🌼 31. MASA LALU BADAR

7.6K 379 0
                                    

Sisi masih menatap lekat wajah Badar dari jarak dekat. Menunggu cerita apa yang akan keluar dari mulut lelaki itu. Yang pasti, hal itu adalah hal yang selama ini tidak pernah Sisi sangka.

" Saya itu diamanahi sama Abah dan Ummah, Si. Untuk meneruskan memimpin Ponpes An-Nur. Tentu saja waktu itu saya terkejut, karena posisinya saya ini anak bungsu. " Badar memulai ceritanya. Sisi menyimak dengan seksama, sepertinya kali ini akan menjadi cerita yang panjang.

"Kenapa Abah sama Ummah nunjuk Mas , dan bukannya Gus Syawal?" tanya Sisi, yang mulai penasaran.

"Pertanyaanmu sama persis dengan pertanyaan saya waktu dulu, Si. Saat saya menanyakan hal itu kepada Abah dan Ummah, mereka mengatakan bahwa Mas Syawal sudah menjadi penerus ponpes mertuanya, begitu pula Mas Arya. Mereka berdua kebetulan menikahi putri sulung dari pemilik pesantren yang kondang, yang mana mau tidak mau mereka harus meneruskan memimpin Ponpes milik mertua mereka. Akhirnya saya terus dididik untuk menjadi pemimpin yang baik di ponpes An-Nur. Ummah selalu mengatakan bahwa, ' tirulah mas mu, mereka fokus pada tujuan mereka untuk memimpin Ponpes, kurangi lah keluar keluarnya, tidak penting itu' begitu kata Ummah. Waktu itu saya baru saja merintis perusahaan saya, Si. Dari dulu Saya memang bercita cita untuk membangun perusahaan sendiri, alih alih mencari lowongan pekerjaan, saya lebih suka dan memilih untuk memberi lapangan pekerjaan untuk orang orang, namun semua itu tidak pernah ada yang mendukung."

[10 tahun yang lalu]

Badar menunduk lesu setelah mendengar apa yang Ummah-nya katakan. Bagaimana mungkin Badar bisa melepas semua yang sudah dia rencanakan dan susun selama ini. Tentang masa depannya, tentang siapa yang akan menjadi tambatan hatinya, semuanya bak tersapu angin setelah Ummah mengatakan bahwa Badar harus menjadi pengganti Abah untuk memimpin Ponpes An-Nur.

"Kamu itu selalu seperti itu, Badar. Ummah sudah bilang, kurangin keluar rumahnya, lebih banyaklah di pondok, tekuni ngajimu, kalau kamu terus terusan keluar seperti itu Ummah tidak segan segan untuk mengirim kamu mondok ke Yaman, di guru nya Abah!"

Badar menunduk, hatinya amat berat menahan semuanya.

"Badar juga ingin melakukan apa yang Badar ingin Ummah," balas Badar menunduk. Suasana sore yang padat akan lalu lalang santri putra dan putri baik Santri pondok maupun santri yang bukan berasal dari pondok_ membuat kepala Badar semakin berisik.

"Memangnya maumu itu apa? Kamu banyak keluar keluar rumah itu untuk apa?" tanya Ummah yang sepertinya kurang sabar dalam menghadapi Badar kali ini. Tidak biasanya Badar membalas omongan Ummah, namun kali ini, setiap omongan Ummah selalu Badar balas. Sedangkan Abah, hanya terdiam di samping Ummah.

"Badar itu masih berusaha untuk mendirikan perusahaan Ummah, perusahaan yang Badar impikan, meskipun masih belum apa apa kalo untuk saat ini. Tapi Badar janji, perusahaan Badar akan mengepakkan sayapnya selebar lebarnya," jawab Badar dengan antusias.

Ummah memegang kepalanya pening, sedangkan Abah masih sama diamnya tanpa berkomentar.

"Kenapa sih Bad, kamu nggak bisa meniru mas mas mu? Mereka disuruh ngaji ya manut, disuruh fokus mimpin ponpes ya fokus, kamu ini loh nggak bisa fokus sama masa depanmu!"

"Membangun perusahaan adalah fokus Badar Ummah, itu masa depan yang sudah Badar andai andaikan sejak dulu untuk menjadi kenyataan."

Lagi lagi Ummah memijit pelipisnya pening, " yawes lah, Bad. Sak polah mu! Kamu itu memang beda sama mas mas mu." Ummah beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke kamarnya.

"Jangan bikin Ummah marah, ingat. Ummah mu itu punya darah tinggi," ucap Abah, sebagai penutup perbincangan menyakitkan sore itu.

***
Badar duduk termenung di taman bunderan ponpes An-Nur, perbincangannya dengan Ummah dan Abah tadi sangat memenuhi isi kepalanya.

Ummi Untuk Gamal [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang