🌼 7. LO GANTENG LO AMAN

8.1K 378 2
                                    

Sisi menatap gerbang yang menjulang tinggi dengan plang Segede gaban bertuliskan Pondok Pesantren An-Nur. Meskipun mereka bertetangga, namun sudah sepuluh tahun lamanya Sisi tidak berkunjung atau sekedar penasaran dengan isi ponpes An-Nur. Sebelum masuk ke dalam gerbang, Sisi menatap penampilannya sendiri. Sisi memakai gamis coksu dengan pasmina hitam sebagai pasangannya. Pagi ini Sisi akan memenuhi panggilan Bunyai Anisah untuk bantu bantu masak.

Sisi melangkahkan kakinya dan mulai memasuki gerbang. Saat melewati gerbang, Sisi langsung di suguhkan dengan pos satpam yang ditunggui oleh akang akang pondok yang mendapat tugas jaga.

Sisi ingat, jika bukan santri An-Nur maka sebagai tamu Sisi harus lapor terlebih dahulu kepada petugas gerbang.

"Assalamualaikum, Kang. Saya Sisi cucunya Nek Ida, mau izin masuk. Boleh nggak?" tanya Sisi.

Akang pondok yang berjaga langsung tersenyum," wa'alaikumsalam. Oh, Ning Sisi, calon istri Gus Badar, ya? Silahkan Ning, masuk," balas Akang pondok itu yang kelewat sopan dan ramah.

Sisi nyengir tidak enak. Sangat aneh, ketika akang pondok itu memanggilnya dengan sebutan "Ning". Sisi yang masih urakan, sholat subuh saja jam 6 pagi, dan pakai jilbab saja baru dua hari ini, dan tiba tiba dia dipanggil Ning?

"Jangan panggil Ning, Kang. Panggil Sisi saja. Nggak enak, ih," ucap Sisi kepada Akang Pondok yang berjaga.

Akang pondok itu tertawa," nggak papa Ning. Sekalian latihan atuh, kan sebentar lagi mau jadi istrinya Gus Badar. Biar nggak kesleo mulutnya," balas Akang pondok penjaga.

"Aduh, kan belum jadi istri, Kang. Nanti saja ya panggil Ning nya. Lagian, Demi Allah saya jadi merasa sungkan, tidak nyaman. Tolong ya, Kang. Jangan panggil Ning," pinta Sisi. Para santri yang berlalu lalang menatap penasaran dengan perbincangan Sisi dengan Akang Pondok penjaga.

Akang pondok itu nyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung, ia takut dan merasa tidak sopan kalau memanggil Sisi dengan panggilan "Sisi" saja. Namun melihat reaksi Sisi yang sangat tidak nyaman, Akang Pondok itu pun mempertimbangkan permintaan Sisi.

"Yasudah, saya panggil Teh Sisi, boleh?" Ijin Akang Pondok.

"Nah, cakep tuh. Yasudah, saya diijinkan masuk kan ini? Saya mau ke ndalem soalnya," balas Sisi seraya mengacungkan kedua jempolnya karena merasa setuju dengan usul Akang Pondok untuk memanggil dirinya dengan panggilan "Teh Sisi" meskipun Sisi orang Jogja, dan bukan orang Sunda, biarin lah dipanggil Teteh, daripada Ning.

"Ya boleh lah, Teh. Kalo saya nggak ngebolehin Teh Sisi masuk, yang ada saya kena semprot Bunyai sama Gus Badar, nanti, hehe," jawab Akang pondok diiringi kekehannya.

"Yasudah, saya pamit ke ndalem dulu ya, Kang," pamit Sisi meninggalkan Akang Pondok yang terpana dengan pesona Sisi.

"Geulis pisan euy, Teh Sisi. Mana imut juga, jadi gemeeeees. Astaghfirullah!!! Sadar Sep! Beliau calon istri Gus mu!" Akang pondok yang tanpa sadar mengagumi pesona Sisi, sepeninggalan Sisi ke arah ndalem_ia menepuk pipinya berkali kali, berharap supaya sadar untuk tidak mengagumi pesona Sisi.

***
Sisi celingak celinguk menatap sekitar, banyak sekali tempat tempat yang berubah di ponpes An-Nur. Bahkan, banyak bangunan bangunan baru yang desain nya sangat modern. Sisi bingung, rumah Kyai Sya'ban yang biasa Sisi sebut sebagai ndalem sudah di renovasi. Dulu, rumah Kyai Sya'ban yang memiliki nuansa adem itu hanya terdiri satu lantai. Kini rumah itu terdiri dari dua lantai. Dan, di seberang Aula utama pondok, ada satu rumah yang sepertinya baru, karena dulu, disana adalah lapangan olahraga yang biasa digunakan para santri untuk berolahraga. Sisi bingung harus ke rumah yang mana.

Akhirnya Sisi memutuskan untuk ke rumah yang dulu biasa Sisi sebut sebagai ndalem, yang kini berlantai dua. Sisi mengucap salam tanpa mengetuk Pintu. Begini begini, Sisi masih ingat apa yang Gus Badar ajarkan dulu kepadanya saat Sisi masih ngaji di TPQ. Jika bertamu, jangan langsung mengetuk pintu. Ucap salam dulu sekali, jika penghuni rumah belum juga mendengar, maka ucap salam lagi untuk kedua kalinya, jika masih tidak muncul juga, maka ucaplah salam untuk ketiga kalinya, dan jika tetap tidak ada tanda tanda kemunculan penghuni rumah, barulah kita boleh mengetuk pintu dengan diiringi salam.

Sisi melantangkan suaranya untuk salam ketiganya. Merasa masih tidak ada tanda tanda kemunculan penghuni rumah, Sisi pun mengetuk pintu pelan seraya mengucap salam.

Clek.

Pintu rumah terbuka, menampilkan sosok tegap berkarisma di balik pintu dengan wajah bingung.

"Sisi? Ada apa?" Dia Badar, dengan kemeja panjang berwarna biru muda yang di padukan dengan sarung andalannya.

Sisi gelagapan, kenapa malah Badar yang membukakan pintu. Dimana Bunyai Anisa?

"Eum, mau ketemu Bunyai Anisah, Gus," balas Sisi yang tidak bisa melepas pandangannya dari Badar. Siapapun tolonglah Sisi, Sisi tengah terpanah dengan pesona Duda Sholeh itu. Bahkan, bayangan Dion kembali tidak hadir di benak Sisi. Sedangkan Badar kini tengah mati matian menghindari tatapan Sisi yang terang terangan menyerbunya.

"Ummah di rumahnya. Mau dipanggil atau mau kesana sendiri?"

Sisi mengerutkan keningnya bingung, "ini kan rumah Bunyai," ucap Sisi.

"Ini rumah saya sekarang. Rumah Ummah sama Abah yang di seberang Aula. Kamu kesana sendiri ya, saya sibuk." Badar masuk ke dalam rumah begitu saja. Badar tidak mau berlama lama terkungkung dalam perasaan gugup dan menggetarkan ini jika berhadapan dengan gadis mungil bernama Sisi itu. Badar tidak punya cara lain selain meninggalkan Sisi ke dalam rumah begitu saja. Mereka berdua belum halal, maka tidak baik jika berbincang berhadap hadapan terlalu lama seperti ini.

Disisi lain, kini Sisi tengah menggejukkan kakinya sebal. Bisa bisanya Badar meninggalkan Sisi begitu saja dengan keadaan bingung karena lokasi yang dulu Sisi ketahui sudah berubah total sekarang.

"Iiiih, nyebelin banget sih jadi orang! Untung ganteng, kalau nggak ganteng udah aku bejek bejek tuh orang. Hukum sekarang tuh; Lo ganteng, lo aman. Lo cantik, lo aman."

***
Sisi berjalan menuju rumah Bunyai Anisah, yang kata Badar berada di seberang Aula utama Ponpes. Sisi menendang kerikil asal. Sisi ingin pulang saja rasanya, ia sendirian dan pasti nanti saat masak bareng, Sisi tidak akan kenal dengan orang orang yang bantu bantu di rumah Bunyai Anisah. Secerewet-cerewetnya Sisi, Se bar-bar nya Sisi, dia pasti merasa canggung jika bertemu orang baru.

"Tante Sisi!" Teriak Seorang anak kecil yang turun dari gendongan salah satu santri. Anak kecil itu berlari menubruk kaki Sisi untuk ia peluk.

"Eeeeeh, Gamal. Aduuuh hidungnya sakit nggak nih, nabraknya kenceng banget, loh. Coba sini Tante lihat dulu." Sisi berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh kecil Gamal. Sisi mengelus elus hidung mancung Gamal pelan seraya sesekali meniupnya. Hidung anak itu sedikit memerah, Sisi yakin tadi Gamal menabraknya sangat keras. Gamal yang di elus elus hidungnya, kini malah tertawa lepas. Gamal bilang, ia merasa geli.

"Iiiih, malah ketawa," ucap Sisi yang kini malah menarik hidung Gamal gemas dan kemudian mengusak rambut anak itu dengan gemas juga. Perlakuan Sisi itu membuat Gamal tidak tahan untuk memeluk tubuh Sisi yang ia rasa nyaman itu.

Disisih lain, sosok tegap dan berkarisma kini tengah memerhatikan dua manusia mungil itu dari kejauhan dengan hati yang menghangat dan deguban yang sangat dahsyat.
.
.
Hiyaaaaah! Siapa tuh yang diem diem merhatiin dari jauh🤭

Jangan lupa vote dan komen ya bestieeee

Ummi Untuk Gamal [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang