42. Tak Ingin Berpisah

10.9K 249 0
                                    


Melati menyodorkan sebotol air mineral pada Rania, dan Rania segera menerimanya kemudian meneguknya kasar. Melati memperhatikannya dan langsung sadar kalau Rania tak baik-baik saja.

"Kamu ada masalah, Ran?" tanya Melati perhatian.

Sejak mata kuliah pertama Rania sudah menunjukkan gelagatnya yang kurang mengenakkan. Perempuan itu terlihat murung dengan wajah kusutnya.

Tak bisa mengelak, Rania pun menganggukkan kepalanya seraya membenarkan tebakan Melati terhadap dirinya.

"Kamu tahu kan, Mel. Pernikahan ku tak sengaja dengan Pak Arga, kami bertolak belakang dan harusnya ini tak terjadi," jelas Rania murung.

Melati cuma bisa menganggukkan kepalanya kemudian mengusap pundak sahabatnya. "Kamu menyesal Ran ...."

"Aku juga tidak tahu dan aku bingung. Bagaimana menurut mu mengenai pernikahan kami, apakah seharusnya kami bersama saja atau justru berpisah?" tanya Rania serius.

Melati tak langsung menjawab melainkan berpikir sejenak untuk menemukan solusinya dan ketika mendapatkan barulah dia kembali bicara.

"Kalian sudah menjadi suami istri yang sebenarnya?!" tanya Melati tegas. Rania mengerti dan paham kemana arah maksud sahabatnya itu.

"Tapi aku belum hamil, Mel," jelas Rania memberitahu.

"Kalian menundanya?" tanya Melati lagi.

Rania sontak terlihat bingung dan menundukkan wajahnya. Dia teringat bahkan tamu bulanannya belum datang walaupun sudah dua bulan berlalu. Melati segera mengerti hal itu, meski tak dijelaskan.

"Aku tidak ingin mengatakan ini sebenarnya, karena pembahasan ini agak berat dan terasa tidak adil, tapi Ran jika kalian tidak menunda sebaiknya kamu bertahan. Sulit menjalani hidup tanpa sosok ayah, kamu juga merasakannya dan coba bayangkan bagaimana jika kamu hamil. Apakah kamu tega memisahkan anakmu seumur hidup dengan ayahnya?"

Rania terdiam, berpikir keras dan mencoba memahami ucapan melati. Akan tetapi tanpa mereka tahu, seseorang menghampiri keduanya, sebelum sampai dia berhenti dan memberi jarak yang bisa membuatnya mendengarkan pembicaraan itu.

"Jadi aku harus bertahan saja jika aku hamil?!" ujar Rania cukup serius dan Melati menganggukkan kepalanya tanpa ragu.

"Hm, tapi semoga saja aku tak hamil, karena aku tidak sudi bertahan dengan Pak Arga yang membosankan dan suka semena-mena!"

• • •

"Hm, jadi Rania tidak berani pergi kalau dia hamil," ujar Arga sambil menyeringai. "Bagus juga. Aku jadi tidak sabar memberitahunya!"

Arga terlihat lega, awalnya dia menyembunyikan kehamilan Rania karena berpikir wanita itu belum siap karena usianya yang tergolong masih muda. Dia takut ketidakterimaan Rania membuatnya kehilangan calon anaknya.

Namun sekarang bayangan buruk itu lenyap, berganti dengan sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk menahan perempuan itu sisinya. Arga tanpa sadar sangat senang. Menghubungi asisten pribadinya di kantor dan memintanya untuk menyiapkan sesuatu.

Selesai urusannya dengan asisten pribadinya, Arga kemudian menghubungi Rania dan memintanya agar datang keruangan. Namun, Rania tidak datang tepat waktu dan hal itu membuatnya kesal.

"Kenapa lama sih?" tanya Arga sambil menatap Rania dingin.

"Aku ada kelas, Pak," jelas Rania yang masih nekat memanggil Arga dengan kata, 'pak.'

Arga mengusap wajahnya kasar. Dia terganggu dengan panggilan Rania yang begitu. Sebab selama ini dia suka dan terbiasa dengan panggilan 'mas,' dari Rania.

"Aku suamimu Rania!" tegur Arga dengan tegas. "Berapa kali lagi aku katakan untuk tak memanggilku, 'pak?!' hah?!!"

"Ini kampus Pak Arga dan jangan lupa aku tidak menginginkan pernikahan kita. Lebih baik kita berpisah!" jawab Rania sungguh-sungguh.

Sambil memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing setelah mendengar perkataan Rania. "Harus aku katakan bagaimana lagi kalau kita tidak akan pernah berpisah?!"

"Bahkan jika kamu sudah bosan padaku?!" sarkas Rania menodong Arga.

Tak ada jawaban dan Rania langsung membuang nafasnya kasar, sebab kecewa. "Baiklah, jika begitu. Suatu saat nanti bila Bapak sudah bosan tolong katakan, supaya aku bisa langsung pergi dan Bapak tidak perlu repot untuk membuangku," jelas Rania.

Arga mencoba untuk tak perduli kata-katanya, karena saat ini dia hanya ingin melakukan rencananya. "Jam berapa kamu pulang?" tanya Arga mengalihkan pembicaraan.

"Kelasku sudah selesai beberapa menit lalu dan tidak punya kelas lagi setelah ini," jelas Rania.

"Hm, kalau begitu tunggulah dua jam lagi. Aku akan menyelesaikan jadwal mengajarku hari ini dan setelah kita akan ke dokter bersama untuk memeriksa perutmu yang sakit itu," jelas Arga.

• • •

"Sial. Kenapa kamu tidak bisa menunggu dengan baik di ruangan ku Rania?!" geram Arga menuntut.

Dia marah karena tak menemukan Rania di ruangannya ketika jadwal mengajarnya usai. Masih belum reda walaupun sudah menghubungi istrinya dan bahkan Rania datang setelah tiga puluh menit kemudian.

Hal itu semakin diperparah ketika beberapa menit lalu, Rania terlihat bersama Gama mahasiswanya. Padahal mungkin itu hanyalah kebetulan, Gama pun memang akan ke ruang dosen atau tepatnya ruangan yang disebelahnya untuk menemui dosen karena suatu urusannya.

"Tidak bisa," jawab Rania enteng. "Duduk diam di sana tanpa melakukan apapun, apakah Bapak pikir aku tidak bosan. Lagipula aku lapar dan juga haus," jelas Rania membuat Arga akhirnya merasa lebih baik, walaupun bayangan Gama dan Rania berjalan bersama masih mengganggunya.

"Baiklah. Terserah kamu saja, tapi lain kali usahakan jangan dekat pria manapun selain aku dihadapan umum!" tegas Arga memberi peringatan.

"Tapi kenapa? Bapak cemburu ...," tebak Rania asal.

"Ini adalah kampus Rania. Mungkin di mata para mahasiswa tak ada yang tahu kamu istriku, tapi staf dan beberapa dosen di sini tahu fakta itu, kamu merupakan istriku. Jadi jangan merusak nama baikku, dengan memperlihatkan sikap ren-dahan yang kamu miliki seperti kakakmu Salsa!" ujar Arga kejam diakhir kalimatnya tanpa memperhitungkan perasaan Rania.

Jujur saja, walaupun dia tak berharap Arga menjawab cemburu, tapi omongan Arga barusan tetap saja menusuknya dan membuatnya merasa sesak.

"Gama hanya temanku dan kebetulan di juga melewati arah yang sama," jawab Rania membela diri.

"Andre juga cuma teman Salsa kakakmu, kebetulan mereka ada proyek bersama di Bali, tapi kemudian mereka malah menjadi teman tidur bersama!" sarkas Arga tajam.

"Tapi aku tidak seperti itu dan aku cuma berjalan bersama dengan Gama, Pak Arga?!" jelas Rania mulai geram dan tak terima. "Lagipula ini tempat umum dan aku juga tidak sere-ndahan itu untuk menghianatimu, walaupun aku tak menyukaimu!" balas Rania sengit.

"Cukup!" tegas Arga tak mau lagi mendengarkan ucapan Rania. "Lain kali aku tak mau lihat walau apapun alasannya!" peringatnya dengan nada yang tak mau dibantah.

Rania mendesah kasar, ucapan itu membuatnya kecewa. "Kalau kamu tak tahan dengan sikapku, tinggalkan aku Pak. Mungkin kita memang tak pernah ditakdirkan untuk bersama dan lagipula kejadian waktu itu cuma caramu membalas kak Salsa. Sudah mendapatkannya, apalagi yang kamu tunggu lepaskan aku!" seru Rania dengan perasaan yang sulit dikendalikan.

Arga tak menjawab lagi, tak mau berdebat dan sekaligus jengah membahas hal yang sama terus-menerus seolah tanpa ujung. Dia menarik tangan istrinya dengan sedikit kasar dan membawanya ke arah parkiran. Dalam geram dia berusaha untuk terus menahan diri untuk tak melepaskan amarahnya. Sementara Rania pun sama.

• • •

To Be Continued

Terjebak Cinta Pria Dingin (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang