersenyum lebar, dia cukup menghangat dan bahkan bahagia mendengar pernyataan suaminya.

"Apakah kamu juga tidak menginginkan hal yang sama? Papa rasa kamu juga pasti mau bertemu dengan Papa, oleh karena itu jangan lemah lagi sayang. Kadang-kadang Mama kamu memang ceroboh, tapi jangan karena hal itu kamu juga jadi tak berdaya," jelas Arga melanjutkan.

Senyum Rania langsung menghilang mendengarnya, apalagi setelah kalimat Arga masih berlanjut. "Mama kamu itu masih muda, Papa tahu dia belum siap dengan kehadiran kamu sayang ... atau mungkin tidak menginginkan dirimu. Sampai-sampai dia membuat kamu jadi begini dan Papa hampir saja kehilangan dirimu, tapi meski begitu berjanjilah terus bertahan sampai kemudian kita bertemu dan kamu lahir. Papa berjanji tidak akan membiarkan sedikit pun Mama kamu yang kekanakan itu bisa melukaimu lagi atau membuatmu dalam keadaan yang berbahaya!"

Rania segera membuang muka, sedih sekaligus langsung sedih mendengar penuturan Arga. Dia memang masih belum mengerti sepenuhnya apa yang sudah terjadi, akan tetapi sepertinya dia hampir saja mencelakai anaknya dari pernyataan yang Rania tangkap dari Arga.

"Andai saja hari itu Papa dengan sigap mengawasi Mamamu, tidak meninggalkannya sama sekali. Dia pasti tidak akan bertengkar, nekat turun dari balkon dan bahkan sepertinya melupakan obatnya, kamu tidak perlu dalam kondisi lemah seperti ini, Nak!" lanjut Arga sambil masih mengusap perut Rania dan menggenggam tangan Rania.

Pria itu masih belum sadar kalau istrinya sudah sadar dan mendengar ucapannya itu. Arga bahkan masih terus-terusan menyalahkan Rania, tanpa mau menyadari kesalahannya sendiri yang mungkin terlalu mengekang, kasar dan bahkan keras pada Rania.

Terus begitu sampai dia puas dan bangkit dan duduk dengan baik, tapi saat berbalik dia pun menoleh dan bertemu pandang dengan Rania.

"Kamu sudah bangun, Ran?" tanya Arga seolah-olah tidak terjadi apapun.

"Apakah itu penting?!" balas Rania ketus meski masih dengan suara lemahnya.

"Aku mengkhawatirkan mu!" seru Arga mengungkapkan, dan dia tak berbohong karena itulah yang sebenarnya terjadi.

"Benarkah?!" tanya Rania langsung buang muka dan menepis tangan Arga yang ternyata masih setia menggenggam tangannya. "Aku dengar kamu hanya mengkhawatirkan calon anak kita saja beberapa detik lalu. Hm, tapi bagus juga. Akhirnya ada yang bisa kamu perhatikan selain adik kesayanganmu knalpot bocor itu!" cibir Rania.

"Cukup!" tegas Arga tak mau membahas apapun tentang Viona. "Aku sudah muak dengan pertengkaran mu dan Viona, dan tolong berhenti membahas itu, aku pusing mendengar hal itu. Mulai sekarang terserahmu sajalah dengan Viona, tapi walaupun begitu awas saja jika calon anakku sampai kenapa-napa!" ancam Arga diakhir kalimatnya.

Rania mendesah kasar dan menutup matanya mencoba untuk tidur saja untuk mengabaikan Arga.

"Dokter bilang kamu terlalu stress, dan kamu sudah dengar sebelumnya bukan, saat aku mengucapkan hal itu pada calon anakku? Kamu hampir saja membahayakan nyawanya! Kamu hampir mencelakai anakku, Rania!" seru Arga menekan kalimatnya menyalahkan Rania.

Rania mencoba untuk tak peduli dihadapan Arga, walaupun dalam hatinya berteriak ikut memaki dirinya. Sebagai seorang calon ibu yang meski tak mengharapkan kehadiran anaknya, tapi Rania tak bisa abai juga. Dia khawatir dan menyalahkan dirinya. Benar kata Arga, seandainya dia lebih sabar dan tidak gegabah mungkin calon anak mereka tidak akan dalam kondisi lemah begini, sampai harus membuat Rania harus rawat inap sampai kondisinya pulih dan diperbolehkan pulang.

"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu Rania. Kabur-kaburan tidak jelas hanya karena persoalan sepele, tapi kedepannya aku harap kamu tak begitu lagi!"

*****

To Be Continued

Terjebak Cinta Pria Dingin (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang